Kepada Yang Mulia Hakim Yang Terhormat
Para Jaksa Penuntut Umum
Para Kuasa Hukum
Dan Para Hadirin Pengunjung Sidang
Berikut adalah Eksepsi Dari Saya Pribadi, Dian Septi Trisnanti
PP 78/ 2015 Tentang Pengupahan dan Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi = Surga Bagi Para Investor, Neraka Bagi Buruh dan Rakyat
Di tengah teriknya matari, hari itu, Jumat, 30 Oktober 2015, belasan ribu buruh tumpah ruah di jalan sepanjang Patung Kuda Indosat. Jam menunjuk angka 11.30 siang. Belasan ribu buruh bersama – sama menggelar shalat Jumat, setelahnya berbaris berjalan menyusuri jalan menuju Gubernur DKI dan memutar ke arah Istana Merdeka.
Adalah sebuah alasan kuat mengapa kami rela berpanas – panas sekedar menyampaikan aspirasi. Hari itu adalah awal bagi kami sebagai bagian persiapan menuju Mogok Nasional untuk kali ke tiga. Alasan kuat tersebut adalah hendak disahkannya PP Tentang Pengupahan No 78/ 2015, yang juga adalah paket ekonomi jilid ke 4 sang Presiden. Pemerintah menyampaikan PP 78/2015 bertujuan untuk meningkatkan produktifitas buruh agar laju pertumbuhan ekonomi terus meningkat, serta menjamin kesejahteraan kami dengan meluncurkan formula baru untuk menghitung besaran kenaikan upah minimum tahunan.
Formula baru yang dimaksud tercantum pada PP 78/2015 pasal 44 ayat (2) Formula perhitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: UMn”” UMt + {UMt x (Inflasi +% /::,. PDBt)}.Keterangan: Umt (upah minimum berjalan), UMn (upah minimum yang akan ditetapkan). Dengan rumusan ini, maka kenaikan upah dipatok berkisar 11% saja.
Contoh: Rp 3.100.000 + {Rp 3.100.000 x (inflasi 5% + 6 % PDB)}
Rp 3.100.000 + {Rp 3.100.000 x 11%}
Rp 3.100.000 + Rp 341.000 = Rp 3.441.000,00 (upah naik 11%)
Hal lain yang dengan keras kami tolak dari PP 78/2015 adalah peninjauan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) per lima tahun sekali, sebagaimana yang tercantum dalam PP 78/2015 Pasal 43 ayat (5) Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan jenis kebutuhan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditinjau dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Artinya, KHL sebagai landasan kenaikan upah tidak berubah selama 5 tahun.
Maka, kami menyimpulkan PP 78/ 2015 membatasi kenaikan upah minimum dan melemahkan partisipasi serikat buruh dalam penentuan upah minimum. Dengan kata lain, ada politik upah murah yang dilakukan oleh pemerintah.
Berkebalikan dengan kebijakan upah murah kepada kami, pemerintah Jokowi memberi berbagai kemudahan kepada para investor melalui paket kebijakan ekonomi dari jilid 1 hingga jilid 6 (PP 78/2015 adalah paket ekonomi jilid 4)
1. Paket ekonomi pertama: Insentif untuk semua pemangku kepentingan.
Berbagai kebiijakan diambil untuk memberikan insentif dan kemudahan bagi aktivitas para pemangku kepentingan dalam perekonomian. Diantaranya: proses deregulasi untuk investor, subsidi bunga kredit untuk sektor Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) hingga rumah murah untuk masyarakat pekerja. Jangan salah paham, rumah murah itu mewujud dalam UU Tapera (Undang – Undang Tabungan Perumahan Rakyat) yang mewajibkan buruh mengiur sebesar 2,5% dari upah.
2. Paket kebijakan ekonomi kedua: Fokus undang investasi dengan lima jurus
a. Proses perizinan yang lebih sederhana dalam proses penanaman investasi
b. Pengesahan tax allowance dan tax holiday yang lebih cepat yakni insentif pengurangan pajak bagi investor melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 dan No. 159 tahun 2015.
c. Pembebasan PPN untuk impor alat angkut tertentu
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 tahun 2015, pemerintah membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor alat angkutan tertentu. Dengan kebijakan ini, biaya pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia diharapkan dapat ditekan.
d. Pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir berupa pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi para eksportir Indonesia yang menyimpan dananya di bank-bank tanah air. Langkah ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi mereka agar tak “memarkir” Devisa Hasil Ekspor (DHE) di luar negeri.
e. Pemerintah daerah yang siap mendukung
3. Paket kebijakan ketiga: Kuatkan daya saing dunia usaha
Diluncurkan sejumlah insentif untuk menurunkan biaya perusahaan dalam proses produksi dan memperoleh tambahan modal, yaitu
a. Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), gas, dan listrik:Harga avtur, Liquified Petroleum Gas (LPG) 12 kg, Pertamax, dan Pertalite efektif turun sejak 1 Oktober 2015. Sedangkan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk dan harga listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 akan turun sebesar Rp 12 – Rp 13 per kWh mengikuti turunnya harga minyak dunia.
b. Perluasan wirausahawan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR):Untuk meningkatkan akses wirausahawan kepada kredit perbankan, pemerintah telah menurunkan tingkat bunga KUR dari sekitar 22 persen menjadi 12 persen.
c. Penyederhanaan izin pertanahan dalam kegiatan penanaman modal:Di bidang pertanahan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merevisi Peraturan Menteri No. 2 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang, dan Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal. Tujuannya, membuat proses mengurus izin pertanahan menjadi lebih efisien.
4. Paket kebijakan ekonomi keempat: Formula baru perhitungan upah minimum dan kredit modal kerja untuk produsen barang ekspor
- Produktivitas pekerja adalah salah satu fondasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
- Untuk memberikan insentif kepada pekerja sekaligus menjamin kesejahteraan mereka, pemerintah meluncurkan formula baru untuk menghitung besaran kenaikan upah minimum tahunan yang tertuang dalam PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
- Juga diumumkan dalam peluncuran paket keempat,Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sudah melakukan pemetaan terhadap perusahaan-perusahaan produsen komoditas ekspor di Tanah Air. Hasilnya, terdapat 30 perusahaan yang berpotensi untuk memperoleh kredit modal kerja.
5. Paket kebijakan kelima: Insentif untuk revaluasi aset dan penghapusan pajak berganda dalam Real Estate Investment Trust (REIT).
- Pemerintah memberikan insentif pajak bagi individu atau badan usaha yang ingin melakukan revaluasi aset.
- Akan ada pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPH) revaluasi. Jika proposal revaluasi diserahkan sebelum akhir tahun, besaran tarif khusus revaluasi akan menjadi 3 persen dari sebelumnya 10 persen. Apabila diserahkan pada semester pertama 2016, menjadi 4 persen dan bila pada semester kedua 2016, menjadi 6 persen.Selain itu, instrumen investasi Real Estate Investment Trust (REIT) akan bebas dari pajak berganda.
6. KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), sebuah kawasan penuh fasilitas bagi para investor namun tidak bagi buruh. Dalam KEK, aktivitas serikat buruh dibatasi, yang artinya buruh tidak punya ruang demokrasi dalam membela haknya melalui kebebasan berkumpul dan berserikat.
Bagi kami, paket kebijakan ekonomi Jokowi terasa sangat tidak adil. Kami merasa dipinggirkan, dimiskinkan di negeri kami sendiri.
Setiap hari, kami, kaum buruh berjibaku dengan kerja penuh target (itupun oleh pemerintah dan pengusaha dikatakan tidak produktif padahal mendatangkan banyak dollar di tangan para pengusaha). Tak jarang dimaki, harus bersembunyi di bawah mesin jahit, di balik tumpukan kardus – kardus, mana kala buyer datang ke pabrik. Dengan memaksa kami bersembunyi, buyer tidak akan tahu bahwa ada buruh yang masih bekerja meski jam kerja sudah lewat. Upah yang naiknya tak seberapa, masih pula ditangguhkan, sehingga sudah pasti makin tak cukup membiayai kehidupan sehari – hari dengan kamar kontrakan sepetak, tanpa ventilasi, fasilitas air yang jauh dari kata bersih, makanan tak bergizi berupa nasi sekepal dengan beberapa helai sisiran daging. Pemerintah membatasi hidup kami di bawah garis kemiskinan, hanya boleh bertahan hidup untuk bisa bekerja esok hari. Di dalam ruang sempit kami,terbersit tanya, sebenarnya untuk siapa kami bekerja, mengapa bekerja tanpa henti tapi tak kunjung sejahtera. Ini bukan salah kami, ini bukan takdir kami. Para pemangku kuasalah yang membuat kami miskin, meski bergelimang keringat.
Itulah mengapa kami setiap tahun tumpah ruah di jalan, mengawal sidang – sidang pengupahan hingga larut malam, bertempur tidak hanya dengan terik matari, namun juga berhadapan dengan laras senjata para aparat kepolisian yang mungkin berorang tua buruh, bersanak saudara buruh. Makan dari keringat buruh.
Pun demikian yang terjadi pada hari itu, Jumat, 30 Oktober 2015. Kami menyampaikan aspirasi, ditemani beberapa mobil komando yang siap memimpin kami menyampaikan aspirasi. Kami, massa aksi terpimpin, siap dipimpin, demikianlah kami selalu mempersiapkan aksi demonstrasi menuntut hak.
Di sore hari, sekitar jam empat, Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri menerima kami di Istana Presiden. Tanpa basa basi, Ia menyampaikan PP 78/2015 ditetapkan untuk mencegah PHK, mengurangi pengangguran. Sekarang, kita bisa lihat PHK tetap terjadi dimana – mana, angka pengangguran masih merangkak naik meski PP 78/ 2015 sudah disahkan. Mungkin, Bapak Hanif Dhakiri sedang mengigau kala itu.
Dibubarkan, ditangkap, dipukuli
Entah sejak kapan, sesaat setelah tembakan gas air mata, ada pasukan berbaju polo, berwarna biru, bertuliskan Turn Back Crime tanpa identitas (nama, jabatan) merangsek bergelantungan di atas mobil komando tempat saya berdiri bersama beberapa teman lain. Mereka mengambil bambu memukul kaca mobil komando bagian depan, menarik tas punggung saya, menyabet sambil memaki dan berteriak ke arah kami. ”Turun lo, turun semua. turun nggak? Anjing semua” teriak beberapa polisi berkaos TBC itu di mobil komando FBTPI sambil terus menyabet bambu.
Saya secara pribadi terkejut dengan aksi gerombolan kepolisian tanpa identitas ini, karena setelah siraman water canon dan gas air mata, rombongan aksi massa mulai mundur secara perlahan. Pertanyaan terbersit, setelah massa aksi sudah mundur dan membubarkan diri mengapa gerombolan TBC secara brutal tanpa memandang HAM (Hak Asasi Manusia) masih menangkap dan memukuli kami.
Kami ditarik dari atas mobil komando setelah disabet dengan bambu, digelandang memasuki mobil dalmas. Di dalam mobil dalmas, sudah ada beberapa teman buruh yang saya lihat terluka. Salah satunya terluka di bagian kening atau dahinya. Tak berapa lama, dua pengacara publik LBH Jakarta, Obed dan Tigor dianiaya, dipukul hingga muntah – muntah. Hpnya dirampas oleh anak – anak muda berseragam polisi, dihapusnya beberapa foto penyiksaan terhadap para demonstran. Setelah itu, gerombolan polisi itu bercanda – canda. Salah seorang di antara mereka menyanyikan lagu Darah Juang sampai tuntas. Sambil tertawa-tawa, polisi yang usai bernyanyi itu berucap
“Pada pengikut Marsinah ini semuanya. Itu loh Marsinah … ha ha ha”
Mereka menertawakan Marsinah (buruh perempuan Sidoarjo yang dibunuh, karena menuntut upah dan hingga sekarang setelah lebih dari 22 tahun, kasusnya tak pernah diungkap).
Tak lama kemudian, gerombolan polisi kembali datang, kali ini, berseragam kepolisian. Mereka menyeret seorang anak muda, dengan rambut keriting berpotongan pendek tanpa kaos, ia juga tak bersepatu. Celana jeansnya berwarna hitam. Anak muda itu dipukuli membabi buta, ditendang perut dan kepalanya. Dipukul wajah dan kepalanya. Lalu, anak muda itu pingsan. Ia seorang mahasiswa bernama Hasim, kami sering memanggilnya Ocul.
“Gubrak!” Seorang polisi tiba-tiba naik bergelantungan di bagian belakang mobil dalmas, ia masuk dan memukuli dan menendangi kami semua. Kepala saya kena satu tendangan. Tentu saja berasa sakit. Tapi polisi lain menyergah
“Itu cewe bang”
“Oh ya, yang cewe, tangan pegang kepala ya” Katanya sambil terus menendang dan memukul semuanya kecuali yang perempuan. Kondisi gelap tapi saya mendengar suara pukulan, tendangan dan erangan kawan-kawan yang tertangkap.
“Makanya mbak, jadi perempuan itu jangan suka demo begini. Kan kasihan sama anaknya, keluarga. Perempuan itu cukup di rumah lah. Beraninya di mokom ngata- ngatain kita, kita ini juga punya kesabaran mbak. Kesabaran itu ada batasnya” Ucap seorang polisi.
Mungkin polisi itu sedang meracau. Bila mau belajar tentang makna kesabaran, maka lebih baik ia belajar dari kaum perempuan, termasuk ibunya. Bila ia tak menghargai dan menghormati perempuan, maka sebenarnya ia sedang merendahkan ibunya sendiri. Kami sudah terlampau lama bersabar adik Polisi yang terhormat. Bersabar dengan rasa lapar, dengan rasa sakit hati, pedih dan derita akibat kemiskinan. Kami terlampau sabar karena masih sanggup bertahan hidup,mengelola keuangan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga selepas dan sebelum kerja di pabrik. 24 jam dilalui perempuan bukan tanpa kerja. Kami lebih sabar dari pada anda- anda yang merasa berkuasa hanya karena bersenjata dan berseragam polisi.
Setelahnya, pada pukul 20.30 WIB, kami semua dibawa keluar dari Mobil Dalmas, disuruh berbaris dan memegang pundak masing-masing. Kami di bawa ke sekitar monasLalu kami diminta berjongkok. Perempuan dan lelaki dipisah. Teman- teman laki – laki, kami saksikan masih disiksa. Sesaat kemudian, kami semua dimasukkan ke mobil pasukan polisi untuk dibawa ke Polda. Lalu seorang lelaki tegap menghampiri seorang lelaki (polisi tanpa seragam) bernama Gultom.
“Pak Gultom, silahkan dibawa ke Polda, dibebaskan di sana saja” Ucap seorang polisi berbakaian safari, Kemungkinan dia adalah atasan Pak Gultom.
“Kalau kalian di lepas di sini, ntar kami kan ga tahu kalian pulangnya kemana. Ntar kami dikira tidak memulangkan kalian lagi” Ucap Gultom.
Kami, 25 orang dibawa ke POLDA pada pukul 21.00 WIB, diperiksa dan disidik lalu dilepas pada pukul 18.00 WIB di hari berikutnya. Merasa tak bersalah, kami menolak menandatangani berkas BAP sebagai tersangka. Kami berkeyakinan kami bukan penjahat. Kami menyampaikan aspirasi menolak PP 78/2015 tentang Pengupahan yang kami rasa tidak adil.
Kriminalisasi = Teror untuk Mempersempit Ruang Demokrasi
Kami ditangkap, didakwa dengan dakwaan primair Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dan Dakwaan Subsidairnya Pasal 218 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa Penuntut Umum, gagal memberikan penjelasan dimana dan apa peran setiap orang dari kami, 26 orang dalam penyampaian pendapat di muka umum, pada 30 Oktober 2015 itu. Dakwaan ini terkesan dipaksakan kepada 26 aktivis buruh, pembela HAM dan mahasiswa.
Upaya ini kami menyebutnya sebagai kriminalisasi, sebuah teror, menebar rasa takut pada buruh agar diam ketika diperlakukan tidak adil. Bila rakyat bisa dibungkam, maka kebijakan ekonomi politik pemerintah yang melapangkan investasi atas nama pembangunan bisa lancar berjalan.
Demokrasi adalah syarat bagi partisipasi rakyat untuk terlibat dalam setiap kebijakan ekonomi politik yang diambil oleh pemerintah. Kami membutuhkan ruang demokrasi agar kami bisa memutuskan hak hidup kami, tentang upah kami, tentang tanah dan air tempat kami hidup, tentang sumber nafkah kami, tempat tinggal kami. Dan ternyata itu menakutkan bagi penguasa.Maka, digunakanlah hukum untuk menghakimi kami, memasung kami. Tak jarang dengan kekekerasan. Maka, bolehlah dibilang upaya kriminalisasi ini adalah juga upaya pembrangusan serikat buruh, pembrangusan hak kami untuk menjalankan aktivitas serikat buruh. Namun, kami percaya hukum masih bisa ditegakkan karena masih ada para pembela hukum pengabdi rakyat yang mau bersusah payah membela rakyat dan kini menjadi kuasa hukum kami.
Di tempat lain, upaya kriminalisasi juga menimpa kawan kami, Agus dan Hakam, buruh Gresik yang dipenjarakan atas pasal “Perbuatan Tidak Menyenangkan”. Sementara, di tempat lain pula, seorang pengusaha PT. Siliwangi, Hendry Kumulia yang sudah divonis kurungan satu tahun penjara, tak kunjung dipenjara. Hendry terbukti membayar upah 170 buruh yang bekerja di perusahaan tersebut di bawah upah minimum yang ditentukan. Selain itu ia juga tidak mengikutsertakan Jamsostek. Sebuah fakta, bagaimana hukum memperlakukan berbeda antara rakyat kecil dan yang ber”uang”. Karenanya, saya sadari, bahwa hukum pun sarat dengan kepentingan. Tak lebih dari instrumen politik penguasa untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan politiknya.
Karena demonstrasi bukan kejahatan, dan penangkapan, pemukulan yang dilakukan aparat kepolisianlah yang adalah kejahatan. Maka dengan ini,saya menyatakan keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Akhir kata, meminjam kalimat dari novel Bumi Manusia ,karya Pramoedya Ananta Toer “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Kita punya harga diri kawan, karenanya kita punya keberanian. Terimakasih
Hidup Buruh! Hidup Rakyat! Hidup Perempuan!
Jakarta, 18 April 2016
Dengan Hormat,
Dian Septi Trisnanti