Risma namanya. Seorang buruh perempuan, bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk mewawancarainya, dan berikut saya bagikan kisahnya kepada para pembaca.
Risma merupakan satu dari sekian ribu perempuan yang datang dari daerah untuk berjuang mencari rezeki di ibu kota. Namun, kesulitan hidup dan tekanan kerja yang tinggi, seakan tak asing lagi baginya. Pun dengan teman-teman di pabriknya. Target yang tinggi dan penghasilan yang rendah, adalah fakta pahit yang mesti mereka hadapi.
Saat ini, Risma bekerja pada sebuah pabrik garmen yang memproduksi sarung tangan dengan Brand yang terkenal. Nike. Merek beken yang kerap dikenakan para atlet internasional atau pemuda kelas menengah ke atas. Sayangnya, kualitas yang bagus dari brand ini -sehingga menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi para penggunanya- berbanding terbalik dengan penghargaan yang diberikan oleh perusahaan terhadap buruhnya.
Di pabrik tempat Risma bekerja, sering kali target produksi ditetapkan secara tidak masuk akal. Sekan, target-target yang ditentukan berada di luar batas kemampuan manusia. Risma, yang bekerja pada bagian quality control (QC) yang diharuskan mengecek 330 pcs produk perjam atau 2.640 pcs dalam sehari. Dalam satu line, terdapat 40 buruh yang akan menyatukan bagian-bagian kecil sehingga menjadi satu produk utuh tang siap dipasarkan.
Lalu, mengapa ini menjadi seakan berada di luar batas kemampuan manusia?
Untuk memenuhi target yang ditetapkan itu, tak jarang Risma dan teman-temannya kerap mempertaruhkan kesehatan, atas nama target. “Supervisor atau leader pun marah ketika saya izin untuk ke toilet dan harus bergantian dengan kawan lain yang ingin buang air kecil. Gantian dulu, stock dulu. Yang dapat banyak baru bisa ijin ke toilet. Dengan nada ketus supervisor pasti menegur saya,” ujar Risma dengan ekspresi geram karena marah. Bayangkan, untuk ke toilet saja, sebegitu susahnya. Padahal, tak ada yang bisa mengontrol keinginan untuk buang air. Memang, bisa ditahan. Namun tak akan baik untuk kesehatan jangka panjang. “Perusahaan hanya menekan kita untuk mendapatkan hasil, target yang tinggi tanpa peduli dengan buruhnya,” tegas Risma.
Meski berstatus pekerja tetap, Risma pun tak terhindar dari dalih perusahaan yang memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk mengurangi hak-hak buruh. Kini, Risma dan teman-temannya tak ubahnya berstatus harian atau borongan. Bayangkan, mereka bekerja secara rotasi dan diupah sesuai hari dimana mereka kerja. Alhasil, upah Risma yang biasanya mencapai enam juta rupiah, sudah termasuk upah lembur, terjun bebas hingga 50%. Perusahaan menggunakan dalih no work no pay untuk memberlakukan sistem ini. Padahal, saat ini Risma mesti menanggung biaya hidup kedua orang tua dan adiknya yang masih duduk di bangku SMP. Jadi, sebelum UU Cilaka disahkan, hitungan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil sudah menemukan jalannya. Praktik itu dibiarkan pemerintah dan kini disahkan lewat UU Cilaka.
Meskipun perusahaan berdalih menerapkan sistem kerja no work no pay karena adanya pandemi, namun keputusan sepihak itu berbanding terbalik dengan kebijakan penanganan pandemi di perusahaan. Perusahaan tidak kunjung menyediakan alat pelindung diri, tidak serius menerapkan protokol kesehatan, minimnya fasilitas cuci tangan dan air sabun. Masker dan sanitizer pun dibebankan kepada para pekerja. Terlihat, dengan dalih yang sama, perusahaan menerapkan kebijakan yang berbeda. Demi keuntungan perusahaan, perusahaan sesukanya menerapkan sistem no work no pay, namun demi kesehatan pekerjanya, perusahaan memilih tutup mata alias masa bodo.
Meski demikian, kondisi buruk itu tidak membuat Risma menyerah begitu saja. Ia memang harus bekerja di bawah tekanan demi memenuhi kebutuhkan hidup mulai dari kebutuhan makan, sewa kos dan keperluan lainnya. Namun, agar penindasan tidak semakin menjadi-jadi, Risma memutuskan untuk berserikat. Di serikat lah Risma memperoleh pengetahuan yang semakin mendalam tentang hak-hak buruh, membangun soidaritas, dan berjuang.
Saat ini, Risma berharap agar pandemi cepat berlalu supaya bisa kembali bekerja dengan penghasilan yang lebih baik. Setidaknya, setara UMP. Namun tak jarang, di kala malam menjelang, di pembaringannya yang sederhana, Risma menyatakan kerap tertegun dan angannya melayang. “Apakah mungkin sistem kerja bisa kembali seperti sedia kala sebelum pandemi terjadi? Mengingat saat ini sudah ada UU Cilaka yang bersabda upah boleh per satuan waktu, per satuan hasil. Dengan kata lain, upah sesuai produk yang dihasilkan, sesuai target yang dicapai. Akan butuh berapa jam untuk kami menahan kencing agar upah kami tak dipotong sewenang-wenang atas nama target?”
Oleh: Agus(Tami)
Ilustrasi: Wahyu AP