Narasi Buruh Ibu
Tahun 2021 adalah tahun penuh refleksi bagi saya pribadi. Situasi pandemi memaksa, setidaknya saya, untuk menatap layar HP yang menampilkan pointer, berbincang dengan suara tanpa menatap wajah karena minimnya quota peserta rapat. Apalagi masa – masa saya menghabiskan waktu karantina di wisma atlet dan berlanjut di sekretariat.
Ya, semua tergantikan dengan pertemuan virtual. Keintiman dalam berbincang menjadi berkurang namun menyita konsentrasi dan terkadang hal ini membuat saya merasa lebih menghargai pertemuan tatap muka. Tak bisa dipungkiri, sering kali di dalam forum atau obrolan informal saya sibuk sendiri dengan gadget atau lain hal.
Situasi pandemi juga mengajarkan tentang keheningan sekaligus ketenangan. Lepas dari hiruk pikuk lalu lintas mengejar waktu yang seolah tidak pernah cukup. Tinggal sendirian di sekretariat organisasi, membuat saya menentukan rutinitas pagi, menentukan prioritas hingga di ujung malam diakhiri dengan rutinitas malam. Akhir kata, justru saya merasa bersyukur dan di tengah keheningan itu lah, keputusan diri mencatatkan cerita buruh ibu muncul. Sederhana saja. Selama pandemi, meski beralih menjadi virtual, padatnya agenda masih tak terbilang karena kondisi kerja tak semakin baik. Sebaliknya, makin runyam. Padat agenda di tengah kesendirian fisik, begitulah. Lalu memantik rangkaian cerita yang kemudian saya bukukan dalam “Bertahan Hidup dan Diabaikan: Pengalaman 10 Buruh Ibu Dalam Pusaran Pandemi”.
Setidaknya, saya ingin mengutip sedikit saja narasi tubuh perempuan dalam buku itu.
Sebut saja Eva, seorang perempuan muda berusia 30 tahun yang sedang hamil anak ke tiga. Sehari – hari di sebuah pabrik garmen PT. Kutu Busuk ia mengoperasikan dua mesin jahit kansai sekaligus.
“Bisa nggak, saya nggak pegang dua mesin jahit kansai dulu? Saya sedang hamil, sementara mesin jahit sebesar kansai butuh tenaga besar, apalagi kalau pegang dua sekaligus,” protes Eva gusar kepada atasannya yang juga adalah perempuan.
“Halah, ga apa kali, hamil gitu aja,” jawab pengawas sekenanya.
Eva sangat kesal, namun ia membutuhkan pekerjaan yang sangat sulit didapat di masa pandemi. Akhirnya, Eva terpaksa diam. Lelah tidak dirasa. Ia matikan rasa itu demi keluarga kecilnya.
Hari itu, Eva nyaris keguguran karena kerja keras kejar target yang tiada habisnya. Bagi perusahaan, Eva adalah aset karena merupakan tenaga kerja yang memiliki keahlian menjahit semua pola dan bisa mengoperasikan berbagai mesin jahit. Namun, tidak lebih dari itu. Perusahaan enggan melihat kebutuhan khusus Eva sebagai perempuan yang memiliki siklus reproduksi yaitu haid, hamil, melahirkan dan menyusui.
Bagi perusahaan, kehamilan itu membebani proses produksi, pun memperbanyak ongkos produksi. Membebani proses produksi karena kondisi buruh hamil tentu berbeda dengan buruh perempuan yang tidak hamil. Ada perubahan hormon di sana, tubuh menjadi mudah lelah, emosi tidak stabil. Selain itu membutuhkan buang air berkali – kali atau muntah berkali – kali juga. Rasa lapar pun bertubi – tubi menyergap. Bagi perusahaan sungguh merepotkan mempekerjaan buruh ibu, maka lebih sering perusahaan lepas tangan dan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada individu buruh ibu.
Kehamilan buruh perempuan dianggap membebani ongkos produksi, karena perusahaan diwajibkan memberi cuti hamil sebagaimana aturan yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan NO. 13/2003, pasal 82 ayat (1). Dengan segala siasat, perusahaan kerap menghindari pemberian cuti hamil, yang paling rentan adalalah buruh ibu dengan status kerja kontrak, seperti Eva.
“Di sini tidak ada cuti hamil. Buruh hamil berstatus kontrak wajib membuat surat pengunduran diri,” ucap ibu HRD saat Eva menanyakan tentang hak cuti hamil. Saat itu, kandungan Eva masih berusia tujuh bulan.
“Bu, di Indonesia itu hanya mengenal UU Ketenagakerjaan dan cuti hamil sudah diatur di UU Ketenagakerjaan baik yang buruh kontrak maupun buruh tetap. Semua perusahaan wajib lho mematuhi,” jawab Eva kesal.
Melewati perdebatan yang alot Ibu HRD tampak gusar.
“Ya sudah sana cuti, nggak usah nunggu usia kandungan delapan bulan, cuti sekarang saja,” kata Ibu HRD dengan kesal.
Eva sampai melongo, karena sebenarnya ia berencana mengajukan cuti mendekati masa melahirkan agar bisa bersama dengan bayinya lebih lama di rumah setelah melahirkan. Apa daya, hari itu juga sang bos mengeluarkan surat cuti hamil. Sejak itu, teman–temannya bisa memperoleh hak cuti hamil meski berstatus buruh kontrak.
Perusahaan seringkali memanfaatkan ketidaktahuan buruh ibu, daya tawar buruh ibu yang lemah akibat status kerja kontrak. Eva, mungkin salah satu buruh ibu yang berani membela dirinya sendiri, berbekal pengalamannya berserikat. Tanpa serikat, Eva bisa jadi tidak mengetahui haknya sebagai buruh. Bahwa setiap buruh ibu apapun status kerjanya berhak mendapatkan cuti hamil. Keberanian Eva membela diri sendiri, akhirnya menjadi contoh bagi buruh ibu lainnya di tempat kerja untuk memperoleh hak serupa. Sebuah perubahan memang membutuhkan perintis dan Eva adalah salah satunya.
Perusahan dan Kontrol Tubuh Perempuan
Dari pengalaman Eva, perusahaan memandang kehamilan sebagai penghambat proses produksi akibat kondisi tubuh buruh ibu yang membuatnya membutuhkan fasilitas khusus dan perhatian lebih misal dispensasi untuk bisa ke toilet berkali – kali, makan di sela pekerjaan. Ditambah lagi harus memberi cuti hamil dimana perusahaan diharuskan membayar buruh ibu selama masa cuti. Eva tidak sendirian, dalam cerita harian kaum buruh, apa yang dialami Eva sudah menjadi hal lumrah. Negara pun memandang demikian. Makanya, pelanggaran hak maternitas bisa subur terjadi tanpa upaya penegakan hukum berarti.
Bila perlu, dengan segala daya, perusahaan akan mengatur tubuh perempuan. Tak sedikit dalam proses rekruitmen, status pernikahan menjadi salah satu pertanyaan, sedang hamil atau tidak. Status single, usia muda jauh lebih disukai karena tidak beresiko kehamilan. Akibatnya, banyak buruh perempuan tidak mengaku sedang hamil hingga akhirnya ketahuan dan tidak diperpanjang kontrak. Tentang ini, saya tidak bisa melupakan cerita pahit seorang buruh ibu yang selama 3 bulan lebih melilitkan “stagen” di perutnya demi menyembunyikan kehamilan. Suatu hari, ia mengalami pendarahan. Bersyukur, bayi itu kini lahir dengan selamat dan sang ibu masih sehat. Demikianlah, buruh ibu setiap detik harus bertaruh nyawa di tempat kerja.
Dalam kondisi sosial politik ekomomi kapitalistik dan patriarkal, ketimpangan antara pemberi kerja dan buruh perempuan membuka peluang besar terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dimana, pemberi kerja, dalam hal ini perusahaan bisa dengan leluasa mengatur, mengontrol dan menundukkan tubuh perempuan.
Demikian halnya saat buruh permpuan mengalami haid. Perusahaan kerap tidak memberikan validasi atas proses haid tubuh perempuan. Perusahaan menyangkalnya dengan daya upaya, seperti meminta buruh membuktikannya dengan menunjukkan pembalut, hingga memberikan surat keterangan sakit dari dokter. Dalam hal ini, tubuh perempuan direbut otoritasnya hingga tak memiliki kedaulatan atas tubuhnnya sendiri. Tubuh perempuan adalah liyan (asing), dijadikan sumber masalah dan ancaman terhambatnya roda produksi.
Dalam sebuah konferensi pers di hari May Day yang diselenggarakan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, Ibu Atashendartini Habsjah, seorang aktivis perempuan menyampaikan temuannya bahwa APINDO di kawasan Pulo Gadung bekerja sama dengan dokter – dokter di Jakarta, supaya tidak memberikan surat keterangan sakit kepada buruh perempuan yang sedang haid dan meminta surat keterangan sakit. Padahal, perusahaan mencantumkan syarat surat keterangan sakit pada setiap buruh perempuan yang sedang haid dan mengajukan cuti haid.
Bentuk Perlawanan Baru
Buruh perempuan (ibu) kerap melakukan perlawanan secara berserak, mulai dari membawa makanan secara diam – diam, tetap ke toilet berkali – kali meski dilarang, menyempatkan istirahat di sela – sela jam kerja saat tubuh terasa lelah akibat kehamilan maupun menolak surat keterangan sakit saat mengajukan cuti haid, menolak pembuktian tidak masuk akal seperti menunjukan pembalut dan banyak lagi. Perlawanan – perlawanan ini dipicu oleh kehendak untuk bertahan hidup yang selama ini terus – menerus diabaikan.
Lalu bentuk perlawanan baru apa yang dibutuhkan? Perlawanan – perlawanan buruh perempuan (ibu) di atas mungkin terlihat kecil dan sangat mikro, namun perlawanan itu soal nyawa. Tentang menyelamatkan hidup diri sendiri dan janin yang dikandungnya. Di sinilah, peran Serikat Buruh dibutuhkan. Mengasah kepekaan dengan terus menerus mengumpulkan daya juang buruh perempuan (ibu) dalam perlawanan bersama. Bagaimana memulainya? Dimulai dengan mendengar keluhan buruh perempuan (ibu) di sela jam – jam istirahat, saat pulang kerja sambil menunggu jemputan atau angkutan umum. Mencatatnya dan mendokumentasikannya sebagai bentuk formulasi masalah yang siap dianalisa. Menanyakan kepada buruh perempuan (ibu) tentang apa yang dirasakan, fasilitas spesifik apa yang dibutuhkan dan solusi macam apa yang diinginkan.
Bagaimanapun, suara adalah politik. Di tengah kondisi sosial yang tidak mendukung perempuan untuk berbicara, menggali pemikiran buruh perempuan (ibu) untuk bersuara adalah mendesak. Setidaknya bagi saya, sumber pengetahuan tentang buruh perempuan (ibu) adalah buruh perempuan (ibu) sendiri, sama halnya sumber pengetahuan tentang petani adalah kaum tani, sumber pengetahuan tentang nelayan adalah kaum nelayan, dan seterusnya.
Maka, mari beri ruang bagi buruh perempuan (ibu) untuk bersuara agar semakin teguh menjadikannya perlawanan kolektif bukan hanya oleh buruh perempuan (ibu) tapi perlawanan kolektif publik.