Kesannya membantu, pesannya membantu jangan bikin buntu
Saya, sudah puluhan tahun bekerja sebagai buruh di KBN Cakung. Sejak usia 12 tahun saya sudah pergi ke kota dan berganti-ganti pekerjaan. Namun dalam goresan pena ini, saya tidak akan berkisah soal hidup saya. Biarlah itu lain waktu. Saya akan sedikit berkisah tentang teman saya.
Namanya Nining seorang ibu rumah tangga mempunyai dua orang anak, selain ibu rumah tangga Nining juga seorang buruh pabrik di kawasan berikat nusantara Cakung ( KBN). Suami Nining bekerja serabutan, terkadang tidak bekerja. Kehidupan Nining jauh dari kata layak, apalagi berkecukupan. Setiap hari Nining bangun pukul 4 pagi untuk mengurus keperluan atribut anaknya sekolah dan menyiapkan sarapan, juga membuatkan kopi buat suami. Jam 6 pagi, Nining harus berlomba dengan mobil jemputan yang setiap hari membawa Nining dari daerah Cilincing menuju KBN. Terkadang Nining lupa apakah sudah mematikan kompor atau belum? apakah anak – anaknya sudah ditinggalkan uang buat ongkos sekolah atau belum. Setiap hari Nining berlomba dengan waktu. Sampai di tempat kerja atau pabrik, Nining dihadapkan dengan banyaknya barang – barang kreditan, mulai dari pakaian anak- anak, kue seperti bolu lapis dan juga makanan kering lainnya menurut Nining ini sangat membantu keluarganya karena bisa dibayar dengan mencicilnya.
Menjadi buruh bukanlah satu- satunya keinginan Nining. Nining ingin seperti tetangganya yang hanya mengurus keluarga saja tetapi apa daya kebutuhan ekonomi yang sulit, membuat Nining rela bekerja di KBN, posisi amankah Nining di dalam pabrik?
Di tengah berbagai macam pelanggaran mulai dari upah murah, sistem kerja kontrak, lembur yang tidak dibayar dan target yang terlalu tinggi, belum lagi kekerasan verbal. Situasi ini juga yang selalu membuat Nining mengeluhkan nasibnya ketika tanggal 5 dan tanggal 20, “ GAJI “ nya hanya lewat begitu saja untuk membayar kontrakan, transport kerja, kebutuhan keluarga dan membayar berbagai macam cicilan termasuk bayar cicilan pada rentenir. Terkadang tidak tersisa, tapi inilah hidup, sekarang melarat siapa tahu besok konglomerat, begitu menurut Nining sambil menghela nafas. Setelah tanggal 5, biasanya tanggal 8, Nining sudah mulai beroperasi untuk mencari “Tante atau kakak “(rentenir) yang selalu meminjamkan uang. Di mata Nining, rentenir adalah penyelamat karena menurut Nining, berapapun uang yang dibutuhkan akan disediakan asal mau besepakat untuk membayar bunganya. Contoh: pinjam Rp 100.000 maka yang harus dibayarkkan Rp 125.000/ gajian dan ketika tidak mampu membayar uang pokoknya, maka bunganya tetap harus dibayarkan. Ini hanya contoh kecil saja, masih ada beberapa selain rentenir, yaitu pinjaman melalui Bank – Bank yang difasilitasi oleh perusahaan seperti Bank Mandiri dan Bank Chinatrust dengan proses yang ribet dan salah satu syaratnya adalah harus pekerja tetap atau karyawan. Lalu bagaimana nasib buruh kontrak? Atas dasar status buruh kontrak inilah, maka situasi ini digunakan oleh para rentenir untuk melebarkan sayapnya dengan cara memberikan nomor kontak kepada peminjam agar semakin melebar, meluas dan terksesan membantu. Padahal pesannya membantu tapi jangan bikin buntu.
Sesungguhnya dengan kehadiran rentenir hidup bukan semakin baik apalagi kalau sudah terlilit maka akan sulit untuk melepaskan diri,dan ini yang dialami Nining, yang ada di pikiran dan benak Nining adalah kerja yang rajin dan patuh agar kontrak kerjanya diperpanjang. Nining bekerja selain buat keuntungan perusahaang juga bekerja buat keuntungan rentenir. Lalu buat keluarga? buat diri sendiri dimana?
Untuk memperkaya perusahaan dan rentenir, Nining tidak peduli akan tubuhnya, kesehatan reproduksinya, apalagi memikirkan kesenangan untuk dirinya. Secara tidak langsung, hidupnya sebagian telah di kuasai pemilik modal.
Lalu bagaimana solusinya? ketika upah murah, dimanakah tanggung jawab pemerintah agar buruh bisa merasakan hidup dengan layak?
Salam Sejahtera
Thinkoesna, 20 Januari 2015