Aku tidak akan membahas soal Pelecehan Seksual dari sudut pandang orang ternama atau orang yang ada di bidangnya, tapi dari sudut pandang diriku sendiri sebagai anak dari korban pelecehan seksual dengan menceritakan kisahku.
Ya, mamaku adalah korban pelecehan seksual. Kalian mungkin melihat aku biasa saja, tidak ada beban, tidak ada kesedihan. Tapi, sebenernya aku melalui tahap adaptasi yang lama.
Aku lahir di Bogor 07 Februari 2001. Aku masih ingat, saat aku berumur 6 tahun. Kelas 1 SD. Ketika melihat anak seusiaku pertama masuk sekolah di antar oleh ayah atau ibu mereka. Sedangkan aku hanya bersama dengan seorang nenek, ilbu dari mamaku. Itu tidak jadi masalah buatku, setidaknya ada yang mengantarkanku ke sekolah. Mungkin saat itu juga aku belum mengerti. Tapi pastinya rasa iri itu ada.
Malu, saat semua temanku mengolokku, menanyakan tentang ayah tapi aku hanya bisa menjawab tentang ibu. Aku memakan semua omongan itu dengan perjuanganku dalam belajar dan menjadi juara kelas di sekolah. Setidaknya dengan keterbelakangan keluarga yang kurang lengkap, aku masih bisa bangkit dengan semangatku sendiri.
Ah, itu hanya pemikiran bocah SD. Berbeda setelah aku masuk SMP, saat aku sudah mulai belajar dan mengerti. Aku lihat ternyata di akta kelahiranku saja hanya ada nama mamaku. Berbeda dengan anak yang lainnya, ada nama ibu dan ayahnya. Aku mulai bertanya tanya saat itu. Siapa ayahku? Siapa bapakku? Siapa lelaki itu? Bahkan dari kecilpun, aku hanya melihat batang hidungnya dengan itungan jari.
Semua datang ketika nenek yang selama merawatku dari kecil meninggal dunia. Saat itu aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Oh ya, mamaku merantau ke Ibu Kota saat aku di kelas 3 SD. Pasti kalian tahu rasanya di tinggal oleh orang yang berarti. Tapi itu tidak berakhir sampai disitu saja. Aku mulai mencari informasi tentang Ayahku.
Dengan keberanianku bertanya kepada mamaku saat itu, menuai hasil. Aku mendapatkan alamatnya. Senang, ya walaupun ayahku tidak mendampingiku tumbuh dan berkembang, setidaknya aku tahu kan siapa ayahku?
Ketemu. Aku berhasil menemuinya. Di daerah Puncak, Bogor. Tapi aku tidak bodoh, kenapa saat aku menemuinya aku hanya biasa saja? Kemana rasa senangku? Apakah aku tidak bahagia?
Pertanyaan itu terjawab ketika aku lulus SMP, ternyata orang yang kutemui itu bukan ayah Kandungku. Drama macam apa ini?. Dia menolong mamaku yang sedang mengandung dengan menikahinya. Lalu bercerai ketika aku masih berumur 3 bulan.
Hancur, Marah? Ya pastinya mana ada yang dipermainkan. Tapi itu semua berhenti ketika aku mengetahui bahwa mamaku ternyata korban pemerkosaan, salah satu bentuk pelecehan seksual. Rasa yang aku rasakan tak sebanding dengan apa yang dirasakan mamaku saat itu. Malu, kesehatan mental dan psikis nya terganggu. Tapi dia tetap mau mengandung diriku, setelah keluarga mengusirnya, mencaci maki. Ketika orang mengaggapnya hina. Sampai aku besar seperti ini, dia tidak membenciku seperti di sinetron kebanyakan. Dimana seorang wanita korban pemerkosaan malah membenci anaknya, bahkan ada yang sampai menggugurkannya.
Aku mulai memahami semuanya, ketika aku beranjak remaja dan dewasa. Sekarang umurku 18 Tahun. Aku tidak akan membahas itu semua dan bertanya siapa ayahku? Aku sudah mulai menerima kenyataan. Seperti mamaku menerima kenyataannya. Aku memafkan semuanya.
Pesanku untuk semua anak korban pelecehan seksual sepertiku, tidak ada orang yang mau menghadapi hal seperti aku, termasuk mamaku. Jangan salahkan mamamu, Jangan desak mereka untuk menjawab pertanyaan “Siapa Ayahku?”. Sungguh itu hanya membuat mereka mengingat masa kelamnya. Ada saatnya mereka dengan sendirinya menceritakan kebenaran. kita hanya perlu mempersiapkan diri. Bukan tidak beruntung, hanya Tuhan menulis skenario yang sedikit berbeda dengan mereka.
Jangan penjarakan diri kita hanya untuk pertanyaan semu yang belum tentu ada jawabannya. Semangat dan sukseslah untuk semua anak korban pemerkosaan sepertiku.
Jakarta, 23 Agustus 2019
Oleh Putri