Search
Close this search box.

Kejanggalan Sidang Perdana Kriminalisasi Septia

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, yang juga merupakan kuasa hukum Septia, menyatakan bahwa proses persidangan hari ini jauh dari harapan. Ade menekankan bahwa hakim seharusnya sudah memberikan keputusan terkait penangguhan penahanan terhadap Septia, mengingat tim kuasa hukum telah menyerahkan surat permohonan penangguhan tersebut. Namun, majelis hakim menunda keputusan tersebut dengan alasan komposisi hakim yang tidak lengkap. Ade juga mengkritik dakwaan JPU, yang menggunakan pasal-pasal dari UU ITE tahun 2016 yang sudah tidak berlaku karena telah direvisi.

Jakarta, 17 September 2024 – Persidangan pertama kasus Septia, seorang buruh yang dikriminalisasi melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena memperjuangkan hak-hak ketenagakerjaannya, akhirnya digelar pada Selasa, 17 September 2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Sidang yang beragendakan pembacaan dakwaan ini dianggap penuh dengan kejanggalan karena hakim sempat mengulur waktu persidangan, yang awalnya dijadwalkan pada pukul 13.00 WIB, namun baru dimulai pada pukul 15.00 WIB. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak melampirkan bukti tuntutan yang seharusnya menjadi elemen penting dalam proses pembelaan Septia.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, yang juga merupakan kuasa hukum Septia, menyatakan bahwa proses persidangan hari ini jauh dari harapan. Ade menekankan bahwa hakim seharusnya sudah memberikan keputusan terkait penangguhan penahanan terhadap Septia, mengingat tim kuasa hukum telah menyerahkan surat permohonan penangguhan tersebut. Namun, majelis hakim menunda keputusan tersebut dengan alasan komposisi hakim yang tidak lengkap. Ade juga mengkritik dakwaan JPU, yang menggunakan pasal-pasal dari UU ITE tahun 2016 yang sudah tidak berlaku karena telah direvisi.

“Kenapa Septia harus dibebaskan? Pertama, Septia didakwa dengan pasal yang sudah tidak berlaku lagi di UU ITE. Pasal yang digunakan adalah pasal dari UU ITE 2016, sementara saat ini sudah ada versi 2024. Kedua, pasal yang digunakan untuk penahanan adalah Pasal 36 UU ITE 2016, yang ancaman pidananya lebih dari 5 tahun, namun pasal ini sudah tidak berlaku lagi di UU ITE 2024 untuk pencemaran nama baik. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk menahan Septia. Artinya, penahanan ini melanggar hak asasi manusia, hak-hak buruh, dan melanggar KUHAP,” tegas Ade.

Ade menambahkan bahwa kasus yang menimpa Septia perlu mendapat perhatian dari semua pihak, karena ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak demokrasi buruh yang ingin memperjuangkan keadilan di tempat kerja. “Kami berharap para hakim memiliki nurani untuk membebaskan Septia. Kasus Septia adalah kasus seluruh buruh di Indonesia, terutama buruh perempuan. Jika Septia yang berani menyuarakan hak-haknya saja dikriminalisasi, bagaimana dengan teman-teman buruh lainnya yang tidak terpantau oleh serikat pekerja?” lanjutnya.

Puluhan masyarakat yang terdiri dari elemen buruh, masyarakat sipil, dan korban UU ITE, hadir dalam persidangan ini untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada Septia. Mereka menggelar aksi solidaritas, mengecam penggunaan pasal karet dalam UU ITE yang telah menjerat Septia, dan menuntut agar penyelesaian kasus ini dilakukan melalui mekanisme administrasi ketenagakerjaan, bukan ranah pidana.

Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Emelia Yanti Siahaan, yang turut menyuarakan dukungan dalam aksi tersebut, berpendapat bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. “Jika saja PT. Hive Five, tempat Septia bekerja, menjalankan hak-hak normatif buruh, maka tidak akan ada cuitan Septia soal pemotongan upah, lembur yang tidak dibayar, dan perintah kerja yang tidak manusiawi,” ujarnya.

Emelia juga menekankan bahwa UU ITE telah banyak memakan korban, terutama buruh yang memperjuangkan hak-haknya. “Septia bukan buruh pertama yang dikriminalisasi dengan UU ini. Kami di GSBI juga pernah mengalami kriminalisasi saat menyuarakan tekanan dari atasan. UU ini adalah instrumen bagi pengusaha untuk membungkam buruh yang berjuang,” tambahnya.

Dimas Satrio Wibowo dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) juga menganggap kasus ini penting untuk terus dikawal. Menurutnya, kasus Septia memperlihatkan ketidakadilan, dimana pelapor yang seharusnya memiliki masalah hukum karena melanggar hak-hak buruh justru berbalik mengkriminalisasi korban. “Kami akan terus memobilisasi massa untuk hadir di persidangan selanjutnya dan memberikan tekanan kepada kejaksaan agar bersikap objektif terhadap Septia,” tegasnya.

Sidang lanjutan Septia dijadwalkan pada 19 September 2024 dengan agenda pengajuan eksepsi terdakwa sekaligus keputusan hakim terkait penangguhan penahanan.

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

21 Tahun Marsinah Tanpa Keadilan

Setelah dinginnya Batang, rombongan Obor Marsinah disambut dengan teriknya kota Semarang. Sebuah kota tempat Semaun bergelut dengan peluh menyusun kekuatan buruh dan perlawanan rakyat. Di

Narasi Pekerja Informal di Tengah Pandemi

Pekerja informal tak tersentuh bansos, ditolak kartu pra kerja, bingung memikirkan nasib keluarga. 1 April 2020, saya resmi jadi pengangguran karena dirumahkan dengan waktu yang

Iis : Buruh Menjadi Penggiat Koperasi (1)

Dari Boikot Massal Pelajaran Bahasa Inggris hingga Jadi Security di Perusahaan Malam itu, sambil menjaga tokonya, tampak Iis sedang bercengkrama dengan beberapa buruh perempuan. Mereka

Merebut Keadilan di Hari HAM

Rintik hujan menemani perjalanan kami ketika sore tiba. Tepat di seberang istana, warna – warni balon menghiasi taman aspirasi. Puluhan orang dari beragam kelompok sedang

Inspirasi

Inspirasi  adalah program siaran tentang inspirasi dari orang terdekat, atau lingkungan sekitar. Inspirasi mengajak pendengar untuk memperhatikan dan memaknai orang di sekitarnya yang bisa member

Buruh Damco Menuntut Hak, Diserbu Preman

Buruh yang mogok, berdemonstrasi depan PT. Damco/dudung Oleh Dian Septi  Jelang malam, di hari Sabtu (21/05/16), belasan buruh tampak berbaris di depan sebuah perusahaan bernama

Darah Juang Khotimah di Muka Peradilan

“Sudah cukup, bapak Majelis Hakim” Teriak seorang perempuan paruh baya di sampingku. Namanya, Lita Anggraeni, seorang aktivis perempuan yang puluhan tahun memperjuangkan nasib PRT (Pekerja Rumah Tangga)