Oleh: Dian Septi Trisnanti
Malam itu, pelataran taman Fatahilah, Kota Tua tampak gemerlap dengan lampu temaram berwarna pelangi. Di setiap sudut sekumpulan anak muda menebar ekspresi, bermain musik atau membaca puisi. Sementara, tepat di depan museum Fatahilah, perhelatan panggung budaya riuh dengan musik dan lagu. Di tengah keramaian Working Class Festival itulah, mata saya menelanjangi setiap sudut taman, di sebelah kanan berderet bazar berdiri mempertontonkan ragam karya, mulai dari baju sablon bernuansa tuntutan, hingga minuman ringan bergelas kertas.
Akhirnya mata saya tertuju pada sosok yang selama ini saya cari keberadaannya. Perempuan paruh baya dengan hijab sederhana, berbalut kaos berwajah Marsinah melemparkan senyum, sesaat saya melontarkan sapa. Namanya Hartati atau kerap dipanggil mba Har atau mak Har. Ia resmi menyandang status janda sejak setahun lalu dengan dua orang anak. Seperti buruh kebanyakan di KBN Cakung, Jakarta Utara, ia menempati kamar sempit tiga petak dengan dua mesin jahit yang sudah kepayahan bekerja. Si bungsu, seorang anak lelaki sudah sejak SMP bersekolah di pesantren. Ada rasa sepi sebab si bocah sudah lengket padanya sedari kecil, sementara si sulung dibesarkan oleh neneknya di kampung, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Namun ia bersyukur, si sulung, seorang perempuan muda telah membantu mencari nafkah sejak dua tahun terakhir dengan bekerja sebagai buruh di pabrik Parfum, tepatnya di Cibitung, Bekasi. Dengan demikian, mba Har tidak lagi menjadi tulang punggung utama, terlebih semenjak sang suami tiada.
Di usia yang tidak lagi muda, sudah berkepala empat, mba Har merasakan betul sulitnya mencari kerja di pabrik garment. Tak seperti sebelum – sebelumnya, kini untuk bekerja di pabrik garment ia harus memenuhi syarat berusia muda antara 18 tahun – 25 tahun. Sungguh, dunia bekerja tanpa mengenal welas asih, sangat bergantung pada keistimewaan yang dipunya. Mba har, yang sudah tak lagi muda, bekerja dari satu pabrik ke pabrik lain hanya dalam hitungan minggu. Dua minggu di satu pabrik, tak diperpanjang lalu berpindah ke pabrik lain dengan jenjang waktu tak lama. Begitu terus hingga ia terbiasa dengan ketidakpastian. Ketidakpastian acap kali menghantuinya, dua minggu lagi apakah ia bisa memperoleh upah untuk sekedar membeli beras, minyak goreng dan sedikit lauk pauk, serta melunasi biaya sewa kos. Adalah sebuah keberuntungan bila jangka waktu kontraknya bisa mencapai sebulan atau tiga bulan. Setidaknya ia merasa pasti menjalani hidup selama tiga bulan. Betapa pendek waktu merasai kepastian yang membuat langkahnya tak lagi gontai berkejaran dengan jarum jam yang tak berhenti berdetak.
Lelah. Itu yang dirasa seiring usia yang tak bisa ditahan lajunya. 40 tahun lebih menjadi buruh pabrik, usia muda habis tergerus oleh deru mesin jahit di balik dinding pabrik yang lusuh dan lapuk. Selapuk itulah usianya sekarang. Apalagi yang bisa dipertahankan selain hidup itu sendiri dan tentu saja hidup kedua anaknya.
Tak bisa, mba Har akhirnya mengambil pilihan seperti buruh perempuan seusianya. Bekerja di konveksi. tepatnya di komplek perumahan Kelapa Gading. Bangunannya seperti rumah biasa, terdapat 6 mesin jahit, ia salah satu dari 6 buruh jahit, selain buruh jahit majikan mempekerjakan 2 buruh potong dan 2 lagi buruh packing atau finishing. Setiap hari, mba Har berangkat bekerja setiap jarum jam bergeser ke angka delapan, menaiki motor yang sekian lama menemani hari – harinya.
“Lima peace. saya memproduksi baju sebanyak lima peace. Macam – macam bajunya, ada baju renang, baju tidur atau celana” Ucap mba Har, saat akhirnya kami menemukan tempat duduk yang jauh dari kerumunan.
Mba Har lalu bercerita, ia menerima upah sebesar Rp 3 juta per bulan, untuk produksi 5 peace per hari. Mari kita hitung, 5 peace/ hari, artinya dalam sebulan wajib memproduksi 105 peace dengan sistem kerja Senin – Sabtu (sebulan = 21 hari). Dengan demikian, per piece dihargai sekitar Rp28.000. Bila lebih dari 5 peace, maka dihitung borongan yaitu Rp 20.000/ baju. Nilai baju per piece ini jatuhnya menjadi lebih murah dan majikan menyebutnya sebagai bonus. Ia dan teman – temannya tidak mengenal tanggal merah. Meski, sistem kerjanya adalah Senin – Sabtu. Bila harus bekerja di tanggal merah atau hari minggu, maka per peace langsung dihitung Rp 20,000, lebih murah dibanding hari biasa.
“Secara kualitas, kainnya jelek. Jauh sekali dari kualitas baju pabrik”
Namun, mba Har menuturkan harga tiap baju yang dijual secara online itu terhitung mahal, hingga ratusan ribu. Kualitas buruk tapi harga jual mahal. Produk baju konveksinya bisa ditemukan di IG resmi maupun di toko online Shoppee, JD ID, LAZADA dan lain – lain. Merasa tergelitik, saya pun kemudian mencari tahu produk bernama ******be** tersebut di aplikasi shopping online maupun IG, dan menelusuri harga tiap produknya. Benar saja harga per piece rata – rata Rp 200 ribuan. Outfit baju renang terbaru adalah Rp 289.000,-. Tanpa perlu berpikir rumit, kita memahami berapa harga keringat buruh yang dicuri dari sistem kerja konveksi, yang seiring dengan maraknya industri Fast Fashion.
Mba Har memahami resiko bekerja di konveksi. Tak seperti kerja di pabrik, ia dan teman – temannya tidak menerima fasilitas seperti BPJS, cuti sakit, cuti haid atau hak – hak normatif lainnya. Bila ia sakit, ia bisa pergi ke puskesmas dulu, namun harus rela potong upah. “No Work No Pay” demikian kalangan buruh menyebutnya, merupakan hal jamak ditemui di kerja konveksi. Hal sama berlaku saat ia harus menghadiri Working Class Festival sebagai bagian dari agenda organisasi. Ia mengajukan ijin untuk pulang lebih awal, artinya ia harus bekerja dengan cepat hingga target 5 peace terpenuhi, bila tidak dia harus rela upah dipotong. Bagaimana dengan jam istirahat? Setiap buruh konveksi di tempatnya bekerja, tidak mempunyai jam istirahat yang pasti. Demi memenuhi target 5 peace baju, mereka rela beristirahat makan dengan waktu sangat singkat. Setiap jam makan, mereka memperoleh nasi bungkus dari majikan, kadang nasi padang, kadang nasi warteg.
Kerja Informal, Kerja Tanpa Perlindungan Sosial
Kerja konveksi merupakan bagian dari kerja yang diinformalkan. Tidak ada aturan baku yang mengatur hak- hak buruh konveksi, mulai dari hak normatif hingga jaminan sosial. Semua itu dianggap wajar, padahal jumlah buruh informal terus meningkat setiap tahunnya. Data BPS pada tahun 2021, mencatata terdapat 77,9 juta orang bekerja di sektor informal, jumlah itu naik sebesar 0,3% dari tahun 2020. Sektor informal menjadi pilihan bagi penduduk dengan latar pendidikan rendah dan usia yang dinilai tidak produktif lagi seperti yang dialami mba Har.
Dengan kata lain, sektor informal menampung tenaga kerja yang dianggap kurang produktif, tersingkir dari pasar tenaga kerja yang kian kompetitif. Area informal ini tidak tersentuh oleh hukum ketenagakerjaan, tidak masuk dalam skema jaminan sosial seperti JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) misalnya, atau produk BPJS lainnya.
Dalam kasus Mba Har, selepas tidak lagi bekerja di pabrik, ia mendaftar sebagai penerima manfaat PBI JK (Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan) yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Prosesnya pun terbilang rumit, apalagi semenjak mba Har menyandang status janda. Ia harus mengurus KK baru, mengurus kembali PBI JK BPJS nya dan beragam administrasi lainnya. Proses yang ribet ini membuat ia dan keluarganya tidak bisa mengakses bantuan sosial karena tidak tercatat sebagai warga.
Bagaimana dengan fasilitas JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) yang sempat digembor – gemborkan pemerintah sebagai jalan keluar meredakan kemiskinan struktural itu? Jawabannya tentu jauh dari harapan, pekerja informal seperti mba Har tidak bisa mendapat manfaat dari JKP karena mensyaratkan memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan serta membayar iuran enam bulan berturut – turut sebelum terjadi PHK. Buruh dengan status kontrakpun akan sulit membuktikan dirinya di PHK, mereka tidak di PHK tapi habis kontrak setelah dua minggu atau sebulan bekerja. Jelas saja syarat itu mustahil bagi mba Har yang sebelumnya bekerja di pabrik dengan status buruh kontrak atau harian lepas dengan jangka waktu kontrak hanya dua minggu atau paling lama tiga bulan. Semakin mustahil lagi saat bekerja di konveksi dengan sistem borongan tanpa status kerja yang jelas. Bila buruh informal berjumlah 77,9 juta orang, maka sebanyak 77,9 juta buruh tidak dihitung dalam skema jaminan sosial. Pahitnya, mayoritas buruh informal adalah perempuan.
Sistem jaminan sosial yang diterapkan oleh Indonesia merupakan model minimal dimana pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya diberikan hanya pada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi.
Perlindungan sosial Indonesia dengan model minimal tersebut menyasar rakyat miskin dan terdiri dari (1) Social Assurance (Jaminan Sosial) berupa bantuan penghasilan seperti BLT; Layanan sosial dalam bentuk PKH (Program Harapan Keluarga), Jamkesmas, Jampersal, BOS, Askesos dan Raskin; Pemberdayaan sosial seperti PNPM Mandiri dan KUR (Krdit Usaha Mikro); (2) Social Security (Keamanan Sosial) yang dikelola BPJS dan berbasis iuran.
Pada prakteknya, sistem perlindungan sosial yang diterapkan mengalami banyak problematika, mulai dari penerima yang tidak tepat sasaran, tidak merata dan tentu saja tidak sanggup menaikkan daya beli rakyat, termasuk buruh dan keluarganya.
Sementara, secara global terdapat beberapa ragam model perlindungan sosial , diantaranya :
- Model Universal,
Bentuk perlindungan sosial dan Jaminan sosial berupa pelayanan sosial yang diberikan oleh negara kepada seluruh penduduknya, bagi kaya maupun miskin. Dalam hal ini, negara berperan sebagai pembayar tunggal. Model perlindungan sosial ini diterapkan oleh beberapa negara seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia
- Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Model ini dilaksanakan secara melembaga, luas, namun kontribusi terhadap beerbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha, dan buruh. Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Beberapa negara yang menerapkan model ini adalh Jerman dan Austria
- Model Residual,
Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok – kelompok yang kurang beruntung seperti orang miskin, penganggur, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas, tapi jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek dari pada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien. Negara yang menerapkan model ini diantaranya AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Selain Indonesia, beberapa negara yang juga menerapkan perlindungan model minimal adalah AS Latin (Selatan) Spanyol, Italia, Chile, Brazil, Korea Selatan, Fillipina, Srilangka. Banyak referensi tentang sistem perlindungan sosial yang lebih adil, tanpa diskriminasi dan peduli pada perempuan yang selayaknya bisa dijadikan contoh.
Perlindungan Sosial Ramah Gender
Skema jaminan sosial yang cenderung mengabaikan problematika kemiskinan struktural dalam masyarakat berkelas dan patriarki yang berdampak pada terpinggirkannya kelompok rentan, terutama perempuan. Apa yang dialami mba Har hanya sebagian kecil contoh, diantara 270 juta rakyat Indonesia, terdapat mba Har lainnya yang secara turun menurun sulit lepas dari jerat kemiskinan dan nyaris tanpa perlindungan sosial. Padahal, dunia semakin rentan untuk ditinggali. Mulai dari problem lingkungan dan iklim yang menimbulkan bencana tidak terduga, termasuk badai virus corona di tiga tahun terakhir, sistem kerja yang kian fleksibel, krisis pangan dan lainnya yang tak terhindarkan meningkatkan resiko hidup manusia. Itulah mengapa, perlindungan sosial seharusnya mencakup seluruh pekerja atau buruh baik calon pekerja yang sedang mencari kerja, buruh informal seperti buruh konveksi, buruh rumahan, PRT (Pekerja Rumah Tangga) hingga kerja rumah tangga yang selama ini diemban ibu rumah tangga.
Supaya perempuan tidak lagi luput dalam skema jaminan sosial, penting bagi kita memiliki perlindungan sosial dengan perspektif/ kaca mata/ sudut pandang gender. Sehingga kebijakan perlindungan sosial menjadi lebih peka pada kebutuhan dan kepentingan perempuan.
Di beberapa negara misalnya, telah menerapkan perlindungan sosial dengan tujuan menjangkau kaum perempuan. Meksiko, diantaranya, mempunyai program Oportunidas yang bertujuan meningkatkan peranan pembuatan keputusan perempuan dalam pengeluaran rumah tangga, keamanan finansial, penghargaan diri dan status sosial, termasuk menurunkan angka kematian Ibu. Brasil dengan program Boisa Familia, meningkatkan status rumah tangga dan tingkat partisipasi perempuan. Atau Malawi dengan skema transfer tunai sosial dengan tujuan penurunan kemungkinan “perilaku beresiko” rumah tangga yang dikepalai perempuan dan anak. Pakistan dengan program Reformasi Sektor Pendidikan Punjab, yang bertujuan meningkatkan pendaftaran sekoah anak perempuan; Bangladesh dengan program Female Secondary School Assistance Program yang menargetkan peningkatan tingkat kelulusan anak perempuan hingga sekolah menengah pertama. Pun, program layanan Pengasuhan Anak (Child Care/ Day Care) yang terjangkau dan berkualitas
Segalanya menjadi mungkin dan bukan mustahil untuk menciptakan perubahan sistem perlindungan sosial menjadi lebih baik agar buruh informal seperti mba Har dan perempuan – perempuan lain yang terlempar dalam ruang gelap dunia kerja bisa terjamin hak – hak dasarnya. Paling tidak, saya masih memiliki harapan, saat bercengkrama dengan mba Har, bertemu dengan banyak perempuan buruh di ruang – ruang serikat, di tempat tinggal mereka yang sederhana, berbagi cerita dan mengumpulkan daya juang untuk bergerak. Karena, merekalah daya gerak perubahan yang selalu tumbuh dan berd