Oleh : Thin Koesna
Membangun kesadaran berorganisai bukan suatu hal yang mudah terlebih lagi di tengah tekanan pemilik modal yang telah mengatur pola pikir buruh agar buruh mentaati dan mengikuti ritme pemilik modal. Buruh dibuat tidak memikirkan pentingnya berorganisasi.
Diantara situasi yang sulit itu, ada jutaan buruh perempuan yang terperangkap dalam suatu sistem kerja yang tidak berpihak kepada buruh, sistem kerja itu antara lain berwujud dalam sistem kontrak dan outsoursing, upah murah di tengah tidak bekerjanya badan pengawasan. Pada tahun 2014, DPR RI telah membuat panja (Panitia Kerja) dan memberikan rekomendasi penghapusan out oursorsing di BUMN tapi tidak juga dilaksanakan.
Nasib serupa menimpa buruh – buruh perempuan migran Indonesia yang dijadikan komoditi, yang ditempatkan di negara – negara tertentu, tanpa kebijakan dan UU yang kongkrit untuk melindunginya. Hal serupa juga menimpa pekerja Rumah Tangga (PRT), yang hingga kini terus mendesak pemerintah agar RUU P PRT dan Konvensi ILO 189 kerja layak PRT segera disahkan. Nasib serupa juga menimpa buruh yang bekerja di sektor – sektor padat karya berupah murah dan sebagian lagi lainnya yang terjerembab di sektor- sektor yang tak saja berupah rendah, tanpa perlindungan, mengancam jiwa dan menghancurkan kemanusiaan. Disanalah mayoritas perempuan berada, berjuang keras agar dapat hidup dan bahagia, bahkan tak sedikit yang sekedar bertahan hidup saja.
Serangan terhadap perempuan pun semakin nyata dengan adanya perundangan yang tidak melindungi perempuan. Buruh perempuan, selain menjadi korban penindasan pemilik modal (kapitalis), juga menjadi korban budaya patriarki. Penindasan kapitalis dan budaya patriarki ini menyebabkan berbagai macam bentuk kekerasan, diantaranya : ekonomi, fisik, psikologis hingga kekerasan dan pelecehan seksual. Semua ini menjadi ancaman dalam kehidupan sehari- hari buruh perempuan.
Perempuan yang bekerja tersebut belum semua mengerti hak- haknya sebagai pekerja, apalagi hak- haknya sebagai perempuan. Mayoritas buruh perempuan belum berserikat dan hampir semua serikat pekerja di Indonesia tidak memiliki pimpinan- pimpinan perempuan, atau bahkan tidak memberikan kesempatan pada anggota- anggota perempuannya untuk maju. Kepemimpinan serikat pekerja masih didominasi oleh buruh laki- laki, bukan karena buruh perempuan tidak mampu, namun karena kesempatan yang terbatas.
Berangkat dari persoalan sehari- hari buruh perempuan inilah kita mesti menjawab, sekaligus mendobrak situasi yang semakin kritis itu.
Sangat menarik mengetahui masalah- masalah buruh perempuan dan ibu pekerja sebagai wujud persoalan buruh perempuan sehari – hari di tempat kerja, rumah dan lingkungan sekitar. Dibutuhkan diskusi dan duduk bersama untuk membahas bagaimana sistem kapitalisme menindas buruh perempuan dan kaitannya dengan budaya patriarki sekaligus untuk memahami arti kesetaraan dan perjuangan hak- hak perempuan dalam pergerakan buruh. Salah satu yang hendak ditekankan dalam tulisan ini adalah pentingnya buruh perempuan, baik lajang atau ibu pekerja mendapatkan hak atas kerja dengan upah yang layak, sistem kerja yang adil dan perlindungan hukum yang melindungi perempuan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi buruh perempuan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai salah satu cara memberi penyadaran dan pemahaman. Sekaligus merupakan tempat dimana kepercayaan diri dan keberanian diasah untuk menentang budaya maupun kebijakan politik yang tidak menguntungkan kaum perempuan. Selain itu, juga agar buruh perempuan mengetahui hak- haknya. Diam membuat kita mati, sedangkan bergerak membuat kita hidup dan apa yang membuat kita bergerak ? masalah, ya sekali lagi masalah tekanan hidup tekanan kerja lah yang membuat kita bergerak. Saat masalah tiba, secara otomatis naluri kita mendorong kita bergerak aktif dan berusaha mengatasi semua persoalan hidup.
Akhir kata, ayo berserikat dan mari bergerak bersama agar terbebas dari belenggu penindasan.