Jarum jam sudah menunjuk pukul 19.00 WIB (7 malam), hari Jumat, 3 Mei 2014, kala rombongan Obor Marsinah memasuki Omah Tani, Batang, bersama rombongan konvoi SPN Pekalongan, Jawa Tengah yang mengiringi dari kota Batik, Pekalongan. Hawa dingin menyambut kehadiran rombongan Obor Marsinah di desa tempat Omah Tani berdiri. Omah Tani dikenal sebagai tempat konsolidasi gerakan rakyat, bukan hanya tani, termasuk kelompok transeksual/transgender. Berbagai elemen rakyat pernah singgah di Omah Tani dan belajar darinya, terutama soal Go Politik. Menurut Handoko, salah satu pendiri Omah Tani, dalam sesi sharing malam itu, yang terpenting dari metode politik rakyat adalah meyakini kekuatan rakyat itu sendiri sehingga mestinya tak perlu lagi mencantol pada elit manapun.
Sharing atau saling berbagi yang dihadiri oleh Obor Marsinah Jakarta, SPN dan Omah Tani merupakan sesi dimana satu sama lain saling berbagi tentang pengalamannya masing-masing. Dari soal penanganan kasus buruh dan tani hingga bagaimana melibatkan perempuan dalam organisasi.
Membatik Marsinah
Kegiatan menarik lainnya menanti di esok hari, yakni Membatik Marsinah, dimana tiap orang bisa belajar membatik. Sebelum belajar Membatik, mbah Markijan, salah seorang warga, korban 1965 menyampaikan pesan yang membekas dan berharga; “Hidup itu tidak ada yang gratisan, hidup itu harus berjuang, dan berjuang artinya berkorban. Kita harus berjuang selama masih bernafas”.
Beberapa teman tak ketinggalan ikut berkarya dengan membatiknya sendiri. Proses membatik cukup lama, dari membuat gambar dasar, melukisnya dengan canting hingga mencelupkan di pewarna, menjemur, merebus dan menjemurnya lagi. Tapi kalau sudah melihat hasilnya, proses yang lumayan panjang itu tidak akan membuat kita merasa rugi. Ditambah, hati menjadi tenang dengan terapi membatik.
Arakan Ratusan Obor Marsinah
Saat-saat yang ditunggu pun hadir, ”Membatik Marsinah”. Guru membatiknya sangat sabar dalam mengajari peserta, namanya Tama, dari sebuah organisasi Teater, bernama Teater Kita. Wajah Marsinah dilukis di sebuah kain putih disertai dengan lukisan batik yang menakjubkan. Bagi saya, sudah pasti menakjubkan karena saya sama sekali tidak bisa membatik. Pun, mungkin bagi teman-teman Obor Marsinah yang lain. Batik Marsinah, diwarnai dengan warna biru dan ketika mengering di bawah terik matari, baru kelihatan warna birunya. Menurut Tama, membatik itu seperti terapi, mengajarkan pada kita untuk sabar karena prosesnya yang detil dan lama.
Ratusan nyala api Obor Marsinah memperindah Batang, mengiringi tumpeng setinggi 3 meter yang digotong oleh kaum perempuan tani dan buruh. Dengan menyanyikan lagu shalawat, warga Tani Batang beserta rombongan Obor Marsinah berarak beramai-ramai dengan membawa Obor Marsinah sepanjang lebih dari 2 KM ke arah Omah Tani sebagai tujuan akhir. Sesekali yel yel “Obor Marsinah, Nyalakan; Suara Rakyat, Nyaringkan” membahana di sepanjang desa menuju Omah Tani.
Sesampai di Omah Tani, doa bersama untuk Marsinah pun berlangsung dilanjutkan dengan tari Sufi, teater Tipar berjudul “Uri Uri”, pembacaan puisi dan musik. Di akhir acara, Bapak Handoko menyerahkan “Batik Marsinah” sebagai simbol pelepasan rombongan Obor Marsinah yang akan melanjutkan perjalanan esok pagi. Pak Handoko berpesan agar Obor Marsinah terus melanjutkan perjuangan untuk keadilan bagi Marsinah.
Obor Marsinah, Nyalakan!
Suara Rakyat, Nyaringkan!