Sri Jumiati, mengenakan Jilbab merah. Ke tiga dari kiri
Assallamuallaikum wr wb.
Bismilahir rohmanir rohim
Kala itu, di awal bulan September tahun 2005, saya mencoba melangkahkan kaki menuju KBN Cakung, dengan tujuan mencari kerja untuk menyambung ekonomi keluarga yang sudah tidak bisa diandalkan lagi. Tepat pada tanggal 12 september 2005, saya masuk kerja di PT Makalot Industrial Indonesia. Saya ditempatkan di bagian sewing (jahit) Line 4 dengan pengawas (supervisor), Edita.
Awalnya saya merasa nyaman bekerja di line 4, tapi lama-kelamaan sang supervisor menampakkan watak aslinya yang suka mengintimidasi karyawan serta sering marah- marah kepada bawahannya.
Banyak pelanggaran yang saya dapati selama kerja di PT Makalot. Contohnya , tidak ada makan, tidak ada cuti haid, skor/ lembur tidak di bayar.
Pelanggaran itu dialami oleh karyawan PT Makalot selama dua tahun lebih. Waktu itu, kami masih takut untuk melawan.
Awal Mula Mengenal Serikat
Setelah 5 tahun saya bekerja di PT Makalot, tepatnya pada tahun 2010, terjadi demonstrasi besar-besaran di KBN Cakung. Di demonstrasi itulah saya melihat perempuan berperawakan kecil dengan jilbab memimpin pemogokan dengan berani dari jam 6 pagi sampai jam 6 malam. Sesudahnya, baru saya mengetahui bahwa perempuan itu adalah Ketua Umum FBLP (saat itu singkatannya masih Forum Buruh Lintas Pabrik). Rombongan aksi yang memimpin pemogokan kemudian berhasil mengeluarkan semua karyawan karyawati yang ada di Kawasan Berikat Nusantara Cakung.(KBN Cakung), Jakarta Utara untuk mogok menuntut upah layak.
Pemogokan pertama kali di KBN Cakung itu menjadi awal perkenalan saya dengan FBLP. Pada awal tahun 2011, FBLP berdiri di PT. Makalot karena ada beberapa karyawan yang berani mengadukan pelanggaran manajemen PT Makalot ke FBLP. Dengan susah payah kami membangun serikat dan akhirnya bisa juga diterima oleh manajemen PT. Makalot. Saat itu, banyak karyawan yang ingin menjdi anggota. Tercatat, terdapat 750 karyawan mendaftar menjadi anggota FBLP. Untuk menjadi anggota, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Anggota diwajibkan mengisi formulir dan juga membayar iuran bulanan yang telah ditetapkan federasi. Tentang ini, saya punya kejadian lucu. Kala itu, saya merasa aneh dengan sikap teman-teman kerja saya. Keanehan itu tampak dari sikap mereka yang suka kasak kusuk, ngobrol degan berbisik-bisik begitu serunya. Namun bila saya dekati, semua diam lalu bubar. Itu terjadi berhari-hari. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika suatu hari, salah satu teman saya menghampiri dan menawarkan saya untuk berserkat. Ooooh, ternyata teman-teman sedang membangun serikat. Aneh ya, kenapa harus dengan berbisik-bisik seolah takut ketahuan orang, bahkan teman sendiri. Ada-ada saja.
Setelah kami sudah memenuhi syarat sebagai anggota FBLP, kami berani mengadakan aksi menuntut pelanggaran yang ada di PT Makalot. Kami aksi tidak sendiri karena memperoleh solidaritas dari buruh di serikat lain atau perusahaan lain. Saya masih ingat jelas ketika seluruh karyawan yang berjumlah kurang lebih 1500 melakukan aksi sepulang kerja. Sebelumnya pun di jam istirahat kami berkumpul dan mendukung teman-teman kami berunding melawan “skorsing” atau lembur tanpa bayar. Tak langsung membuahkan hasil, namun berbagai aksi unjuk rasa di depan pabrik, di Disnaker, Alhamdulillah, membuahkan hasil. Kami, yang tadinya mengalami skorsing hingga 2 jam kini bisa pulang tepat waktu. Kami tak lagi mengalami “skorsing”, termasuk teman-teman kami yang tak ikut berjuang. Meski tuntutan agar lembur kami selama bertahun – tahun dibayar oleh pihak perusahaan tidak terpenuhi. Bagaimana tidak, kami menuntut ganti sekitar beberapa milyar untuk seluruh karyawan yang lemburnya tidak dibayar. Tapi perusahaan melalui Disnaker Jakarta Utara justru menawarkan uang ganti lembur tak dibayar selama belasan tahun hanya Rp 500.000 per orang. Itupun sebelumnya perusahaan menawarkan Rp 300.000,00. Aneh sekali ketika Disnaker justru lebih banyak menyuarakan apa mau perusahaan.
Kami Didiskriminasi oleh Perusahaan
Berjuang bukan tanpa resiko. Saya sadari itu dengan baik. Pun dalam berjuang kami mesti bersiap diri menghadapi resiko. Benar, kami melakukan aksi di jam kerja artinya kami membolos. Bila membolos maka ada resiko terPHK atau upah di hari itu tidak dibayar. Waktu itu jumlah kami yang aksi ada 80 orang, termasuk saya. Setelah aksi tersebut, kami, anggota FBLP yang berjumlah 80 orang, dipisahkan dari teman-teman lain. Kami dikumpulkan menjadi 2 line dan diperlakukan berbeda. Kami didiskriminasi. Hanya kami, anggota FBLP di dua line yang tidak diberi lembur. Pihak perusahaan mau menunjukkan pada mayoritas karyawannya, bahwa yang tergabung di FBLP tidak akan mendapatkan lembur. Ternyata itu membuat teman-teman ciut. Dengan alasan ekonomi, teman-teman kemudian satu demi satu mengundurkan diri dari FBLP, agar masih diberi lembur oleh perusahaan. Apalagi pihak manajemen mendatangi satu demi satu karyawan dan menyuruh mereka tanda tangan pengunduran diri dari FBLP di atas materai.
Apakah saya sakit hati? Ya, saya sakit hati. Tapi di hati kecil saya, saya yakin teman-teman sebenarnya mau tetap berserikat di FBLP. Hanya saja, apa daya, bengisnya atasan jauh lebih menakutkan dibanding kepentingan memperbaiki hidup dan mempertahankan serikat sebagai alat perjuangan membela hak sebagai karyawan atau pekerja.
Ada hikmah di balik pemisahan kami dari teman-teman lain. Walaupun dipisah kami makin mudah untuk bersolidaritas dengan kawan buruh lain di luar PT Makalot. Sebagai contoh, kami jadi lebih mudah mengajukan dispensasi untuk bersolidaritas di PT KH & KANG, PT Hansol , PT BTS, dan masih banyak lagi. Mungkin pihak manajemen enggan melihat kami di dalam perusahaan.
Dan karena dianggap meresahkan, mengganggu karyawan lainnya maka dari itu pihak manajemen sengaja mau menyingkirkan kami, anggota FBLP. Berbagai cara dia tempuh akan tetapi kami tidak gentar sedikitpun. Bahkan kami semakin berani untuk melawannya.
Hingga suatu hari, kami yang sudah terkumpul menjadi dua line, akhirnya dipisahkan menjadi satu line. Manajemen melakukan hal itu agar kami tidak betah bekerja di perusahaan, lalu mengundurkan diri. Tak hanya itu, ada saja yang dilakukan manajemen, dari omelan, intimidasi sampai kami disuruh mengerjakan permakan jahitan dari line lain. Di sini, kami merasa sangat diperlakukan tidak adil. Tapi kami tetap solid bahkan terus melakukan protes dan perlawanan. Tak jarang, kami sebanyak 30an orang maju langsung ke kantor manajemen memprotes tindakannya itu. Wajah personalia kala itu sedemikian merahnya menghadapi kami. Mungkin, harga dirinya jatuh, dilawan oleh kami yang adalah bawahannya, perempuan pula. Biar, kami mau tunjukkan kalau semua manusia itu setara.
Tapi, manajemen tak kalah militan dengan kami. Ia terus bertingkah. Sesekali, kami dibuat tidak nyaman lagi untuk bekerja. Segala intimidasi terus ditimpakan kepada kami. Ada saja protes terhadap hasil pekerjaan kami, terutama soal jahitan kami yang banyak permakan. Padahal dari line lainnya juga banyak kesalahan.
Karena sudah kehabisan akal, akhirnya kamipun dipecah belah, ada yang dibagi ke line lain dan ada juga yang dimutasi ke bagian lain, contohnya packing, finising, cutting maupun bagian press. Manajemen sengaja membuat kami tidak nyaman bekerja.
Menolak Tanda Tangan, Hingga Mengejar Hak di Semarang
Hingga pada akhirnya, manajemen menawarkan pemutihan (PHK) dengan pesangon 0,75% dari 1 ketentuan kepada seluruh karyawan tetap. Artinya kami akan menerima pesangon kurang dari 1 ketentuan. Dikiranya kami tak tahu Undang-Undang. Mana ada pekerja diPHK dengan pesangon di bawah satu ketentuan. Semua mestinya sesuai dengan masa kerjanya. Dan kami bekerja lebih dari belasan tahun bahkan ada yang 20 tahun. Lalu Cuma diberi 0,75% dari 1 ketentuan. Sungguh keterlaluan. Sakit hati ini bukan kepalang. Manajemen berdalih bila karyawa tidak tanda tangan PHK dengan pesangon 0,75% dari 1 ketentuan maka penawaran dianggap hangus.
Karena karyawan banyak yang tidak punya keberanian seperti kami, akhirnya mereka menanda tangani walau sudah diberi tahu, jika sudah menandatangani, maka status kerjanya jadi karyawan kontrak. Alhasil hanya kami, 1 line, yang adalah anggota FBLP, tidak tanda tangan pemutihan atau PHK dengan ketentuan 0,75% dari 1 ketentuan. Kami tetap menolaknya karena kami tahu hak kami dan perusahaan melanggar UU Ketenagakerjaan. Akhirnya ketua kami menanyakan apa alasannya mengadakan penawaran namun pihak manejemen tidak mau menjawabnya.
Kamipun mengancam mau menghadap Mr Song, pemilik Perusahaan yang tinggal Semarang. Mr Song selama ini memang mengelola perusahaan cabang PT. Makalot di Semarang. Manajemen atau personalia pun bilang “SILAHKAN SAJA KALAU KALIAN BERANI KE SEMARANG”. Akhirnya, kamipun mulai diskusi dengan kawan- kawan. Karena merasa ditantang, maka kami buat keputusan bahwa kami harus berangkat ke Semarang. Awalnya kami putuskan 12 orang dulu yang berangkat. Akhirnya kamipun berangkat ke Semarang. Sesampainya di sana, kami disambut oleh FSPMI Semarang. Bahkan kami tinggal di sekretariat mereka.
Kami diberi tempat tinggal sementara kami berada di Semarang untuk menuntut hak normatif kami, yang telah dilecehkan oleh manajemen. Kami datang ke Semarang dengan tujuan untuk bertemu dengan Mr. Song di PT Glori (adalah perusahaan cabang PT.Makalot di Semarang). Awalnya kami tidak bisa menemui tapi kami sudah bertekad tidak akan menyerah. Sambil ngobrol dengan karyawan Glori kami menunggu di depan PT. Glori. Hingga akhirnya, Mr Song datang dan mau menemui perwakilan kami. Kami akhirnya bisa menemui Mr Song dan menceritakan apa yang kami alami di PT Makalot, tapi tidak ada respon dari Mr. Song. Karena kesal, kamipun menggertaknya, bahwa kami akan mendatangkan kawan- kawan lain yang masih ada di jakarta.
Satu minggu berikutnya datanglah kawan-kawan kami dari Jakarta untuk membantu perjuangan kami. Kami mulai mengadakan aksi di depan PT. Glori. Karena melihat keberanian kami, maka Mr. Song takut karyawan PT.Glori bakal mencontoh aksi kami.
Akhirnya Mr Song bersedia memanggil perwakilan kami untuk berdiskusi. Namun, karena kami menunggu terlalu lama, akhirnya kami pulang untuk menunggu keputusan dari Mr. Song. Untuk mendukung perjuangan tim perunding, kami mengadakan sholat magrib berjamaah.
Sholat dan doa bersama kami mengiringi kepulangan perwakilan kami yang baru saja datang dari perundingan. Dalam keadaan basah kuyup karena hujan, perwakilan kami sampai di sekretariat FSPMI. Kami yakin bahwa perjuangan tidak mengenal panas maupun hujan. Setelah ketua kami istirahat sejenak, kamipun mulai mendengarkan ketua kami mengumumkan keputusan yang telah diberikan oleh Mr song. Walaupun sebenarnya pahit adanya, ketua mulai mengumumkan hasil keputusan Mr Song yang terakhir. Mr Song hanya mau memberikan PHK kepada kami sebesar 1.3 ketentuan dengan catatan 0,75% dibayarkan di PT. Makalot lalu sisanya dibayarkan satu bulan berikutnya. itupun dengan syarat dalam satu bulan kami tidak boleh buka mulut kepada siapapun masalah pemberian pesangon yang lebih kepada karyawan PT. Makalot lainnya yang ada di Jakarta.
Dengan berat hati, karena kami sudah merasa terlalu lama meninggalkan keluarga kami di Jakarta (10 hari), kami memutuskan menerima tawaran dari Mr. Song. Akhirnya, keesokan harinya kami mulai berkemas – kemas untuk kembali lagi ke Jakarta.
Esok hari, ketika sore sudah tiba, kira – kira jam 15.00 WIB, kami meninggalkan kota Semarang menuju kota Jakarta. Sekitar jam 02.00 dini hari, kami tiba di Jakarta. Kamipun merasa lega walaupun keputusan kurang memuaskan. Namun kami puas karena perjuangan kami tidak sia- sia. Saya pribadi salut dengan kekompakan kawan- kawan yang mana mau berjuang dengan sungguh-sungguh walaupun keluarga yang menjadi taruhannya. Kami bisa tunjukan kepada siapapun
Barang Siapa Mau Berjuang, Maka Cepat atau Lembat Pasti Akan Mendapatkan Hasil dan Percaya Bahwa Allah Selalu Bersama Kita. Amin.
Kasus Selesai, Tapi Perjuangan Belum Selesai
Setelah pesangon sebesar 1,3 ketentuan kami terima, maka kami memutuskan untuk terus berjuang. Kami memang akhirnya disingkirkan dari perusahaan dan serikat yang kami bangun diberangus. Tapi kami bangga karena kami melawan sampai akhir. Para bos itu tidak pernah mudah mengalahkan kami. Kami tidak menyerah dan kami tidak kehilangan harga diri. Kami tidak sedikitpun menandatangani pengunduran diri dan kami sadar bila mana tidak tanda tangan pada akhirnya pun kami diPHK. Bahkan setelah kami berjuang habis-habisan, hingga habis uang di tangan, pesangon kami masih belum sesuai Undang-Undang. Kadang saya merasa heran, kenapa hukum sedemikian tak adil. Apa pantas di negeri ini, untuk hak normatif saja harus berjuang sedemikian hebat.
Perjuangan belum selesai. Setelah proses pemberian pesangon selesai. Kami masih harus berjuang untuk mengambil Jamsostek. Saya pribadi misalnya, tidak bisa memberikan persyaratan KK (Kartu Keluarga) asli karena KK tersebut ada di rumah mantan suami yang telah menyiksa saya selama 22 tahun. Mantan suami saya ini amat kejam, sedikitpun saya tidak boleh mengambil maupun meminjam KK tersebut. Akhirnya saya datangi RT setempat untuk memberikan legalisir KK saya. Setelah semuanya terpenuhi, KK tersebut saya serahkan kepada pengurus serikat yang kemudian menyerahkan KK kami (anggota FBLP PT. Makalot) ke pihak Jamsostek. Kami tidak bisa langsung mencairkan uangnya karena sesuai prosedur, kami harus menunggu kurang lebih 15 hari untuk bisa mencairkan uangnya.
Berkat kesabaran kami semua, akhirnya kasus kami selesai.
ALHAMDULILLAH HIROBIL ALAMIN
Begitulah lika- liku perjalanan kehidupan pribadi saya selama bekerja dan berorganisasi di PT Makalot. Kini, meski kami sudah tidak bekerja di PT. Makalot, kami masih meneruskan perjuangan dengan membangun Koperasi FBLP. Koperasi itu kami namakan Koperasi Sejahtera. Bukan sembarang koperasi, tapi koperasi yang memberdayakan karyawan agar karyawan mandiri, merdeka, tak lagi tergantung pada rentenir dan tetap mau aktif membangun serikat.
Semoga tulisan saya bisa memberikan pembelajaran buat kawan – kawan seperjuangan dan karyawan pada umumnya.
“Janganlah merasa lelah untuk berjuang karena kita yakin perjuangan itu tanpa batas dan tidak mengenal lelah. Namun pasti ada hasilnya, walaupun dengan waktu yang tidak dapat kita tentukan kapan keberhasilan akan kita peroleh. Yang penting kita tidak takabur dan harus percaya bahwa Allah tetap bersama kita. Amin”
Jakarta ,25 Januari 2015
Sri Jumiati