LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) dan Konde.co melalui wadah A Consortium for Plural and Inclusive Indonesian Feminisms telah sukses menyelenggarakan 2nd Annual Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF2024). Dilaksanakan secara virtual melalui Zoom, pada 24–30 Juni 2024, konferensi ini mempertemukan aktivis, akademisi, peneliti, jurnalis, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk mendiskusikan dan memperkuat sinergi antara kajian feminisme, aktivisme dan agenda advokasi keadilan di Indonesia di tengah berbagai tantangan, dari politik oligarki, fundamentalisme agama, krisis iklim, hingga fasisme global.
Dengan tema besar “Menguatkan Sinergi Kajian dan Aktivisme Feminisme Indonesia di Tengah Politik Oligarki Nasional dan Fasisme Global,” KCIF2024 menampilkan 45 topik diskusi panel dengan total peserta, panelis, dan narasumber kurang lebih 1500 orang. Para peserta tidak hanya dari berbagai daerah di Indoensia, juga dari beberapa negara lain, seperti Australia, Malaysia, Singapura, Bahrain, Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan lainnya.
Pada konteks tantangan politik oligarki nasional dan fasisme global, salah satu sorotan utama dalam konferensi adalah pada pidato utama (keynote speech) yang disampaikan oleh Prof. Rosalia Sciortino dari Mahidol University & Chulalongkorn University, Thailand, yang juga pernah menjadi Program Officer Gender dan Kesehatan Ford Foundation Indonesia, terkait hubungan erat antara feminisme dan gerakan politik. Rosalia menegaskan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan perempuan tidak bisa dipisahkan dari konteks politik, karena patriarki bukan hanya sekadar struktur kekuasaan, tetapi juga sistem yang mengatur relasi kekuasaan dalam masyarakat.
“Gerakan feminis sangat jelas; hal-hal yang berhubungan dengan perempuan adalah politik. Mereka tidak dapat diselesaikan tanpa menanganinya dalam konteks politik. Ini adalah perjuangan politik, yang fokusnya pada patriarki. Patriarki adalah sistem kekuasaan,” tegas Rosalia.
Rosalia juga menggarisbawahi pentingnya mengakui berbagai bentuk penindasan dan struktur kekuasaan yang saling terkait, termasuk kelas, etnisitas, dan ras. Menurutnya, gerakan feminis perlu mempertanyakan dan melawan semua bentuk ketidakadilan ini secara bersama-sama.
“Dalam gelombang ketiga feminisme, dinyatakan dengan jelas bahwa yang harus kita perhatikan adalah interaksi antara struktur gender, kekuasaan gender dengan struktur kekuasaan yang digambarkan oleh kelas, etnisitas, ras, dan struktur sosial lainnya. Jadi, ini harus dilihat bersama-sama dan dilawan,” ujarnya.
Kritik juga dilontarkan pada pendekatan yang sering kali mengabaikan masalah kekuasaan dalam diskusi mengenai identitas gender. Rosalia menyoroti bahwa perlindungan terhadap perempuan tidak bisa berhasil jika tidak diikuti dengan pertanyaan kritis terhadap sistem yang melemahkan mereka. Berangkat dari permasalahan tersebut, partisipasi aktif perempuan dan kelompok non-biner menjadi genting dalam memperkuat gerakan sosial untuk mencapai keadilan, membangun sistem ekonomi yang adil, dan mendukung demokrasi yang inklusif.
“Penindasan terhadap perempuan dan penyebaran otoritarianisme adalah mutually reinforcing ills. Partisipasi perempuan dan kelompok non-biner akan memperkuat gerakan sosial untuk keadilan, membangun sistem ekonomi yang adil, dan menyelamatkan demokrasi,” terang Rosalia.
Berkenaan dengan politik oligarki nasional, Rosalia menegaskan berkembangnya oligarki adalah hasil dari demokrasi yang tidak berfungsi. Rusaknya prinsip-prinsip demokrasi sejati menurut Rosalia dapat dilihat dari keadilan dan keputusan hukum yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan hukum dan keadilan semata, kalah oleh kepentingan pribadi atau nepotisme.
Dengan sistem hukum yang tidak berfungsi secara independen, hal ini tidak hanya mengancam kredibilitas institusi hukum, tetapi juga melemahkan fondasi dari sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, kritiknya menyoroti perlunya reformasi untuk mengembalikan integritas dan otonomi lembaga-lembaga hukum sebagai penjaga keadilan dan pemenuhan hak-hak warga negara secara adil dan merata.
“Dengan sistem hukum yang beroperasi secara demokratis, tidak seperti sekarang ini. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, mereka semua dipilih dan menjadi favorit anak-anak presiden. Nah, kita tahu ini bukan demokrasi yang sebenarnya. Ini adalah demokrasi yang gagal karena sistem hukum, yang seharusnya mengontrol secara independen elemen-elemen negara lainnya, jelas tidak berfungsi saat ini,” tegasnya.
Salah satu isu besar dan penting dalam konteks fasisme global adalah kolonialisasi yang masih terjadi di tanah Palestina. KCIF2024 mencoba untuk membawa isu tersebut dari kacamata feminisme yang membaurkan kritik dan refleksi dari sudut pandang interseksional. Farid Muttaqin, Conference Chair KCIF2024 menyatakan, pengambilan tema KCIF2024 ini karena saat ini tengah berlangsung situasi sosial-politik, di level lokal, nasional, hingga global yang tidak selalu sejalan dan mendukung, bahkan bertentangan dengan, agenda-agenda feminisme.
“Krisis kemanusiaan di banyak belahan dunia, seperti Palestina, Ukraina, Rohingya, Uighur, Afghanistan, dengan korban terbanyak kelompok yang direntankan, seperti perempuan, anak, people with disability atau warga disabilitas, minoritas gender dan seksual (non-normatif gender dan seksual), dan kelas sosial-ekonomi bawah, menegaskan agenda feminisme untuk keadilan dan HAM merupakan agenda tak pernah usai, sering kali menghadapi kemunduran, bahkan di titik paling awal.”
Pada panel spesial berjudul “The Occupied Palestine and Feminist Movements,” KCIF2024 menghadirkan empat panelis yakni, Loren Lybarger, Ph.D. (Ohio University), Dina M. Siddiqi, Ph.D. (New York University), Nada Tayem (Indiana University of Pennsylvania), dan Intan Paramaditha (Pengelola Sekolah Pemikiran Perempuan dan Pengajar di Macquarie University).
Loren Lybarger, Ph.D. berbagi kisah menyentuh tentang Leila, seorang perempuan muda Kristen yang masuk Islam selama Intifada kedua dan mengagumi dedikasi atas perlawanan Palestina kepada Zionis.
“Leila merasa sangat terasing dari komunitas Kristennya dan menemukan ketenangan dalam Islam, mengagumi dedikasi umat Muslim terhadap perlawanan Palestina,” kata Lybarger.
Merenung tentang perjalanannya, Lybarger menceritakan bagaimana Leila menawarkan kritik yang mendalam terhadap nasionalisme dan kekerasan. Leila menjadi bukti bahwa mendukung kemerdekaan Palestina tidak berarti antisemitis. Leila, dari cerita Lybarger, membuktikan diri dengan bersahabat dengan aktivis Yahudi yang anti-Zionis.
“Saya membuka hati saya, bisa melihat sosok manusia di depan saya, bukan label atau bendera. Bagian dari jiwaku sudah begitu lelah dengan semua nasionalisme dan pertumpahan darah ini,” ujar Leila.
Nada Tayem, seorang aktivis dan akademisi Palestina, menyoroti kesulitan berat yang dihadapi oleh perempuan di Gaza. Tayem menyoroti tantangan yang dihadapi oleh perempuan di Gaza sebagai akibat dari hampir sembilan bulan perang yang melanda daerah tersebut. Dalam presentasinya, Tayem mencatat lebih dari 10.000 perempuan telah tewas selama konflik tersebut, termasuk 6.000 ibu, meninggalkan lebih dari 19.000 anak yatim piatu, sebuah fakta yang dikutipnya dari data terbaru UN Women.
Tayem dengan tegas menyuarakan kebutuhan mendesak akan solidaritas global dalam mendukung hak-hak dasar perempuan Palestina. Dia menegaskan bahwa untuk menjadi feminis yang konsisten, kita harus berdiri bersama perempuan Palestina dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan dan keamanan yang layak.
“Bagaimana kita bisa benar-benar menjadi feminis jika kita tidak berdiri dalam solidaritas dengan perempuan Palestina? Mereka pantas mendapatkan tempat yang aman untuk tinggal, sanitasi, dan kebebasan seperti perempuan lainnya,” tegas Tayem. Kata-katanya yang penuh kekuatan menyoroti kebutuhan mendesak akan dukungan global untuk hak-hak dasar perempuan Palestina.
Dina M. Siddiqi, Ph.D. dari NYU mengkritik keras narasi dan struktur kekuasaan yang mendukung penindasan terhadap Palestina. Dalam paparannya, Dina menyoroti penyangkalan yang luas terhadap genosida yang berlangsung di Palestina, yang aktif didukung oleh pemerintah Euro-Amerika, media arus utama, dan perusahaan-perusahaan besar, bahkan termasuk beberapa feminis liberal dari aliran utama.
“Kita telah menyaksikan penyangkalan total terhadap genosida, yang secara aktif didukung oleh pemerintah Euro-Amerika, pers arus utama, dan perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk beberapa feminis liberal arus utama,” kata Dina.
Dina menyoroti dengan tajam tantangan yang dihadapi oleh feminis di Global South, terutama dalam menghadapi narasi orientalis dan retorika peradaban yang ketinggalan zaman yang sering kali digunakan untuk membenarkan penindasan. Ia menanyakan bagaimana kita dapat bertindak ketika lembaga hukum internasional tidak hanya diabaikan tetapi juga didominasi oleh kepentingan politik dari sponsor Euro-Amerika yang tak tergoyahkan.
“Di tengah genosida yang disiarkan langsung selama berbulan-bulan, perasaan ketidakberdayaan merajalela. Bagaimana kita bisa bertindak ketika lembaga hukum internasional diabaikan, dengan dukungan yang tak tergoyahkan dari sponsor Euro-Amerika?” tanya Dina.
Pernyataan Dina menyoroti kebutuhan mendesak akan respons feminis yang kuat terhadap ketidakadilan global, serta perlunya gerakan solidaritas yang lebih luas untuk melawan struktur kekuasaan yang mendukung penindasan Palestina. Dalam konteks konferensi ini, Dina menekankan pentingnya bagi feminis untuk memperluas wawasan dan dukungan internasional dalam memperjuangkan keadilan dan martabat bagi rakyat Palestina yang terus berjuang dalam kondisi yang sulit.
Sebagai panelis terakhir, Intan Paramaditha memulai pemaparannya dengan wawasan dari perspektif Indonesia, mengkritik wacana dominan tentang Palestina di Indonesia yang sering kali terbatas pada narasi agama dan identitas, tanpa menyertakan analisis kritis terhadap kolonialisme pendudukan (settler colonialism).
Intan menegaskan pentingnya analisis struktural yang lebih dalam tentang kolonialisme, rasisme, imperialisme, dan kapitalisme untuk memahami secara menyeluruh berbagai bentuk penindasan. Dalam pandangannya, isu Palestina bukan hanya masalah politik atau agama, tetapi juga merupakan isu feminis yang memerlukan pendekatan nuansa dan komprehensif dalam membangun solidaritas global.
“Wacana tentang Palestina di Indonesia sering kali terkait erat dengan agama dan identitas. Yang sering hilang dari wacana dominan tentang Palestina di Indonesia adalah analisis tentang kolonialisme pendudukan (settler colonialism) untuk merebut tanah-tanah masyarakat indigenous, yang selalu terkait dengan ras, gender, dan kapitalisme,” ujarnya.
Contoh dari ketiadaan paradigma yang kritis tersebut dicontohkan pada kontradiksi dalam dukungan Indonesia terhadap Palestina, namun lemah dalam pengakuan terhadap isu-isu di Papua Barat sebagai bentuk settler colonialism dan penindasan militer. Intan mengkritik bahwa solidaritas sering kali terbatas oleh politik identitas atau humanisme universal yang menyederhanakan kompleksitas isu-isu tersebut.
“Kita membutuhkan analisis tentang kolonialisme pendatang, rasisme, imperialisme, dan kapitalisme, yang semuanya saling terkait. Analisis semacam ini adalah kerangka yang digunakan oleh feminisme Global South dan perempuan kulit berwarna untuk memahami penindasan,” tambahnya.
Kritik yang disampaikan Intan mengajak peserta untuk merenungkan kerangka solidaritas mereka sendiri dan untuk memahami hubungan yang kompleks antara berbagai bentuk penindasan global. Intan menegaskan perlunya pendekatan yang berkelanjutan dan terinformasi terhadap solidaritas feminis, yang mampu menyentuh isu-isu struktural yang mendasari ketidakadilan di berbagai belahan dunia.
Diskusi panel lainnya mencakup berbagai topik, mulai dari interseksi gender dan keadilan lingkungan, disabilitas, keragaman gender dan seksual, pendidikan anak usia dini, reformasi hukum, kesehatan mental, hingga aktivisme digital dalam menguatkan agenda feminis. KCIF2024 tidak hanya memperkuat sinergi antara penelitian feminis dan aktivisme, tetapi juga menawarkan sudut pandang alternatif yang kritis tentang berbagai isu global, demi menguatkan keterlibatan dan sumbangan feminisme Indonesia dalam krisis kemanusiaan global.
Terkait pentingnya konferensi ini, Diah Irawaty, Pendiri dan Koordinator LETSS Talk dan Koordinator Program KCIF2024 menyatakan, konferensi yang dilakukan selama sepekan ini menjadi media refleksi terkait situasi dan posisi feminisme di Indonesia.
“Dari berbagai persentasi yang didasarkan pada hasil kajian, pengalaman advokasi, dan refleksi personal feminisme dari banyak presenter/panelist dan narasumber, kita belajar melihat dan memahami peta persoalan yang menghambat agenda-agenda feminisme mewujudkan keadilan dan inklusivisme, terutama di Indonesia.”
Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti, yang menjadi Koordinator Media KCIF2024, melihat pentingnya menyebarluaskan pengetahuan feminsime melalui konferensi ini sebagai data untuk mengubah kebijakan yang tidak mendukung agenda keadilan dan inklusivisme.
“Pemerintah dan pengambil kebijakan harus mengambil isu-isu pengetahuan dan pengalaman perempuan untuk mengubah kebijakan perempuan.”