Yati sedang berdemonstrasi bersama buruh lain, diambil dari fb
Di tengah pandemi, ketika situasi belum aman bagi kesehatan, aku justru terkena sakit dan harus dibawa ke RS. Sakit perut yang sangat luar biasa aku rasakan hingga harus dilarikan ke RS. Sesampai di RS, aku langsung dibawa ke IGD.
Sebelum masuk, aku harus disemprot disinfektan, cek suhu badan dan cuci tangan.
Butuh waktu agak lama baru kemudian aku ditangani sambil menunggu suami mengurus BPJS kelas 2, sementara rasa sakit sudah tak tertahankan lagi. Namun, seorang perawat justru datang menghampiri dan berkata
“Ibu sebelum diperiksa atau dirawat, ibu dan bapak harus mengikuti rapid tes dengan membayar Rp 300.000,00 per orang”
Dalam hati saya berujar, siapa yang tak mau ikut rapid tes, saya sangat senang apa lagi dengan imun tubuhku yang lemah. Aku sangat bersemangat, tapi karena harus membayar Rp 600.000,00, aku dan suami menolak. Besaran uang sejumlah itu sangat berharga buat kami untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.
Hampir 20 menit kami berdebat dengan menahan rasa sakit di perut, akhirnya terpaksa aku menolak rapid tes dan meminta perutku segera diperiksa.
Akhirnya kami disuruh menandatangani surat yang isinya menolak rapid tes yang kemudian kami berdua tanda tangani. Setelah 5 menit, dokter jaga memeriksaku lalu memberiku obat dan infus. Dokter menyatakan aku harus dirawat inap. Suamiku pun bergegas ke ruang informasi untuk minta kamar, dan kemudian aku dipindahkan ke ruangan di lantai 2. Menuju lantai 2, seorang petugas RS mengantar aku yang menggunakan kursi roda. Saat itulah kulihat petugas RS tidak mengenakan sarung tangan meski ia mengenakan masker.
Aku pun memberanikan diri bertanya “Apakah kursi rodanya bersih dan sudah disemprot disinfektan?” jujur aku takut terkena virus karena tubuhku sangat lemah saat itu.
“Ini bersih kok bu, kemarin sudah disemprot”
Dengan rasa was – was, akhirnya aku naik kursi roda.
Ruangan kamar ku terdiri dari 3 orang dan tempat tidur kami berjarak 1 meter lebih yang disekat dengan korden dan tersedia satu fasilitas cuci tangan di depan toilet.
Esok pagi, aku menjalani USG dan rontgen, kepadaku ia menyampaikan rahimku infeksi dan terdapat kista di dalamnya. Supaya kista bisa dioperasi, infeksi rahimku harus dipulihkan terlebih dahulu. Setelah 3 hari dirawat inap, akhirnya aku diperbolehkan pulang ke rumah.
Selepas 3 minggu aku beraktivitas lagi bersama kawan – kawan di organisasi. Sebagai bagian dari Kepantiaan Tanggap Covid 19, aku membantu memproduksi masker dan mendistribusikan sembako pada buruh yang terdampak covid 19. Banyak teman – teman buruh diliburkan tetapi tidak dibayar, sehingga penyaluran sembako bisa meringankan beban mereka.
Tak disangka, baru beberapa hari beraktivitas aku jatuh sakit lagi, perutku kembali terasa ssakit. Menjelang Idul Fitri justru aku kembali terbaring di RS untuk ke dua kalinya. Rasa cemas, takut dengan adanya virus selalu menghatuiku. Setiap masuk kamar rawat inap, suamiku selalu memeriksa seprei atau selimut yang aku gunakan, apakah bersih atau tidak.
Aku tanya pada pasien di sebelahku “Mba berapa hari disini?”
“4 hari bu”
“Selama disini ruangannya pernah di semprot disinfektan nggak?”
“Nggak pernah”
Aku semakin cemas, inginku pulang, tapi sakit nggak tertahan harus disuntik dan infus. Akhirnya, setelah 2 hari, suamiku berbicara pada dokter untuk minta diijinkan pulang dan berobat jalan. Sayang, selepas 2 minggu rawat jalan, aku kembali jatuh sakit dan kali ini dilarikan ke RS yang berbeda. Waktu itu, tepatnya 2 hari sebelum hari raya lebaran.
Sesampainya di IGD aku cek suhu badan, disemprot disinfektan dan cuci tangan, setelah itu langsung ditangani oleh petugas untuk menjalani rontgen jantung, paru – paru dan USG. Seakan memahami kekuatiranku, perawat itu berkata
“Kursi rodanya sudah steril bu, tak perlu kuatir”
Semua tes itu aku jalani selama satu jam, semua dokter dan perawat mengenakan APD lengkap dan aku pun diantar ke ruang kamarku di lantai 5. Ini berbeda dengan RS sebelumnya, dimana perawat dan dokter tidak semuanya mengenakan APD lengkap, mungkin mereka kekurangan APD. Memasuki lift, aku lihat ada tanda untuk membatasi jarak antar orang di dalam lift dan di setiap pintu lift disediakan fasilitas cuci tangan.
Suatu hari, ketika seorang perawat memasuki kamarku untuk memeriksa keadaanku, aku memberanikan diri bertanya
“Suster kenapa saya tadi harus periksa jantung, paru – paru dan ambil darah sampai 3 kali? “
“Ibu kan dirawat, jadi ibu harus ikut rapit tes”
“Gratis suster?”
“Iya bu, gratis”
Aku merasa senang bercampur heran mengapa tiap RS berbeda. Namun, setidaknya kini aku bisa menjalani rapid tes untuk mengetahui keadaanku meski aku mencoba selalu disiplin mengenakan masker, cuci tangan dan menjaga kebersihan dimanapun aku berada.
Hasil rapid tes hari itu, aku dinyatakan negatif covid.
Namun, aku belum diijinkan pulang. Tak ayal, ketika takbir berkumandang, aku masih terbaring di ranjang RS. Rasa sedih menggelayut di hati karena harus merayakan Idul Fitri di RS, apalagi di tengah pandemi. Dengar – dengar di RS tempat aku dirawat kali ini, ada pasien positif covid dirawat di lantai 13. Selama 3 hari dirawat, kondisiku membaik dan 5 hari kemudian dokter menyarankan aku pulang dan berobat jalan.
Dalam perjalanan pulang, masih dalam suasana yang fitri, aku bersyukur masih bisa menghirup udara pagi. Dalam hati, berjanji untuk menjaga kesehatan agar bisa berkumpul bersama keluarga dan kawan – kawan seperjuangan. Semoga pandemi ini segera berlalu dan masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
Salam sehat,
Yati