Kemerdekaan dan Ruang Sipil Kita
Tujuh puluh sembilan tahun sudah bangsa ini berhasil memproklamasikan kemerdekaan, sehingga berwujud negara Indonesia dengan semangat Nusantara. Namun pertanyaan yang akan selalu muncul setiap bulan Agustus, benarkah sebagai bangsa kita sudah merdeka? Lantas mengapa ketidakadilan masih terus saja kita temui dan rasanya tidak kunjung tuntas?
Padahal, jika kita menilik ulang di dalam Pembukaan UUD 1945 jelas tertulis dan dengan lantang disebutkan “bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”. Namun tanpa habisnya kita masih bisa saksikan sendiri bagaimana pejabat meng-apropriasi budaya dari beragam daerah, sambil pura-pura lupa akan kondisi krisis dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Parahnya lagi, mereka mengenakan busana daerah dengan elok seolah berkata “dengan mengenakan baju adat ini kita sudah menandai kerukunan ragam bangsa di negeri kita”.
Representasi rasanya sudah terlalu menyeleweng untuk disematkan pada mereka, para pejabat yang memeragakan fashion show baju adat. Apa yang sudah mereka lakukan kepada masyarakat adat? Tak habis-habisnya kita menyaksikan secara langsung, bagaimana alam tempat masyarakat adat bernaung menjadi sasaran empuk ekstraksi dari rencana raksasa atas nama pembangunan. Sementara, manusia yang tinggal dan menjaga ruang hidup itu, kerap kali menjadi bulan-bulanan popor senjata dan ancaman akibat menolak patuh pada narasi perancangan besar negara.
Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.
Kekerasan simbolik merupakan istilah yang diperkenalkan Pierre Bourdieu, seorang filsuf Postmodern, merujuk pada kekerasan yang sifatnya laten, tidak disadari, juga tidak dirasakan, dari sudut pandang pelaku maupun korban. Kekerasan semacam ini tersebar di mana-mana, termasuk dalam keluarga dan beberapa institusi keagamaan yang selama ini kita kenal sebagai ranah privat, bahkan sampai ruang publik seperti di ruang-ruang sipil. Begitupun dengan krisis ruang hidup yang disebabkan oleh pelbagai proyek pembangunan. Masyarakat adat dibuat tidak berdaya, karena dijebak logika pembangunan yang penuh muslihat demi kemaslahatan peradaban ala negara. Parahnya lagi kejahatan ini dilegitimasi oleh hukum karena berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Harapan saya dari refleksi ini, kiranya meskipun bertubi-tubi informasi menerpa kita setiap harinya. Semoga masing-masing dari kita mempunyai waktu sejenak untuk menyadari apa itu kekerasan dan mengilhami untuk mengambil rehat dari berbagai kekerasan simbolik yang bisa jadi tidak pernah disadari sama sekali.