Search
Close this search box.

Parti: Saya Bangga Jadi Relawan Posko Pembelaan Buruh Perempuan

Namaku Parti, aku lahir di kota Pati, kota kecil di Jawa Tengah yang berada di 75 km di sebelah timur kota Semarang. Dari kecil hingga lulus SMP, aku lalui di kota ini.

Karena ketiadaan biaya, aku tidak melanjutkan ke SMA dan akhirnya aku ikut teman – temanku ke Jakarta untuk bekerja . Walaupun nol skill tapi aku bertekad melamar kerja .

Akhirnya aku diterima bekerja di sebuah perusahan. Setelah bekerja 1 tahun, aku di PHK karena pabrik tutup . Aku kemudian berpindah kerja ke PT. Kharisma Unggul Nusa Gemilang dan bertahan hanya selama 1 tahun dan memutuskan resign.

Setelah 2 tahun bekerja sebagai buruh pabrik. pada tahun 1999 aku menikah dengan seorang pemuda  yang adalah tetanggaku di kampung dan menetap di Jawa sampai anakku berusia 3 tahun.

Pada tahun 2003, aku kembali ke Jakarta untuk bekerja kembali  dan melamar kerja di PT Makalot Industrial Indonesia. Setelah bekerja hampir 10 tahun, aku dan kawan – kawan di PHK dengan alasan relokasi, namun sebenarnya merupakan union busting atau pemberangusan serikat. Kami berjuang hingga akhir. Kini PT. Makalot Industrial Indonesia sudah tutup dan berjaya di Jawa Tengah.

Supaya  komunikasi dan silaturahmi  tidak terputus, kami bersepakat membuat koperasi dan diberi nama Koperasi Sejahtera FBLP. Aku menjadi salah satu pengurus nya. Selain aktif sebagai pengurus koperasi aku juga menjadi relawan di Posko Pembelaan Buruh Perempuan. Jadwal piketku adalah di hari Senin. Kami jaga dari jam 16.00 WIB  sampai 18.00 WIB, bergantian dengan satpam KBN. Maklum, kami belum memiliki bangunan Posko permanen dan masih berbagi dengan Pos Satpam KBN Cakung yang berlokasi di pintu belakang KBN Cakung.

Tugas kami sebagai relawan adalah berbagi pengetahuan tentang apa itu pelecehan seksual dan bentuk – bentuknya. Apakah ada yang mengadu? Tentu saja, tapi tidak semua korban yang mengadu mau ditindaklanjuti. Secara pribadi aku memahami hal itu, karena tidak mudah memperjuangkan hak sebagai korban. Ketika menindaklanjuti kasus, selalu ada resiko bagi korban, dimana trauma yang dirasanya bisa berkepanjangan, dan tak jarang jadi korban berkali – kali, karena dipersalahkan dan dilabeli stigma negatif.

Keberadaan posko membuatku tertarik menadi relawan posko, karena aku juga perempuan, yang menyaksikan, merasai bagaimana direndahkan dan diremehkan hanya karena kita buruh dan perempuan. Dianggap lemah, sehingga rentan dilecehkan. Sedih, bila mengingatnya. Dengan menjadi relawan posko, aku berkesempatan melakukan pencegahan dengan aktif terlibat di ajang sosialisasi tentang kekerasan berbasis gender, seperti dalam agenda diskusi publik, diskusi hunian maupun diskusi di pabrik setiap jam istirahat.

 

Selain itu, banyak kuperoleh ilmu selama menjadi relawan posko. Ternyata,  dicolek, disiul diraba, itu termasuk pelecehan. Bagi teman – temanku, pelecehan adalah ketika sudah diperkosa. Sejak menjadi relawan posko, aku aktif memberikan informasi, bahwa bentuk – bentuk pelecehan yang kusebutkan tadi adalah pelecehan seksual dan bisa berkembang lebih parah bila dibiarkan.

Posko buruh perempuan, dengan aktivitas – aktivitasnya  banyak memberi manfaat bagi buruh perempuan. Diskusi publik misalnya, yang selama ini kami jalankan memberi informasi seputar kanker serviks, kesehatan ibu hamil, BPJS kesehatan untuk ibu hamil, dll, semuanya dihadiri oleh 100 buruh perempuan. Artinya, ada 100 buruh perempuan yang bertambah pengetahuannya tentang kesehatan dirinya, tentang tubuhnya sendiri. Harapannya dengan adanya Posko Pembelaan Buruh Perempuan, buruh perempuan di KBN Cakung bisa semakin sadar dan maju sebagai perempuan berdaya.

Di posko tentu ada koordinatornya, namanya bunda Sultinah. Orangnya asyik, suka berbagi pengetahuan .

Terakhir, harapan kami sebagai relawan, posko ini mempunyai tempat yang permanen tidak berbagi lagi dengan security, supaya teman – teman yang mengadu nyaman untuk bercerita.

Komitmen kami sebagai relawan posko, bersama mewujudkan tempat kerja tanpa pelecehan seksual.

Hidup posko buruh perempuan

Jakarta , 20 Juli 2018

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Laporan Femisida 2023: Kekerasan yang Terstruktur dan Berulang

Laporan ini menyoroti pola kekerasan yang tidak hanya berlangsung dalam ranah privat tetapi juga merambah ruang publik, di mana 51% kasus terjadi di luar rumah korban. Cara pembunuhan yang paling sering digunakan adalah dengan kekerasan fisik (36%) dan senjata tajam (32%). Selain itu, tercatat 69% jenazah korban ditinggalkan di lokasi kejadian, sementara beberapa kasus menunjukkan tindakan brutal seperti mutilasi, pemerkosaan, hingga pembakaran jenazah.