saksi ahli Sony Maulana Sikumbang, ketika memberi kesaksian/dok. marsinah fm
Siaran Pers Gerakan Buruh Indonesia dan Tim Advokasi untu Buruh dan Rakyat, Selasa 18 OKtober 2016
Kepolisian dinilai tidak memiliki dasar hukum untuk mempidanakan pelaku unjuk rasa di malam hari. Berdasarkan hal itu, pakar perundang-undangan Sony Maulana Sikumbang, M. menegaskan dakwaan pada 26 aktivis cacat hukum. “Pasal 216 aspek formalnya tidak terpenuhi sementara 218 aspek materiilnya,” kata saksi ahli dari Universitas Indonesia itu dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa 18 Oktober 2016
Kepolisian Polda Metro Jaya bersama Kejaksaan mempidanakan 23 buruh dari Gerakan Buruh Indonesia (GBI), 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 mahasiswa terkait unjuk rasa penolakan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan 78/2015. Jaksa mendakwa pelaku unjuk rasa di depan Istana presiden pada 30 Oktober 2015 itu dengan pasal karet 216 dan 218 KUHP.
Kepolisian beralasan, sekitar 20 ribu buruh pengunjukrasa menolak dibubarkan setelah aksi melewati jam 18.00. Ini karena Peraturan Kapolri 7/2012 membatasi unjuk rasa di tempat terbuka hanya boleh pukul 06.00-18.00.
Saksi ahli dari Universitas Indonesia Sony Maulana Sikumbang menjelaskan pasal 216 tidak bisa menjerat 26 aktivis karena cacat formil. Sony menyebutkan pasal 216 hanya dapat digunakan jika terdakwa melawan perintah berdasarkan undang-undang atau tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang. Sementara itu, kepolisian melakukan aksi pembubaran dengan kekerasan berdasarkan pada Peraturan Kapolri (Perkap).
Menurutnya, Perkap tidak setara dengan Undang-undang, namun sekedar aturan pelengkap di bawahnya. “Jadi, tindakan-tindakan yang didasarkan Perkap tersebut tidak bisa memakai pasal 216 terkait perlawanan yang dilakukan para terdakwa,” katanya.
Sony menambahkan pasal 218 juga cacat materiil untuk mendakwa 26 aktivis. Pasal 218 mempidanakan “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan se- ngaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang” dengan ancaman empat bulan.
Sony menegaskan para pengunjukrasa bukanlah kerumunan dan tidak dapat dikenakan pasal 218. “Kerumunan adalah perkumpulan yang tidak teratur, dalam bentuknya, jumlahnya, ketiadaaan hubungan orang yang saling mengenal,” ujarnya menjawab pertanyaan pengacara Tim Advokasi Buruh dan Rakyat (TABUR).
Ia lebih jauh memaparkan, para buruh penolak PP Pengupahan memenuhi kriteria sebagai peserta unjuk rasa yang sah sebagaimana diatur UU no 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Terlebih, aksi penolakan sebagian paket kebijakan ekonomi itu berlangsung damai sehingga tidak ada peserta yang bisa dipidana.
Sonya juga menyinggung Peraturan Kapolri 7/2012 telah melangkahi UU 9/1998. Sebab, peraturan turunan itu membatasi aksi unjuk rasa. “Artinya, undang-undang ini membolehkan unjuk rasa malam hari dan tidak ada pembatasan atau klarifikasi harus di ruang terbuka atau gedung yang tertutup,” sebutnya.
Pada 30 Oktober 2015, sebanyak lebih 20 ribu buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia melakukan aksi unjuk rasa penolakan PP Pengupahan 78/2015. Massa buruh berasal dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia pimpinan Andi Gani, Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia, dan Federasi Serikat Umum Indonesia. Organisasi-organisasi itu mencakup mayoritas serikat buruh di Indonesia. Buruh beralasan, PP Pengupahan memiskinkan buruh dan menghilangkan hak berunding dalam penentuan upah. Sebab, laju kenaikan upah hanya berdasarkan inflasi nasional sesuai data Badan Pusat Statistik dan pertumbuhan ekonomi.
Narahubung
Kahar S Cahyono, Juru Bicara KSPI +62 859-4573-1398
Dian Septi, Terdakwa dari KPBI +62 818-0409-5097
Arif Maulana Pengacara LBH Jakarta (TABUR) 0817256167