https://pin.it/4jSjvAA
Lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) setelah melalui lika-liku perjalanan yang cukup panjang, akhirnya disahkan pada tanggal 12 April 2022. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut menjadi pilar dalam menindak kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di segala lini kehidupan yang dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Namun peraturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual tersebut belum terbentuk hingga saat ini.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada tahun 2020, kasus kekerasan seksual mencapai angka 20.501 yang didominasi oleh perempuan dengan 17.575 kasus dan laki-laki dengan 4.397 kasus. Ditahun 2021, kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan dengan jumlah kasus pada tahun tersebut sebesar 25.210 dengan 21.753 kasus yang menimpa perempuan dan 5.376 yang menimpa laki-laki dan pada tahun 2022 kasus kekerasan seksual mencapai titik puncaknya, dengan jumlah kasus pada tahun tersebut mencapai angka 27.593 dan angka tertinggi tetap didominasi oleh perempuan dengan jumlah kasus yang menimpa mereka sebesar 25.052 dan yang menimpa laki-laki adalah sebesar 4.631 kasus.
Didalam Talkshow Union di Marsinah FM dengan tema “Apa Kabar Pengawalan Peraturan Pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual?”, Tuti Wijaya menyatakan kasus kekerasan seksual sangat banyak. LBH Semarang mencatat pada tahun 2021-2022 kasus kekerasan mengalami lonjakan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2021 aduan kekerasan seksual sebesar 19 aduan dan di tahun 2022 mengalami lonjakan sebesar 142% dan setelah pengesahan UU TPKS ini, LBH Semarang juga mencatat ada 49 aduan pasca pengesahan UU TPKS ini.
Dalam hal ini, melihat pernyataan Tuti tersebut terlihat bahwasanya pada tahun 2021 hingga 2022 terjadi lonjakan cukup tinggi di Jawa Tengah selaras dengan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang bersifat nasional.
Akan tetapi Tuti juga mengkritisi kerja Aparat Penegak Hukum (APH), ia Menyatakan bahwasanya masih banyaknya aparat penegak hukum yang cenderung mengintimidasi serta menrevictimisasi korban kekerasan seksual yang seakan-akan menjadikan korban kekerasan seksual itu malah sebagai pelaku dan kurangnya perspektif aparat penegak hukum terhadap korban kekerasan seksual dan hak asasi manusia serta seringkali tidak adanya dukungan dari keluarga korban kekerasan itu sendiri juga stigma dari masyarakat yang membuat korban kekerasan seksual semakin tertekan dan memperburuk kondisi korban kekerasan seksual tersebut. Padahal, UU TPKS ini sudah 1 tahun berjalan.
Ditta Wisnu (Jejaring Masyarakat Sipil Kawal UU TPKS dan praktisi hukum) juga menyatakan terkait kurangnya pemahaman para aparat penegak hukum tentang UU TPKS serta kekerasan seksual, bahwa jenis kekerasan seksual bukan hanya terbatas pada fisik saja. Kekerasan seksual juga sudah bermain dalam ranah ITE, Kekerasan Berbasis gender Online (KBGO).
Ditta juga menceritakan perihal pengalamanya melihat kekerasan seksual yang terjadi di daerah yang hukum adatnya masih berjalan kuat dimana pelaku adalah kerabat/keluarga yang masih 1 kampung dengan korban dan proses penyelesaiannya menggunakan hukum adat dan dianggap sudah selesai (apapun bentuk penyelesaiannya, dengan damai atau lain sebagainya sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut). Padahal, seharusnya tidak boleh/belum selesai.Seharusnya proses hukum formal/hukum negara tetap harus berjalan untuk hak yang seharusnya didapatkan oleh korban melalui hukum formal/hukum negara tersebut melalui UU TPKS ini dan mandat dalam UU TPKS ini sudah sangat jelas tertulis bahwasanya penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini tidak boleh dilakukan secara damai.
Pada UU TPKS No.12 tahun 2022 pasal 23 disebutkan, bahwasanya perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses pengadilan, kecuali terhadap pelaku Anak Sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Ditta juga menambahkan perihal belum terbentuknya peraturan pelaksana UU TPKS tersebut. Ia dan kawan-kawan yang tergabung dalam Jejaring Masyarakat Sipil Kawal UU TPKS menyatakan berusaha mengajukan permohonan agar bisa ikut andil didalam pembentukan serta penyusunan draft peraturan pelaksana tersebut. Termasuk meminta draft versi pemerintah agar bisa disandingkan, karena harapannya bahwa hak korban dan pendamping korban kekerasan seksual tersebut bisa dlindungi serta sinkronisasi terkait anggaran, agar memastikan tidak adanya lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, sinkronisasi terkait anggaran yang akan mengganggu jalannya penegakan Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual di daerah oleh dinas-dinas terkait.
Pengesahan UU TPKS ini memang keberhasilan masyarakat dan para pencari keadilan terkhusus korban kekerasan seksual untuk penanggulangan kekerasan seksual serta menjadi dasar hukum penindakan kasus kekerasan seksual yang lebih spesifik akan tetapi seharusnya kita terus mengawal UU TPKS, peraturan pelaksananya serta keseriusan pemerintah perihal implementasi UU TPKS ini, agar menjadi undang-undang yang memang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan cita hukum, yang antara lain untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum bagi seluruh rakyat/masyarakat, bukan hanya menjadi undang-undang yang secara substansi baik, tetapi di dalam implementasinya buruk/tidak berjalan dengan baik.
Ditta wisnu berpesan perlunya edukasi kepada aparat penegak hukum, perangkat-perangkat serta masyarakat terkait kepantasan, etik dan moral yang menurut Ditta sudah menipis bahkan tidak ada karena masih banyak yang menganggap bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini adalah candaan serta Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini hal yang biasa terjadi di masa lampau. Padahal, sebenarnya hal-hal tersebut bukanlah hal biasa melainkan sudah termasuk ke dalam pelanggaran Tindak Pidana Kekerasan seksual. Maka dari itu, diperlukan edukasi-edukasi guna menunjang jalannya UU TPKS ini.
Tuti Wijaya juga berpesa masih perlu ditingkatkannya kerjasama antara pendamping korban dan aparat penegak hukum (belum adanya sinkronisasi yang baik) guna menjalankan UU TPKS ini dan menciptakan substansi hukum, struktur hukum yang berperspektif korban serta budaya hukum, yang dimana budaya hukum itu sudah ada didalam masyarakat. Artinya, undang-undang ini jangan hanya menjadi undang-undang yang kalau tidak dilaksanakan/dijalankan hanya berdalih tidak ada anggaran untuk menjalankannya, jangan sampai terjadi. Siapa lagi yang memiliki kewajiban untuk mengentaskan permasalahan kalau bukan pemerintah sebagai pemangku kebijakan?
oleh Gama