Bertahun-tahun aku bekerja sebagai buruh kontrak di sebuah perusahan besar yang bergerak di sektor garmen di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), daerah Cakung Jakarta Utara. Suatu hari di tahun 2019 perusahan tempat ku bekerja, melakukan relokasi ke wilayah Jawa Tengah dengan dalih bangkrut. Biasalah, ini dalihnya para pengusaha untuk tidak berkehendak memberikan pesangon sesuai ketentuan.
Meskipun perusahaan tutup, hidupku harus terus berlanjut. Dengan bermodalkan uang pesangon yang tidak seberapa, aku membeli 4 buah mesin jahit dan sewa tempat. Aku berusaha untuk membuat usaha sendiri dengan membuka jasa permak baju dan counter pulsa kecil-kecilan. Namun usahaku hanya bertahan 1 tahun, bangkrut. Karena persaingan bisnis sangat ketat, semua modal habis, tidak bisa diputar lagi, keuntungan pun hanya pas untuk makan saja .
Akhirnya aku kembali mencari pekerjaan sebagai buruh Garmen lagi. Namun di mana-mana tidak ada lowongan. Singkat cerita, aku mendapat selebaran lowongan kerja yang disebarkan pihak KBN. Selebaran itu berisi pengumuman ada lowongan pekerjaan di daerah Garut. Aku tidak berpikir panjang. Pada awal 2021 aku berangkat ke Garut dengan modal uang secukupnya.
Aku bekerja di sebuah perusahaan garmen di Garut, PT Hoga namanya. Aku menerima gaji all-in kisaran 4 juta/bulan. Hari kerja mulai Senen sampai Sabtu. Produksi yang dibuat adalah masker karena kebetulan waktu itu saat pandemi. Tapi lagi-lagi hanya bertahan 1 tahun. Setelah pandemi berlalu, produksi masker pun mulai berkurang, karena pemesanan mulai sedikit. Dan itu berdampak pada penghasilanku.
Aku memutuskan untuk pulang kampung, dengan harapan disana aku mendapatkan pekerjaan. Sayangnya aku hanya bertahan beberapa bulan di kampung karena ternyata lebih sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan skill aku yaitu menjahit.
Sebagai anak sulung dari 3 bersaudara, aku merupakan tulang punggung keluarga. Jadi aku harus berfikir keras bagaimana caranya untuk tetap berpenghasilan. Akhirnya aku kembali ke Garut, tapi tidak kembali ke perusahaanku yang dulu. Kali ini aku bekerja di konveksi, dan hanya bertahan 5 bulan, karena penghasilanku sungguh jauh dari kata cukup. Untuk menghidupi diri sendiri saja tidak cukup apalagi untuk membantu adik dan orangtuaku di kampung.
Suatu ketika, aku kebetulan aku bertemu dengan kawan lama, semasa kerja di PT Hoga dulu, dia mengajakku untuk mengadu nasib di Bandung, dan kuterima ajakannya. Dengan harapan bisa lebih baik. Alhasil sampailah aku di Kota kembang, Bandung. Aku ulai bekerja di sebuah CV. Usaha itu mempunyai 5 cabang di Bandung. Setiap cabang mempunyai pekerja sekitar 50 orang. CV ini memproduksi pakaian seragam.
Di CV ini ada 2 (dua) sistem pengupahan. Pertama diupah berdasarkan setiap piece bahan yang kita jahit, harganya tergantung model jahitannya. Kedua dengan cara borongan yaitu Rp 700.0000 setiap seminggu. Aku mengambil upah borongan, karena kalau upah per piece rugi lah karena aku punya skill . Meskipun begitu , tetap saja yang ku terima hanya upah saja, tidak ada embel-embel yang lain seperti jaminan kesehatan atau tunjangan lainnya. Hanya aku tinggal di mess gratis, dengan biaya makan sendiri. Jadi harus pintar-pintar mengelola penghasilanku, agar bisa tetap berkirim uang ke kampung. Akhirnya untuk sementara aku bertahan di sini, sampai sekarang.
Inilah sepenggal kisahku, sebagai buruh yang terus berjuang keras untuk bertahan hidup demi adik-adikku di kampung. Meskipun demikian, aku masih terus berharap suatu ketika bisa mempunyai usaha kecil-kecilan sendiri di kampung halaman. Karena biar bagaimana pun sebagai buruh sangat sulit mencapi kesejahteraan dalam kehidupan.
*ditulis oleh Anggie kru Marsinah FM