Search
Close this search box.

Buruh Perempuan Menolak Penyingkiran, Menolak Jadi Tumbal Investasi

Selamat Hari Perempuan Sedunia,

 

Sejarah Hari Perempuan Sedunia adalah sejarah perlawanan buruh perempuan untuk kesejahteraan dan kesetaraan. Sekian abad berselang, kondisi perempuan masih dalam rantai panjang kekerasan pada segala aspek kehidupan.

 

Dalam setiap jejak kekerasan perempuan tersebut, negara nyaris tidak pernah hadir, pun lebih sering menjadi pelaku dengan beragam kebijakan yang memiskinkan dan mendiskriminasi perempuan. Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun, jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dari pemerintah dan berbagai lembaga meningkat hampir delapan kali lipat. Sebuah angka yang tak boleh diremehkan, pun bila hanya ada satu angka. One is too many.

 

Di tengah kondisi perempuan yang kian memprihatinkan, negara justru abai dengan menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebaliknya, Rezim orang baik Jokowi justru dengan sigap hendak mengesahkan RUU Omnibus Law Cilaka yang kental dengan feminisasi kemiskinan. Rangkaian pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sebelumnya cukup melindungi hak buruh perempuan (setidaknya secara normatif) justru dihapus sama sekali. Sementara, berbagai ketentuan yang mengafirmasi pemiskinan perempuan justru dijadikan kado manis bagi investor. Misal, upah khusus pada sektor industri padat karya yang besarannya lebih rendah dari UMP. Padahal, pada sektor inilah banyak perempuan bekerja.

 

Negara ini lupa, tanpa kerja perempuan di ranah domestik dan industri, dunia akan lumpuh. Keringat dan peluh kaum perempuan-lah yang memberi keuntungan berlipat kepada penguasa kapital pada setiap detiknya.

 

Di sisi lain, kehendak penguasa untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik dan keterbelangan tampil dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalih-dalih moralitas terus saja dijadikan pembenar untuk mengatur perempuan. Dengan kurang ajar, rancangan UU ini mengatur tubuh perempuan, mewajibkan perempuan di rumah, dipaksa menjadi bodoh agar diam dan tak teremansipasi. Penundukan semacam ini adalah cerminan politik patriarkal yang tak layak bernafas dalam peradaban modern dan demokratik.

 

Kami, kaum perempuan pekerja dengan tegas menolak penundukan negara dalam segala aspek kehidupan. Karena itu kami menuntut agar Pemerintah menghentikan pembahasan RUU Cilaka dan Ketahanan Keluarga. Meneruskan pembahasan kedua RUU tersebut adalah upaya nyata penyingkiran perempuan dan menjadikan perempuan tumbal investasi. Kemudian, pemerintah harus memastikan terpenuhinya hak-hak buruh perempuan tanpa syarat dan tanpa diskriminasi. Sekali lagi, perempuan bukanlah tumbal dari hasrat pemerintah untuk mengundang investasi. Kemudian, pemerintah harus menghentikan kekerasan pada perempuan yang sedianya merupakan kekerasan sistematis. Oleh karenanya, pengesahan RUU PKS harus segera dilakukan.

 

Oleh: DST

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Manipulasi atau Insanity Defense? Mengurai Kontroversi Penembakan Polisi di Solok Selatan

Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa penerapan insanity defense membutuhkan pembuktian yang sangat ketat. Menurutnya, seseorang hanya dapat dianggap tidak bertanggung jawab secara hukum jika benar-benar tidak mampu memahami atau mengendalikan tindakannya akibat gangguan mental berat. “Klaim ini harus didasarkan pada evaluasi objektif dan mendalam agar tidak menjadi celah manipulasi hukum,” ujar Maidina

Pekerja PT. Linksindo Makmur, Memperjuangkan Hak Pesangon

Menurut Yahya, pihak perusahaan telah bermain dan memanipulasi UU, dengan tidak memberikan pesangon sesuai peraturan perundangan. Yahya misalnya sudah bekerja selama tujuh tahun, dengan posisi kerja sebagai CS lalu berubah di bagian QA selama tiga tahun terakhir, yaitu 2020 -2023.

Berbagai Dinamika Pasca Pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Tuti Wijaya menyatakan kasus kekerasan seksual sangat banyak. LBH Semarang mencatat pada tahun 2021-2022 kasus kekerasan mengalami lonjakan yang cukup signifikan, dimana pada tahun 2021 aduan kekerasan seksual sebesar 19 aduan dan di tahun 2022 mengalami lonjakan sebesar 142% dan setelah pengesahan UU TPKS ini, LBH Semarang juga mencatat ada 49 aduan pasca pengesahan UU TPKS ini.