Oleh Yohana Sudarsono
Baca juga http://dev.marsinah.id/ketika-perlawanan-bukan-sekedar-untuk-menang/
Versus Sekolah Inggris
Pada tahun 2010 saya kembali bekerja sebagai staf pendidik di sebuah sekolah internasional besar di wilayah Tangerang. Berharap bahwa sesudah bertahun-tahun, keadaan sudah lebih baik di lembaga-lembaga internasional ini, saya sempat syok menghadapi fakta bahwa perlakuan diskriminatif masih terjadi di lingkungan kerja internasional. Warga lokal tetap saja menjadi warga kelas 3 yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh manajemennya. Warga lokal menjadi kacung di negeri sendiri. Kami bisa ditendang kapan saja dengan kompensasi atau diperlakukan semau-gue baik oleh atasan lokal maupun atasan yang warga asing itu.
Singkat cerita, pada bulan ke 9, tiba-tiba pimpinan HRD memutuskan kontrak kerja saya tanpa alasan yang jelas, seminggu sesudah saya menjadi anggota serikat. Mengetahui bahwa PHK semena-mena memang sering dilakukan oleh pimpinan HRD tersebut, saya memutuskan untuk melakukan perlawanan. Sadar sepenuhnya bahwa perlawanan seperti apapun, kemungkinan besar akan berakhir dengan kekalahan, saya bertekad tetap melakukan perlawanan.Pada saat itu, pihak managemen membayarkan upah sesuai sisa kontrak saya pada saat itu dan dengan mereka menganggap kasus tersebut selesai. Tetapi saya mengembalikan uang tersebut dan menyatakan bahwa tuntutan saya adalah dipekerjakan kembali sesuai dengan hasil Anjuran Disnaker pada waktu itu. Tetapi mereka menolak. Sesudah uang saya kembalikan, mereka kembali membayarkan uang tersebut. Seorang atasan warga asing mengatakan kepada saya bahwa mereka akan memberikan saya bonus tambahan satu bulan gaji dengan syarat saya menerima PHK tersebut. Tetapi syarat itu hanya berlaku jika saya menyepakati hari itu juga.
Katanya:”kalau kamu tidak ambil uang ini hari ini, uang bonus ini akan hangus. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa!”
Saya jawab:”Oh, tidak semua orang mencari duit, Mister! Ini bukan soal duit! Ini soal harga diri orang Indonesia!”
Kasus ini saya gugat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dimana saya dikalahkan dan Pengadilan membenarkan pemutusan kontrak tersebut sebagai hak perusahaan. Kemudian saya melakukan kasasi ke MA dimana kasasi tersebut diterima. Tetapi putusan MA atas kasus tersebut menurut saya adalah Putusan pengecut, yanghanya mengamini Putusan PHI sebelumnya, bahwa pihak perusahaan membayarkan sisa kontrak. Dari sejak proses Mediasi, Proses PHI, Kasasi MA, hingga Pengadilan Eksekusi, kasus ini berlangsung kurang lebih 2 tahun.
Sebenarnya dengan melihat posisi sekolah internasional besar dengan modal besar dan backing kuat, dan pasukan lawyer tingkat nasional itu, memperpanjang kasus ini untuk menang adalah sesuatu yang sangat mustahil. Tetapi bagi saya pada saat itu, kalaupun saya harus kalah, saya tidak akan kalah tanpa melawan. Perlawanan itu adalah langkah memberi pelajaran. Langkah untuk menunjukkan kepada mereka, tidak saja pimpinan lokal yang arogan padahal mereka hanyalah demang kaum kompeni, melainkan juga menunjukkan kepada para kompeni itu, bahwa mereka tidak boleh memperlakukan kami, orang Indonesia, dengan semau-gue dan tidak lagi memandang kami sebelah mata.
Pada waktu itu, jika saya mengambil uang kompensasi dari managemen, mereka akan mengeluarkan uang 18juta dan kemudian selesai. Mereka bisa melanjutkan aktifitas mereka kembali, menindas dan memperlakukan orang lain (pekerja lokal) dengan semau-gue karena mereka bisa menyelesaikan setiap masalah dengan uang. Tetapi keputusan untuk melawan dan memperpanjang kasus ini sampai ke pengadilan adalah satu-satunya cara untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa di negri ini, masih ada, dan banyak, orang yang tidak akan DIAM di rendahkan dan diperlakukan semena-mena. Menyadari betapa penindasan terhadap pekerja begitu masif dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan internasional, sejak tahun 2010 inilah saya kemudian aktif membantu kawan-kawan gerakan buruh di beberapa serikat untuk mengkampanyekan secara internasional kasus mereka dengan harapan akan mendapatkan dukungan luas dan penyelesaian yang adil, dan sebagai bentuk pernyataan sikap anti penindasan dan perlawanan demi harga diri anak bangsa.