ilustrasi diambil dari http://tattoospedia.com/angel-tattoos-miscarriage-2/
Oleh Dian Septi Trisnanti
Siang itu terik dan bertambah terik karena di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) Cakung, nyaris tiada pohon rindang. Debu dan asap kendaraan bermotor hingga mobil barang semacam kontainer dan truk yang berlalu lalang mengantarkan produk barang hasil produksi ke pelabuhan Tanjung Priuk. Sudah pandangan sehari – hari dan semakin gersang saja.
Kendaraan bermotor yang saya naiki berhenti tepat di sebuah perusahaan sebut saja PT. A, sebuah perusahaan yang memproduksi garmen tekstil bermerk terkenal. Anda akan mudah menemuinya di super market – super market besar, sebut saja GAP, ZAHRA dan merk lainnya. Seperti biasa, saya dan seorang kawan lagi duduk di kantin depan perusahaan. Sesekali melepas tawa dan bercanda. Di dunia yang gila ini, bila anda tidak menemuikan jalan untuk bercanda dan tertawa sebagai bagian relasi sosial, bisa dipastikan jiwa anda akan semakin gila. Apalagi untuk pengurus serikat buruh yang berhadapan dengan rejim pabrik sampai rejim penguasa, yang keji. Seperti satu kasus yang saya temui hari ini, keji.
Gadis mungil, berwajah lembut dan berjilbab itu akhirnya keluar dari pabriknya. bersama Rini, ketua serikat di perusahaan tersebut. Seragam yang ia kenakan merah, menandakan ia bekerja di bagian finishing. Di setiap perusahaan garment, seragam kerja buruh warnanya berbeda disesuaikan dengan bagian tempat ia bekerja. Sebut saja namannya Nurhalifah. Sesekali menunduk dan tersenyum simpul, ia kisahkan kasusnya.
“Upah saya dipotong per bulan mbak…” ucapnya pelan
“Karena apa?” tanyaku sambil meneguk secangkir kopi. Ah saya melanggar pantangan lagi.
“Saya cuti keguguran mbak selama 1,5 bulan. Mbak Rini selaku ketua pengurus serikat sudah membuat kesepakatan dengan personalia dan disetujui bahwa biaya Rumah Sakit sebesar Rp 8,5 juta akan ditanggung sepenuhnya. Tapi di bulan pertama saya masuk setelah cuti, upah saya dipotong Rp 300.000,00. Katanya biaya hanya ditanggung sebesar Rp 3 juta, sisanya saya harus bayar, dengan dipotong Rp 300.000 per bulan.”
Selanjutnya mengalirlah kisah sedih yang ia alami. Pada 10 Februari 2015 lalu, Nurhalifah keguguran karena banjir tetap disuruh masuk kerja. Karena kelelahan, Nurhalifah keguguran. Sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa KBN Cakung selama banjir buruh tetap diharuskan masuk kerja. Bayangkan rumahnya yang kebanjiran tidak terurus karena harus masuk kerja. Meski akhirnya disuruh pulang lagi karena tidak memungkinkan bekerja. Asal tahu saja, tidak produksi karena banjir itu, tidak dianggap libur tapi utang jam. Maksudnya, buruh harus lembur setelah banjir berlalu, tanpa dibayar. Hebat kan? Dimana Dinas Ketenagakerjaan? Absen. Kabarnya karena pengawas jumlahnya sedikit dan tidak sanggup mengawasi jumlah perusahaan yang seratus lebih. Oh ya, tapi untuk pelanggaran massal di kawasan berikat, yang hampir 100% perusahaan melakukan pelanggaran, tidak mungkin Dinas Ketenagakerjaan tidak tahu. KBN Cakung, adalah tempat penindasan yang massal, sejenis dan terkonsentrasi.
Mari kembali ke kisah Nurhalifah, usia kehamilannya 3 bulan ketika ia keguguran. Meski berkisah sambil tersenyum simpul, saya tahu kesedihan ada di wajahnya. Nur adalah tulang punggung keluarga, ibu dari satu anak dengan suami yang pengangguran. Upah sebesar Rp 2,7 juta adalah nafkah utama untuk keluarganya, belum bila orang tuanya membutuhkan biaya untuk hari tua. Dengan dipotong Rp 300.000 per bulan, maka upahnya menjadi Rp 2,4 juta. Sudah dipastikan Nur akan mengencangkan ikat pinggang, mengurangi asupan makannya agar buah hati dan suami bisa mendapatkan asupan makan yang lebih bergizi. Belum termasuk biaya transportasi pulang pergi ke pabrik dan biaya lain seperti pendidikan dan kebutuhan harian.
“Berat buat saya mbak, apakah bisa semua ditanggung perusahaan?” tanya Nurhalifah
“Mbak Dian, saya sudah buat kesepakatan dengan perusahaan, sudah ada perjanjiannya, tetap saja dilanggar” Keluh Rini, ketua pengurus serikat PT. A
Saya menarik nafas dalam – dalam, seperti inilah wajah buruh Indonesia, terlebih garment tekstil atau industri padat karya. Pengusaha bisa seenaknya melanggar kesepakatan, bahkan yang tertulis sekalipun. Pengusaha selalu merasa bebas melanggar karena selalu ada pembiaran dari negara.
“Ajukan lagi perundingan Rini, jangan dulu ke Dinas Ketenagakerjaan, apalagi PHI. Sebisa mungkin diselesaikan di tingkat pabrik. Lalu untuk BPJS kesehatan maupun ketenagakerjaan, karena belum juga diurus perusahaan, kita harus bergerak” ucapku
“Ya mbak, kami akan siapkan pertemuan – pertemuan line”
“Nanti teman-teman pengurus di Federasi akan bantu”
Saya menatap wajah Nur, ia melempar senyum. Wajah – wajah Nur banyak hadir di KBN Cakung, wajah yang tabah sekaligus pasrah. Tapi bila pemogokan berlangsung, kegembiraan dan kepuasan memenuhi rona wajah itu.
“Nur, masih menyimpan slip gajinya kan?” Tanyaku sambil memegang erat tangannya.
“Sudah saya buang mbak”
Aku mengangguk pelan, kuberitahu bahwa slip gaji lain kali jangan dibuang. Sebenarnya sebuah pesan yang sering sekali kami ulang- ulang setiap pertemuan, tapi saya mengerti bahwa kamilah yang harus dengan sangat sabar menyampaikan pesan. Dengan kasusnya ini, paling tidak, Nur sedang belajar berjuang. Dari pengalaman juangnya inilah, Nur akanmenjadi perempuan yang lebih kuat dan berani. Bagi saya, inilah pemberdayaan dan untuk saya pribadi ini adalah kesempatan belajar.
Bel istirahat meraung – raung, memanggil seluruh buruh untuk masuk kerja, tanpa disadari kantin sudah sepi. Ya seperti biasa, kantin sudah sepi setengah jam sebelum istirahat selesai. Para buruh itu sudah masuk pabrik, takut diomeli pengawas. Setiap hari mereka sumbangkan setengah jam dari waktu istirahatnya untuk perusahaan. Perusahaan untung, buruh buntung.
Saya dan kawan saya pulang, kembali bertarung dengan debu dan asap kendaraan. Di sepanjang perjalanan, wajah Nur terus membayangi, sementara di televisi, para badut politik sedang membual.
berikut video situasi banjir KBN Cakung yang menyebabkan Nur keguguran karena diharuskan tetap masuk kerja