Sebuah refleski akhir tahun tentang kesehatan reproduksi buruh perempuan:
Bagian 1
(Sri Rahmawati – ketua Pengurus Basis FSBPI PT Amos Indah Indonesia)
Saya merasa penting menulis cerita ini, sebagai gambaran tentang kondisi kerja buruh perempuan, khususnya di sektor garmen. Bagi saya, ini salah satu tonggak sejarah, dimana kita memaknai kata sehat, bukan hanya sebatas di bibir, tapi merealisasikan sehat seperti apa yang kita inginkan. Semoga menjadi pembelajaran untuk terus bergerak menjadi lebih baik.
Saya seorang ibu dengan 2 anak, bekerja di sebuah perusahaan garmen yang berada di Kawasan Berikat Nusantara/KBN Cakung Jakarta Utara. Memulai bekerja pada April 2004 sebagai buruh kontrak/PKWT. Pada 1 Agustus 2005 saya menjadi buruh tetap/PKWTT. Saya adalah salah satu dari 103 buruh yang terpilih menjadi PKWTT saat itu.
Saat itu saya belum mengenal organisasi bahkan tidak mengerti apa saja hak saya sebagai buruh. Saya hanya tahu setiap tanggal 5 kami menerima gaji. Selain gaji pokok yang tertera dalam slip gaji, ada tambahan premi cuti haid yang membuat saya dan teman-teman merasa bahagia karena ada tambahan uang selain gaji pokok. Lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan keluarga. Saat itu suami bekerja sebagai buruh bangunan yang tidak menentu upahnya. Upah kerja sayalah yang paling diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hari-hari terus berlalu, tahunpun berganti. Saya sangat menikmati kerja sebagai buruh pabrik, tidak pernah merasa lelah, tidak pernah absen dan tidak pernah mengerti bahwa akan ada dampak kurang baik bagi kesehatan saya sebagai buruh perempuan. Hal inilah yang di kemudian hari saya menyadari, bahwa merawat tubuh dan alat reproduksi saya sebagai perempuan adalah hal yang sangat penting.
Singkat cerita, pada 2013 saya mulai mengenal organisasi serikat buruh, setelah 9 tahun bekerja. Saat itu namanya Federasi Buruh Lintas Pabrik/FBLP, sekarang namanya menjadi Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia/FSBPI. Saya mendapat pendidikan-pendidikan yang diadakan oleh organisasi. Perlahan dan pasti, saya mulai mengenal hak saya sebagai buruh termasuk hak buruh perempuan. Saya mulai resah dengan ketidak adilan dari perusahaan. Di sela-sela waktu kerja di perusahaan dan kerja rumah saya berupaya untuk tetap terlibat dalam agenda-agenda dan pendidikan-pendidikan yang diadakan oleh organisasi.
Pertengahan 2013 saya masuk sebagai salah satu pengurus serikat di tingkat pabrik/basis. Awalnya saya terpaksa menerima dan mengambil tanggung jawab itu karena saya belum begitu banyak pengetahuan. Saya belum ada keberanian untuk tampil secara formal. Namun dengan banyak tantangan dan rintangan akhirnya jiwa dan mental saya terasah untuk bisa tampil secara formal.
Tahun 2015 para pengusaha di kawasan KBN mengkondisikan para karyawan untuk menyepakati perubahan cuti haid, yang sebelumnya cuti haid dibayar premi berupa upah selama 2 hari kerja, diganti menjadi diliburkan 2 hari. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan/UUK No 13Tahun 2003 pasal 81 (yaitu dengan disertai keterangan dokter). Saat itu kami semua menolak untuk diubah dengan berbagai pemikiran, pertama: tidak akan ada yang berani mengambil cuti haid dengan alasan, pasti akan berkendala di target kerja; kedua, Sebagian merasa butuh uang karena upah pokok belum bisa mencukupi kebutuhan hidup, sehingga membutuhkan tambahan pendapatan.
Kami kalah suara. Sejak 2015 itulah saya dan teman-teman mengambil istirahat untuk cuti haid setiap bulan, di hari pertama dan kedua saat haid. Apa yang terjadi? Seperti dugaan saya, tidak semua buruh perempuan berani mengambil hak cuti haidnya, karena pasca mengambil cuti haid, atasannya sering mengintimidasi dengan ragam bentuk. Ada yang kena marah karena target berkurang, ada yang tidak ditegur atasan sehingga merasa diasingkan, ada yang tidak diberi pekerjaan sehingga menjadi salah tingkah.
Pada 2021 ini, saya mulai merasa tidak nyaman pada tubuh saya saat haid. Ada rasa nyeri yang luar biasa. Pada bulan Maret, haid yang saya alami sangat sakit. Hampir 20 hari saya mengeluarkan darah terus menerus dan banyak. Saat aksi Internasional Women Day/IWD/Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021, saya ikut aksi pas saya sedang haid. Karena banyaknya darah yang keluar, saya sampai memakai pempers supaya tidak tembus. Bulan berikutnya yaitu April, saat haid pun mengalami hal yang sama. Sakit yang luar biasa. Saya khawatir dan memeriksakan diri ke Puskesmas. Awalnya dokter menyampaikan bahwa ada kemungkinan reaksi mau monopouse. Saya hanya dikasih obat penghentian pendarahan. Dokter juga menyarankan apabila seminggu kedepan tidak berhenti juga haidnya, saya disuruh datang lagi ke Puskesmas.
Demi menyiasati tidak meninggalkan pekerjaan, saya melakukan pemeriksaan ke puskesmas setiap hari Sabtu. Berobat dengan memakai fasilitas BPJS memakan waktu hampir seharian. Mengambil nomor antrian saya lakukan jam 7 pagi, itupun antrian sudah banyak karena banyak pasien yg datang dari jam 5 pagi supaya mendapat nomor antrian yang kecil. Sekalipun saat itu masih diterapkan PPKM oleh pemerintah namun pasien yang banyak tak terhindarkan.
Akhir bulan April yaitu kunjungan ke empat saya memeriksakan haid yang berlebihan ke dokter puskesmas. Saya diberi rujukan untuk USG dan agar memeriksa lebih lanjut ke spesialis kandungan. Saya memilih RS swasta di wilayah Jakarta Utara (status RS great C). Meskipun menggunakan fasilitas BPJS, tetap ada proses panjang yang melelahkan. Saat saya datang jam 07.00 Wib, saya mendapat nomor antrian 198. Saya melakukan pendaftaran dan memilih dokter yang menurut saya baik, antrian yang sangat panjang membuat saya kelelahan dengan kondisi saya yang kurang baik. Rasanya saya mau menyerah dengan proses BPJS yang rumit, namun saya tidak memiliki uang banyak untuk biaya pengobatan sendiri. Saya juga merasa sudah meng-iur BPJS sekian lama dengan pemotongan upah tapi tidak pernah saya gunakan fasilitasnya. Dari jam 07.00 berada di RS, barulah jam 14.00 siang saya bisa masuk ke ruang dokter spesialis kandungan.
Ini akan berbeda sekali jika dibandingkan dengan menggunakan fasilitas kesehatan yang umum/berbayar. Bisa jadi tidak perlu antri lama berjam-jam, akan langsung ditangani dengan loket yang berbeda. Akhirnya saya berpikir, pantesan saja selama ini teman-teman anggota selalu mengeluhkan ke kami tentang rumitnya menggunakan fasilitas BPJS dan banyak di antara mereka memilih untuk berobat di klinik dengan membayar sendiri. Mereka lelah dengan proses BPJS. Bahkan ada yang sampai mengundurkan diri karena harus bolak-balik berobat, takut dan hawatir sering meninggalkan pekerjaan di perusahaan, nanti tidak diperpanjang kontrak kerja. Ketakutan ini saya rasa wajar. Tapi mari kita coba mengatasinya.
Setelah di dalam ruangan dokter spesialis kandungan saya ditanya keluhan yang saya alami kemudian di-USG. Ternyata hasil USG membuat saya kaget dan sangat shock. Dari rekam medisnya ada kista ovarium dan miom di indung telur saya. Dokter menyarankan untuk saya segera dioperasi supaya tidak mengganggu kesehatan, supaya tidak makin membesar dan parah.
Mendengar penjelasan dokter, saya gemetaran dan tidak sanggup banyak bertanya-tanya. Saya betul-betul tidak habis pikir, bisa mempunyai penyakit separah itu. Pulang dari RS saya bercerita kepada suami tentang penyakit yang saya alami. Suami pun kaget dan menyarankan supaya saya melihat opsi dengan dokter spesialis kandungan di rumah sakit yang berbeda dan saya menyetujuinya. Dari tiga RS yang berbeda itu, hasil medisnya pun sama. Sedih dengan kondisi ini.
Sejujurnya, saya takut untuk dioperasi. Saya memikirkan itu dan sangat khawatir kalau mengingat akan ada luka operasi yang harus dirawat, luka operasi yang lebar. Lalu bagaimana dengan kegiatan saya kedepan? Pastinya tidak akan segesit dulu, tidak akan bisa terlalu aktif. Saya terlarut dengan banyak pemikiran yang negatif. Semua itu semakin sempurna menambah ketakutan saya untuk menjalani operasi.
Saat kemudian saya berdiskusi dengan keluarga, saya memutuskan untuk berobat secara herbal saja dengan mengkonsumsi obat herbal. Beberapa bulan saya mengkonsumsi obat herbal. Niat saya menjalani pengobatan herbal adalah untuk menghindari operasi. Namun fakta berkata lain, haid yang saya alami tetap berlebih bahkan tidak berhenti dalam 1 bulan. Saya resah, pikiran tidak tenang. Haruskah saya menjalani operasi?
Melihat kondisi haid saya yang tidak berubah, pada bulan ke-9 saya memutuskan untuk ke dokter spesialis kandungan dan menyiapkan mental untuk operasi. Lagi-lagi, saya dihadapkan dengan proses BPJS kesehatan yang rumit. Setiap hari saya harus bolak-balik ke RS swasta tersebut untuk melalui tahapan pemeriksaan fisik menuju operasi. Saya harus ke laboratorium, radiologi, spesialis penyakit dalam, jantung dan ini memakan waktu berhari-hari. Ini melelahkan namun harus dijalani demi kesehatan.
Pada 1 November 2021, saya kembali lagi ke dokter kandungan untuk kepastian operasi dengan membawa hasil pemeriksaan dari laboratorium, radiologi, jantung, paru, dan penyakit dalam. Setelah dari pagi melakukan proses BPJS akhirnya jam 14.00 saya bisa masuk ruang dokter untuk diperiksa.
Setelah di USG lagi oleh dokter kandungan, ia menyampaikan bahwa saya harus dirujuk ke RS great B. Dokter menyampaikan di RS swasta dengan great C, secara budget BPJS tidak mengkafer semua biaya sebab saya memiliki 2 penyakit di tempat yang berbeda (di rahim dan indung telur) yang harus diangkat sekaligus. Dokter juga memberi penjelasan, apabila hanya diangkat satu akan tidak bagus untuk kesehatan saya. Dokter memprediksi rahim saya harus diangkat. Dengan berat hati saya ingin menyepakati rahim saya untuk diangkat demi keberlangsungan kesehatan saya. Sedangkan di RS swasta dengan great C hanya akan dikafer untuk mengangkat satu penyakit untuk satu kali operasi. Apabila mau diangkat kedua-duanya harus membayar sendiri kekurangan budget dari BPJS. (Cerita ini akan saya sambung ke bagian 2)