Malam, 18 januari 2018
Awal saya mendapat kabar dari adik ke 4 saya yang bernama Mila. Mila telepon saya, bahwa adik saya Tini diperkirakan korban pemerkosaan.
Setelah pelan- pelan Tini kami ajak bercerita ternyata dia mengalami kekerasan seksual dari sejak berumur 10 tahun sampai 14 tahun.
Selama itulah Tini memendam kejadian mengerikan itu. Alasannya , Tini takut bercerita karena diancam akan dibunuh kalau sampai bercerita ke orang lain atau ke kami keluarga. Yang lebih menyakitkan, pelaku adalah Wak Tini sendiri. Pelaku adalah kakak lain ibu dari ayah kandung Tini.
Jantung saya berdegup sangat kencang, terasa kiamat separuh dunia. Hampir tidak percaya mendengar berita yang baru saja saya dengar. Ingin rasanya terbang menjemput Tini dari desa kami di Palembang menuju Ibu Kota.
Rasa bersalah, menyesal, bergejolak. Sampai berpikir pun sudah tak sanggup, cuma air mata jawaban, setiap mengingat kejadian itu.
Di dalam hati, saya bersumpah demi kehormatan adik saya dan semua korban yang tidak berani bicara dimanapun. Tidak akan saya biarkan pelaku hidup dengan tenang
Saya kemudian meminta adik laki-laki saya untuk menjemput Tini. Tini pun tiba di Jakarta, Selasa 23 januari 2018.
Di tengah kekalutan waktu itu, saya menelepon seseorang yang kami anggap pak guru waktu di pendidikan hukum FBLP. Dengan maksud, saya akan jalan sendiri dengan berbekal sedikit ilmu dari organisasi kami, FBLP.
Lalu keesokan harinya datanglah seorang advokat bernama mbak Mita, kami pun mulai berbincang bincang dan mengatur strategi untuk kebaikan Tini dan proses hukum yang nantinya akan dijalani.
Pertama tama yang kami lakukan adalah:
- memberikan waktu untuk Tini sendiri untuk beradaptasi di tempat baru
- mendatangi sebuah lembaga bantuan hukum lalu meminta rekomendasi untuk ke yayasan konseling untuk Tini
- mendatangi kantor KPAI dan KPAI menyarankan seharusnya membuat laporan ke polsek wilayah TKP atau bisa juga sesuai wilayah KTP pelapor dan
Pelapor tidak harus korban juga bisa saksi atau pihak keluarga korban
Baru setelah mendapatkan kertas bukti pelaporan datang ke kantor KPAI. Tidak lupa di setiap berproses selalu mengumpulkan data data dan di foto copy semua berkas – berkas yang diperlukan dan disimpan. Seiring waktu, Tini meminta sekolah di pesantren. Memenuhi permintaanya, saya bersama mbak Mita mencari informasi dan akhirnya memilih pesantren di Bekasi untuk Tini melanjutkan sekolah. Namun, karena kondisi pisikis Tini masih belum baik, dalam 3 minggu, ia sudah 2 kali kabur dari pesantren. Kami tetap berusaha menenangkan Tini dengan rutin menemaninya konseling. - Minta pendampingan dari sebuah lembaga bantuan hukum untuk pelaporan ke Bareskrim Jakarta Pusat
Awalnya pendapat dari lembaga bantuan hukum, pelaporan bisa di mana saja, tapi secara prosedur kasus hukum harus berjalan di lokasi TKP.
Ahirnya,Tgl 17 april 2018 kami mendatangi melaporkan ke Bareskrim Jakarta Pusat karena kami masih yakin pasti ada jalan untuk kelanjutan proses kasus hukum Tini di Jakarta.
Sembari mencari informasi dari pak polisi yang menerima pelaporan dari kami. Kami pun disarankan untuk mencari data kasus yang sama dan ternyata kasusnya bisa berjalan di sesuaikan tempat pelapor, untuk dijadikan bahan Negosiasi ke pihak APPA (Asas Peradilan Pidana Anak).
Karena merasa tidak ada kepastian dari lembaga bantuan hukum pendamping, saya memutuskan untuk menolak tanda tangan surat perjanjian kuasa hukum untuk kasus Tini. Akhirnya kami bertemu dan ditawarkan untuk didampingi lembaga bantuan hukum lainnya. Mereka mendampingi kami sampai di pemeriksaan kantor PPA dan dilakukan Berita Acara Interview (BAI) yang ke dua kalinya, pada Rabu 29 Agustus 2018 dan sampai ke pemeriksaan visum fisik. Hasil pemeriksaan terhadap Tini kemudian dikirim ke Polda Sumsel lewat bareskrim Jakarta.
Karena merasa sulit, kami melakukan diskusi untuk menggelar konferensi pers pada hari kamis, 13/08/18,di kantor LBH Ansor dengan didampingi KPAI dan berita pun naik.
Kamis, 10/01/19, saya dan mbak Mita kembali mendatangi kantor Komnas Perempuan untuk meminta dukungan supaya mendorong Polda Sumsel segera memproses kasus Tini.
Kami juga mendatangi kantor KPAI dan untuk kesekian kalinya didiskusikan bersama KPAI untuk membicarakan terkait surat hasil SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidik), yang isinya pihak korban dan saksi sudah mengabaikan surat panggilan untuk pemeriksaan, sedangkan surat dikirim dari Polda Sumsel darisejak tgl 29 Oktober 2018 lalu dan kami baru terima 24 Desember 2018
Dan menurut KPAI, ada kesalahan pahaman komunikasi antara KPAI dan pihak penyidik Polda Sumsel
Karena pihak KPAI tidak pernah menjanjikan untuk menghadirkan pihak korban dan saksi – saksi lainnya kepada pihak penyidik Sumsel.
Kemudian kami mendatangi LPSK (Lembaga Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban) dan kami membuat surat pernyataan menyertakan foto copy berkas – berkas selama berproses.
Kami meminta bantuan serta dukungan pengupayaan untuk proses hukum Tini tetap di lakukan di Jakarta, mengingat kondisi pisikis Tini yang makin memburuk.
Beberapa pekan kemudian kami mendapat kabar melalui LPSK bahwa atas kerja sama pihak penyidik Sumsel dan Bareskrim Jakarta PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dan bersamaan dengan itu PPA menyampaikan bahwa akan dilakukan BAI lagi, disertakan pembuatan video untuk Tini dan berharap akan dijadikan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) untuk Tini dan disertakan juga surat hasil visum fisik bahwa memang betul ada robek di bagian vagina dan visum pisikisnya dari hasil konseling, bahwa memang betul Tini mengalami trauma berat dan semua bukti – bukti akan di kirim ke pihak penyidik polda Sumsel.
Lalu beberapa pekan kemudian kami mendapat telpon dari pihak keluarga pelaku bahwa sudah menerima surat panggilan untuk pemeriksaan dari penyidik polda Sumsel dan karena pelaku keberatan untuk hadir.
Maka pelaku mengirimkan keluarganya yaitu adiknya dan dua anak laki-lakinya juga istrinya untuk datang ke Jakarta memui kami dan meminta maaf atas kejadian ini karna kekhilafan pelaku dan karena kita adalah keluarga sendiri dan mereka akan memberi uang atau apa saja asal kami mau mencabut surat pelaporan kasus Tini. Bila kami tidak mau? mereka akan menutut balik karena menurut mereka kami tidak punya cukup bukti – bukti yang kuat.
Sampai akhirnya semua berkas – berkas surat yang selama satu tahun lebih kami berproses hilang kemalingan di rumah adik saya Mila, waktu ditinggal liburan lebaran pulang kampung.
Dan sampai sekarang kasus hukum Tini masih berjalan yang entah sampai kapan.
Kabar terakhir dari LPSK bahwa sudah dua kali pihak penyidik Sumsel mendatangi rumah pelaku untuk pemeriksaan dan pelaku tindak ada di rumahnya.
Iya perjuangan kami untuk kasus hukum Tini belum selesai, tapi paling tidak saya agak merasa sedikit lega karena biarpun pelaku belum dikurung di dalam penjara tapi yang pasti secara pisikis, pelaku sudah terkurung. Ia merasa takut keluar rumah, malu bertemu orang sekitarnya dan secara kampanye di masyarakat sekitar desa kami, mereka mendengar bahwa kekerasan seksual walaupun terjadinya suda lama dan sulit bukti saksi yang melihat kejadian ternyata bisa melaporkan di mana saja dan tetap bisa diproses hukum dan kami berharap dampak baiknya supaya tidak ada lagi p korban – korban kedepannya dan para pelaku berpikir jutaan kali ketika hendak berbuat.
Oleh Lindah,perempuan penyintas, aktif di FBLP dan relawan Posko Pembelaan Buruh Perempuan