Aku Katak, Bukan Kalajengking
Pernah ada banjir di rimba, katak beristirahat di tepi sungai. Kalajengking yang terjebak di banjir minta tolong pada katak. “Tolong aku menyebrangi sungai”
Katak bertanya “Jika kau menyengatku?”
Kalajengking berkata, “Bodoh, jika kusengat kau, kita tenggelam. Kenapa aku mau bunuh diri?”
Katak berpikir, “Dia benar. Ayo bantu dia”
Jadi katak biarkan kalajengking naik ke punggungnya, lalu mereka menyebrang sungai. Namun, segera setelah mencapai tengah sungai, kalajengking menyengat katak.
Katak Bertanya, “Kenapa kau begitu?”
Kalajengking berkata, “Aku kalajengking, itu yang kulakukan”
Beberapa pria itu kalajengking. Mereka tak pernah berubah.
Dongeng itu disampaikan oleh seorang ibu kepada anak perempuannya. Badru, begitu anak perempuan itu dipanggil, menatap mata ibunya dan menjawab
“Itu kisah ibu, bukan kisahku”
Jawaban singkat itu, mengawali perang dingin antara ibu dan anak setelah Badru mencabut gugatan kekerasan dala rumah tangga ke kepolisian. Perang dingin itu berbuntut luka, dan sulit tersembuhkan. Badru kehilangan janinnya, ia keguguran, setelah sang suami memukul dan mendorongnya hingga terjatuh dari tangga. Saat itu, Badru ingat betul. Suaminya tidak sedang mabuk.
Dalam budaya masyarakat yang kental akan patriarkal, selalu ada dalih saat seorang lelaki menjadi pelaku kekerasan. Dalih, bahwa ada faktor eksternal yang mendorong seseorang menjadi pelaku kekerasan, seperti kecanduan alkohol atau judi. Sehingga, perempuan sebagai pasangan atau istri memiliki kewajiban untuk ‘menyembuhkan’ sang suami. Seolah, seorang lelaki, bukanlah mahkluk dewasa yang bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri, atas tindakan dan konsekuensi dari tindakannya. Perempuan, menjadi korban sekaligus yang harus bertanggung jawab atas tindakan pasangannya.
Badru, hanya satu dari perempuan yang yakin bahwa suaminya melakukan kekerasan akibat kecanduan alkohol. Meski hampir setiap hari lebam membiru, setiap hari pula Badru menyangkal suaminya adalah pelaku kekerasan. Ia hadirkan sejuta dalih, alkohol. Sebagai istri, Badru berkeras menyembuhkan Hamza, suaminya dari kecanduan alkohol. Ia bahkan memesan racikan obat khusus yang dimasukkan diam – diam ke makanan yang dihidangkannya untuk Hamza. Apa yang terjadi? Badru kembali menerima pukulan bertubi – tubi, menambah deretan lebam di setian jengkal tubuhnya.
Badru masih bersikeras, bahwa suaminya bisa berubah. Tentu saja, setiap orang bisa berubah, namun bukan karena kerja keras pasangan atau orang lain, melainkan diri sendiri. Hamza, bagai kalajengking, tidak pernah bisa berubah. Alih – alih menjadi lebih buruk. Meski, sang ibu, terus mendesakknya untuk berpisah dan meyakinkan bahwa Hamza tidak akan pernah berubah dan ia hanya menyia – nyiakan waktu, Badru melanjutkan rencananya merubah Hamza. Gagal dengan memberikan obat menghentikan candu alkohol, Badru berencana supaya hamil. Anak, menurut Badru bisa menghentikan Hamza melakukan kekerasan.
Alur cerita terus bergulir, Hamza akhirnya berhenti meminum alkohol. Bukan karena Badru akhirnya mengandung, bukan. Tetapi, karena ia terkena penyakit liver akut yang mengharuskannya berhenti meminum alkohol. Satu tabir fakta terkuak, bahwa sesungguhnya Hamza bisa berhenti minum alkohol, dengan atau tanpa dorongan Badru. Pun, fakta lainnya kembali terkuak. Tanpa alkohol, Hamza tetap bisa melakukan kekerasan. Dalam kondisi sadar, tanpa pengaruh alkohol, ia punya cukup kesanggupan mendorong Badru hingga terjatuh dari tangga dan mengalami keguguran.
Titik menyakitkan inilah yang membuat Badru tersadar. Bukan ia yang harus bertanggung jawab atas perangai Hamza, bukan ia pula yang harus bertanggung jawab menjadikan Hamza menjadi suami yang baik. Dari sinilah, rencana pembunuhan dengan dukungan sang ibu dan temannya, dimulai. Badru tidak ingin seperti katak yang mati disengat kalajengking.
Namun, apakah membunuh Hamza sebagai bentuk balas dendam adalah jawaban? Dalam sebuah adegan klimaks, Badru berkata
“Tapi aku katak, bukan kalajengking dan aku tak ingin menjadi kalajengking.”
“Apa kau ingat apa yang dilakukan Hamza padamu?” Ucap ibunya
“Tapi ibu, meski aku membunuhnya, ia akan terus kembali.”
“Kalau kau tak membunuhnya, apa yang kau mau?”
“Kehormatan” Jawab Badru. Kehormatan untuk bisa memulai lembaran hidupnya yang baru, sendirian. Menjadi independen dan meninggalkan suaminya.
Rumah, Tak Selamanya Aman. Tak Selamanya Nyaman
Film Darling, yang menghadirkan sosok Badru, mengingatkan saya pada peristiwa KDRT yang dialami Lesti Kejora. Keduanya hadir dalam dunia yang berbeda (fiksi dan non fiksi), namun relateable karena mewakili jutaan perempuan dengan pengalaman serupa tapi dengan reaksi yang berbeda – beda.
Tentu, kisah keduanya menghadirkan pengalaman pribadi yang berbeda bagi saya yang hanya melihat dari luar. Darling, menyajikan detail alur cerita kekerasan dalam rumah tangga dan pengembangan karakter tokoh di dalamnya. Terutama karakter Badru, dari seorang perempuan yang naif dan polos, menjadi perempuan yang berani mengambil keputusan atas hidupnya sendiri di penghujung cerita. Badru berhasil memetik nilai atau value baru dari pengalaman kekerasan yang dialami sebagai langkah awal memulai hidup baru.
Sementara, mengikuti peristiwa KDRT yang dialami Lesti, kita disuguhkan dengan ragam berita sensasional dengan bumbu (kadang provokatif) yang diulang untuk mengundang click bait, karena ia seorang artis. Saya atau sebagian besar masyarakat, tidak mengenal Lesti, pun tidak merasai pengalaman kekerasan yang dialaminya, bagaimana pengalaman itu mempengaruhi dan membentuk kediriannya. Namun, yang layak diapresiasi dari keduanya, adalah keberanian berbicara dan bertindak terhadap kekerasan yang dialami. Terlepas dari keputusan Lesti yang cukup mengejutkan dengan mencabut laporan KDRT, sehari pasca Riski Billar dinyatakan sebagai tersangka. Proses pergulatan Lesti mungkin sama dengan Badru dalam film Darling yang berkali – kali berubah pikiran antara berpisah, melaporkan suami ke kepolisian atau merubah peringai suami menjadi berhenti melakukan kekerasan. Di sinilah titik krusialnya, bahwa tidak pernah mudah bagi korban lepas dari relasi yang toxic (beracun).
Namun, Kehadiran perempuan berbicara dan bertindak tetaplah penting, supaya bisa menjadi pemicu bagi perempuan korban lainnya untuk turut melawan. Bagi sebagian masyarakat, seharusnya bisa mendorong kesadaran bahwa kekerasan, meski terjadi di ruang privat, tetaplah sebuah kekerasan yang patut dibawa ke ranah hukum. Indonesia sendiri sudah memiliki payung hukum yang melindungi korban KDRT, yaitu UU No. 23 Tahun 2004
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan kekerasan yang terjadi di rumah, yang dianggap sebagai ranah privat atau pribadi. Rumah, dikenal sebagai tempat peristirahat saat lelah menerpa. Tempat kita bersantai, melepas penat setelah bekerja atau bersekolah sepanjang hari. Hanya di rumah, kita bisa berekspresi leluasa tanpa perlu berbasa – basi atau berpura – pura. Tak heran, bila rumah dianggap sebagai tempat paling nyaman dan aman, penuh belaian kasing sayang, tempat kerja perawatan dilakukan. Hal ini pula yang melatar belakangi sikap denial (menyangkal) masyarakat dengan adanya kekerasan di dalam rumah tangga. Tak jarang, masyarakat lebih sering abai bila terjadi KDRT pada tetangga, atau teman dekat yang dikenalnya, atas nama privasi. Hal ini menimbulkan KDRT semakin parah, bahkan berujung pada kematian.
Badru dalam film Darlings misalnya, hampir tiap hari mengalami kekerasan, namun tak ada satupun tetangga yang bergerak menolong, meski mendengar atau menyaksikan. Hingga pada suatu saat, seorang teman, Zulfi, melaporkan kejadian itu ke kepolisian secara diam – diam. Di akhir cerita, seorang tetangga (pedagang daging di pasar) akhirnya turut membantu. Pedagang pasar itu, Zulfi dan ibunya, adalah supportive system (sistem sosial pendukung) yang dimiliki Badru. Meski harus berkali – kali kecewa dengan sikap Badru yang plin plan dan tak kunjung berpisah dari Hamza, suaminya.
Keluar dari lingkaran KDRT bukan perkara mudah. Ragam alasan membuat perempuan korban bertahan dalam biduk rumah tangga yang sarat kekerasan. Ragam alasan itu diantaranya (1) Pehamahan bahwa tindakan kekerasan yang dialami merupakan sesuatu yang wajar dan bagian dari proses pendidikan. Suami yang ditempatkan oleh masyarakat sebagai kepala keluarga kerap kali dianggap sah untuk mengatur anggota keluarga, bahkan bila menggunakan kekerasan; (2) Harapan bahwa perilaku suami akan berubah. Ini adalah ilusi yang dialami Badru atau sebagian netizen yang mendukung Billar tetap berumah tangga dengan Lesti. Tak jarang, pelaku selalu meminta maaf setelah melakukan kekerasan, namun mengulangi perbuatannya lagi kemudian; (3) Ketergantungan ekonomi. Perempuan, yang memiliki ekonomi mandiri lebih punya posisi tawar di hadapan suami untuk punya hak dan tanggung jawab yang sama di rumah tangga; (4) Demi anak. Alasan ini kerap membuat perempuan korban mengalah dan selalu ditempatkan sebagai ibu yang baik, yaitu selalu berkorban hingga hilang jati diri. Padahal, ibu yang baik pun harus punya kepribadian yang kuat, sehat secara fisik dan mental atau punya kesejahteraan sosial sebagaimana manusia; (5) Rasa lemah, tidak percaya diri dan ketiadaan dukungan teman atau keluarga. Tak jarang, perempuan korban kekerasan justru dipersalahkan atas kekerasan yang menimpanya.
Pengalaman kekerasan dan ragam tantangan yang meliputinya mendorong reaksi yang berbeda dari perempuan korban KDRT. Sebagian masih memilih diam karena takut, merasa lemah tak berdaya, sebagian lainnya sedang mengumpulkan keberanian untuk keluar dari jerat kekerasan, sebagian lagi telah memulai hidup baru setelah menjalani proses tak mudah. Buat kamu yang masih bergulat dan mencari titik terang bernama keberanian, jangan menyerah. Dalam lorong gelap itu, percayalah selalu ada terang setelahnya.
Oleh: Dian Septi