http://www.druma.co/wp-content/uploads/2017/10/hands-painting-helping-hands-painting-suzy-norris-pictures.jpg
“Kamu yang pakai ikat kepala merah sini, naik ke mobil komando”, sontak aku menoleh ke belakangku seperti orang bingung. “Sini kamu, iya kamu” teriaknya ke arahku. Aku sangat kaget, bingung, dan aku berkata padanya “aku gak bisa orasi”, serentak kawan-kawanku bertepuk tangan kearahku dan mereka berteriak “maju, maju”, serta merta disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah. Dari peserta aksi pada saat itu maklum mereka banyak yang *mengenalku* karena kebanyakan dari mereka bekerja di pabrik tempat aku bekerja. Aku telah berada di atas mobil komando sambil memegang mic yang diberikan oleh penanggung jawab mobil komando, aku bingung kedua kakiku bergetar hebat, detak jantung bekerja sangat cepat, keringat dingin mulai bercucuran, grogi tingkat dewa ….hahahaha mungkin pada saat itu aku sangat demam mobil komando, kalau tidak salah, aku berorasi kurang dari 5 menit. Itulah pengalaman pertama kali aku orasi.
“Aku sangat terkenal di pabrik tempat aku bekerja “ owh iya nama ku Kiky, mojang Bandung, inilah tempat pertama kali aku merantau, Tangerang, Aku bekerja di pabrik pembuat sepatu yang rata – rata pekerjanya adalah buruh perempuan. Aku pertama kali masuk bekerja pada tahun 1997, aku ditempatkan dibagian staf HRD. Kantor tempat aku bekerja berada persis dekat kantor security. Apalagi kalau jam bel pulang, aku selalu berdiri tepat di gerbang pabrik sambil mengawasi security yang sedang melakukan cek body. Dan apabila ditemukan ada buruh yang membawa barang milik pabrik maka aku tindak tegas, sanksi yang diberikan berupa PHK, sampai ditindak ke pihak yang berwajib (polisi). Aku sangat tegas kepada seluruh yang melanggar aturan perusahaan. Sehingga, pihak perusahaan menunjukku sebagai ketua Serikat Pekerja, selama aku menjabat sebagai ketua Serikat Pekerja, aku diberikan fasilitas mobil serta uang tambahan yang nominalnya 3 kali lipat dari upah yang aku terima, sehingga gaya hidupku mewah, layaknya seorang manajer sebuah perusahaan.
Suatu hari aku sedang melakukan genba (audit) bersama seluruh supervisi dan manajemen pabrik tersebut karena buyer pabrik akan berkunjung. Aku melihat seorang operator, kutaksir usianya sekitar 35 tahun sedang menjahit sambil meneteskan air mata, lalu aku menghampirinya dan bertanya kepadanya dengan nada keras “Kamu kenapa, sedang sakit kah?” dia menjawab ” nggak bu, saya nggak apa apa”, aku tetap berdiri dan menatapnya dengan tajam, semakin aku tatap, dia semakin menunduk, di sisi lain para supervisor dan manajemen melanjutkan genbanya. Aku terus memperhatikan operator tersebut dan aku merasakan ada beban yang sangat berat yang sedang dirasakannya aku membaca id card yang ditempel disakunya, namanya Lastri, aku bertanya kepadanya sambil merangkulnya “Ada apa dengan ibu? Yu ceritakan bu”, lalu ibu lastri berdiri sambil memelukku, awalnya aku merasa risih karena baju bu Lastri kotor, dan banyak keringat sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap. Dia menangis semakin keras serta dekapannya semakin erat dia bilang kepada ku “orang tua saya meninggal dunia bu”, aku dengan spontan mengucapkan “innalillahi wa Inna ilaihi rojiun” , “lalu kenapa ibu tidak ijin pulang?” dia menjawab “aku sudah meminta ijin untuk pulang, tapi leader saya pak Joko tidak mengizinkannya dan dia bilang kepada saya ibu kerja saja nanti saya (pak joko) mintakan sumbangan kepada seluruh karyawan” mendengar hal tersebut aku sangat marah rasanya sakit sangat sakit harga nyawa keluarga ditukar dengan sumbangan yang nominalnya tidak seberapa. Sangat keterlaluan. Aku lalu berkata kepadanya “Ibu silahkan pulang aku yang bertanggung jawab dengan pekerjaan ibu.” Dengan sangat marah aku bergegas ke office bagian produksi, ketika pintu aku buka, aku melihat di sudut ruangan tersebut ada pak Joko yang sedang duduk di meja kerjanya. Dengan emosi, aku bertanya kepadanya “Maksud pak Joko apa? Tidak mengizinkan bu Lastri untuk pulang, sedangkan orang tua beliau meninggal dunia! Dimana hati nurani bapak?” seisi ruangan tersebut terdiam melihat kearah ku. Lalu pak joko menjawab ini “instruksi dari atasan saya bu”, aku terdiam dan tidak percaya apakah ini perlakuan seorang pimpinan yang selama ini duduk manis di depan komputer tanpa memperhatikan kondisi buruh nya. Ironis sekali. Aku melangkah keluar dari kantor sambil membanting pintu office, meluapkan emosiku. Air mata bu lastri seperti memberikan cahaya petunjuk bagiku yang selama ini masa bodoh dengan kondisi buruh pabrik.
Keesokan harinya, aku kedatangan tamu dari pengurus Serikat Pekerja pusat yang mengatakan kepadaku, bahwa aku sudah dipecat dari ketua Serikat pekerja di pabrik tempat aku bekerja. Aku sangat kaget mendengar berita tersebut aku bertanya dalam hati kecil ku “apakah cara memberhentikan ku sebagai ketua dengan secara lisan saja tanpa ada tulisan rasanya tidak adil”. Tidak lama kemudian, pimpinan HRD memanggilku dan aku diberikan surat mutasi ke bagian staf produksi serta surat pencabutan fasilitas yang selama ini aku terima dari perusahaan . Aku paham ketika aku sudah tidak menjabat menjadi ketua Serikat Pekerja di pabrik, maka fasilitas yang diberikan selama ini pasti dicabut tetapi yang aku tidak pahami kenapa aku dimutasi, aku bertanya kepada pimpinan HRD pada saat itu “Apa alasan bapak melakukan memutasi saya” dan dia menjawab “Ini perintah atasan saya” dan aku semakin yakin bahwa perlakuan ini ada sangkut pautnya dengan pembelaanku terhadap bu Lastri didukung konspirasi yang sangat kental antara pengusaha dengan Serikat Pekerja . Dan dengan lapang dada aku menerima perintah utase tersebut.
***
Ini hari pertama aku masuk ke departemen produksi, tepatnya bulan januari 2013. Hampir semua operator menatap sinis kepadaku, kecuali bu Lastri. Dia sangat ramah kepada ku, bu Lastri adalah salah satu operator senior, sehingga dia sangat dihargai oleh operator lainnya. Pernah pada saat itu aku keliling area produksi, tiba-tiba hampir seluruh operator meneriakkan ” huuuh”, nada ejekan kepada ku, bahkan ada dari sebagian laki-laki memukul alat kerja mereka, sehingga terdengar seperti gendang, aku berteriak dalam hati kecil ku “Maafkan aku kawan yang selama ini yang bersikap tidak peduli terhadap buruh”. Tidak jarang aku masuk ke toilet hanya untuk mengusap air mataku, tetapi dalam hatiku, aku meyakinkan bahwa aku kuat. Aku mencoba sering berkomunikasi dengan bu Lastri, dari mulai bertanya tentang proses produksi kepadanya sampai dengan tentang keluhan operator. Sehingga, satu persatu operator produksi mulai kukenal. Ternyata, pendekatanku kepada bu Lastri berhasil, karena bu Lastri menceritakan kepada kawan-kawan produksi, bahwa aku yang telah membantu dia pada saat orang tuanya meninggal dunia.
Siang itu aku sedang makan di kantin dengan bu Lastri dan tepat di depanku duduk buruh perempuan yang bernama Ani, aku memperhatikannya kenapa kantong baju pada bagian kanan dan kirinya terdapat noda berwarna kecoklatan, karena rasa penasaran aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Ani “Kantong baju kamu kenapa ada noda kecoklatan ya Ani”, Ani menjawab “ya maklum teh aku sedang menyusui anak ku baru 3 bulan, sedangkan di pabrik ini tidak ada area khusus untuk memerah ASI”. Aku sedih mendengar jawaban dari Ani, aku bergurau dan mengatakan perempuan ditindas dan sangat tertindas oleh kapitalis. Aku mulai mendata masalah yang dianggap sangat besar pada pabrik tersebut, setelah kudapatkan ternyata masalah yang menjadi prioritas dari keluhan buruh adalah sistem kerja outsorching. Aku berdiskusi dengan kawan kawan produksi yang mulai mau membuka diri kepadaku dan pada diskusi tersebut ada ide yang luar biasa dari seorang bu Lastri yang mengusulkan “Bagaimana klo kita membentuk Serikat pekerja tandingan yang berjuang untuk kepentingan buruh”. Ide tersebut direspon sangat cepat dengan semangat yang luar biasa dari kawan kawan buruh, tetapi tidak denganku, aku teringat ketika aku menjadi pengurus Serikat Pekerja. Serikat pekerja hanya dijadikan kepentingan individu , aku tidak pernah melakukan rapat koordinasi dengan anggota, aku tidak pernah membuat program perjuangan berbanding terbalik dengan apa yang kulihat hari ini dari semangat kawan-kawan buruh aku terharu bercampur bangga dengan mereka, aku terkejut ketika Ani bertanya kepadaku “Eh mbak gimana setuju ga? Kok bengong!” “Owh iya, iya, aku setuju”, akhirnya kami bersepakat untuk membentuk Serikat Buruh. Dan kami bersepakat untuk bergabung dengan Serikat Buruh yang mengadakan pendidikan rutin kepada anggotanya, karena Serikat Buruh harus memiliki alat kontrol dengan pendidikan kepada seluruh anggota, artinya melibatkan semua anggota dapat mengkontrol kerja kerja dari pengurus Serikat buruh serta memberikan kritik dan saran untuk membangun.
Aku dipilih sebagai ketua Serikat Buruh oleh anggota, pada saat itu anggota yang terdaftar ada 500 orang , dari mulai melakukan pencatatan ke Disnaker, kami dipersulit untuk mendapatkan nota pencatatan, intimidasi dari preman preman bayaran pabrik, dan intervensi dari dalam pabrik yang menyatakan apabila bergabung dengan Serikat buruh yang kami dirikan akan diPHK dan tawaran berupa materi secara individu datang pula kepadaku, dengan tekad yang kuat, akhirnya kami mendapatkan nota pencatatan tersebut. Kemenangan kecil yang sungguh membahagiakan bagi kami khususnya aku, karena aku semakin yakin dengan semangat juang, serta kolektivitas bersama, semua akan didapatkan. Dan kami mulai merancang strategi agar seluruh buruh yang bekerja di pabrik tempat kami bekerja diangkat menjadi karyawan tetap. Bipartit 1,2,dan 3 telah kami jalani, tetapi perusahaan menolak apa yang kami ajukan, sehingga pada saat itu, bulan Oktober 2003, kami berniat melakukan mogok kerja besar besaran dan pada saat itu anggota kami berjumlah 1300 orang. Aku bersama bu Lastri mengakomodir untuk melakukan mogok kerja sampai tuntutan kami dipenuhi. Aku berada di luar pabrik, sementara bu Lastri mengakomodir yang di dalam pabrik. Pagi itu, tepatnya jam 08.00 WIB, aku beserta kawan kawan dari pabrik lain yang ikut bersolidaritas datang ke pabrik menggunakan mobil komando serta konvoi motor dengan menggunakan atribut lengkap. Di depan gerbang pabrik, kami sudah dihadang aparat kepolisian yang berjumlah sekitar 500 personel serta 2 mobil barakuda. Kami berorasi satu persatu dari pimpinan basis Serikat buruh yang bersolidaritas, 30 menit aku menunggu reaksi dari bu Lastri dan kawan kawan yang berada di dalam pabrik, aku khawatir kawan kawan yang di dalam akan mendapatkan intervensi yang dahsyat dari atasannya, aku sangat resah pada saat itu. Tidak lama berselang, HPku bergetar. ternyata ada pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenal ” BURUH BERSATU TAK BISA DI KALAHKAN” Aku terkejut, salah satu kaca gedung ada yang pecah terkena lemparan benda keras dari dalam gedung, ternyata seluruh buruh dalam gedung tersebut keluar sambil meneriakkan ” Hidup Buruh.. Hidup Buruh..” yang dikomando bu Lastri. Polisi pada saat itu pun terkejut, mereka panik. Aku semakin bergairah dengan kawan kawan yang ada di luar gerbang pabrik untuk merangsak masuk ke dalam pabrik, sehingga terjadi dorong mendorong antara buruh dengan aparat kepolisian, dan aku terkena pukulan pada bagian pelipis mata, sehingga mengeluarkan darah, tetapi mataku terus menatap tajam ke arah polisi yang telah memukulku. Dan sampai saat ini aku masih ingat wajah polisi yang telah memukulku.
Akhirnya, sejarah pun tercipta. Seluruh buruh di tempat aku bekerja diangkat menjadi karyawan tetap tanpa terkecuali . Sungguh perjuangan yang sangat indah, yang kami rasakan pada saat itu. Aku sangat meyakini bahwa hanya ” kekuatan massa lah yang dapat merubah keadaan “. Dan saat ini aku aktif di organisasi tingkatan federasi.
30 November 2017
YNR