gambar diambil dari http://www.iop.harvard.edu/fighting-corruption-india
Editorial
Di tengah perjuangan melawan upah murah, yang apesnya bagi buruh garment tekstil DKI, upah sektoralnya naik 0%, alias “dihilangkan”. Di tengah perjuangan mengatasi banjir dan sampai kini masih siaga banjir. Di tengah beragam persoalan buruh dan rakyat, kemelut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berlangsung. KPK sebagai institusi pembrantasan korupsi, terancam dibubarkan. Bila benar itu terjadi, maka lepas lagi salah satu buah dari perjuangan reformasi. Sebagaimana diketahui, setelah kejatuhan presiden Orde Baru, Suharto, terjadi beberapa pembaharuan meski belum menyentuh perubahan mendasar. Beberapa komisi dibentuk untuk melakukan proses reformasi seperti terbentuknya Komnas Perempuan, Komnas HAM dan tentu saja KPK (Komisi Pembrantasan Korupsi).
Kehadiran KPK, mungkin belum cukup untuk membrantas korupsi yang sudah menjadi langgam hidup negeri kita dari struktur atas hingga lapisan akar rumput. Dari korupsi kecil – kecilan sampai sekaliber rekening gendut. Namun, KPK dibutuhkan sebagai institusi untuk menjerat para koruptor (terutama sekelas pejabat Negara) dan bila terus ada desakan dari masyarakat, bukan tak mungkin pemerintah terpaksa tegas membrantas koruptor. Kami sudah belajar banyak dari berbagai persoalan sehari – hari, bahwa pemerintah memang harus terus dipaksa, melalui petisi online hingga pemogokan, untuk melaksanakan kewajibannya
Kami mendukung KPK untuk terus ada dan agar kriminalisasi terhadap pejabat KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad segera dihentikan. Bagi kami, kaum buruh, pernyataan itu tegas karena setiap upaya pembrantasan korupsi tidak bisa diberangus. Itu artinya, pembrantasan korupsi bisa terhenti dan bisa terus menerus menggerogoti hidup kami sehingga upah kami yang kecilpun jadi semakin tak berdaya guna. Korupsi yang dilakukan oleh beberapa pejabat negara, sudah barang tentu merugikan kami karena semestinya kami sebagai bagian dari rakyat bisa menikmati berbagai fasilitas layanan publik yang dianggarkan dari uang negara. Mungkin korupsi tidak tampak di depan mata namun dampaknya berasa dari kemiskinan kami yang makin akut dan sulitnya akses fasilitas layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Wajah-wajah korupsi juga tampil dalam keseharian kami sebagai buruh. Mulai dari pungutan liar buruh transportasi yang lalu lalang bertarung dengan debu dan panas jalanan, hingga pengalaman buruh membayar pemberi kerja supaya mendapatkan pekerjaan, membayar para atasan dalam pabrik hanya sekedar supaya bisa ijin kerja untuk menjenguk keluarga yang sakit, membayar para atasan agar tidak diomeli dan diberi lembur, lembur yang tidak dibayar, serta suap yang meraja lela di instrumen pengadilan hubungan industrial dan mafia perburuhan. Sirkulasi dana korupsi tersebut berputar di keseharian hidup kami, kaum buruh. Dana korupsi itu berlipat – lipat lebih banyak dari upah yang kami terima. Bila boleh berharap, institusi semacam KPK akan lebih baik bila berada di setiap kota atau kecamatan. Sepertinya itu jauh lebih efektif dari pada hukuman mati yang baru saja diputuskan Jokowi yang katanya merakyat itu kepada kurir Narkoba.