“Bahwa negara menjamin kehidupan yang sejahtera lahir dan batin bagi setiap warga negara, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan ibu dan anak.” Begitulah kutipan yang menjadi dasar menimbang Undang-Undang Kesejahteraan ibu dan anak (KIA) yang disahkan pada rapat paripurna pada tanggal 4 Juni 2024 lalu.
UU KIA Tak Menjawab Problem Buruh Ibu di Tempat Kerja
Dalam Undang-Undang KIA, pasal 4 ayat 1 huruf (f) berbunyi setiap ibu berhak mendapat rasa aman dan nyaman serta perlindungan dari segara bentuk kekerasan, diskriminasi, penelantaran, eksploitasi, perlakuan merendahkan derajat dan martabat manusia, serta perlakuan melanggar hukum. Faktanya, pelanggaran hak buruh ibu sering terjadi di tempat kerja yang justru dinormalisasi oleh pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan.
Setiap pengaduan kerap kali dimentahkan melalui proses mediasi yang berujung damai tanpa sanksi berarti, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Lingkar kekerasan serupa pun terus berlangsung, mulai dari sulitnya memperoleh cuti melahirkan, pemutusan kontrak saat buruh perempuan ketahuan hamil hingga kecelakaan di tempat kerja berujung keguguran.
Ketiadaan sanksi yang mengandung efek jera, hanya mengulang lagu lama bobroknya sistem kerja dan penegakan hukum ketenagakerjaan. Alih – alih memastikan tidak adanya pelanggaran dengan memberi efek jera, pemerintah memberi solusi berupa pemberian “bantuan hukum”, sebagaimana tertuang pada pasal 5 ayat 3 UU KIA. Padahal, yang dibutuhkan adalah penegakan hukum ketenagakerjaan yang selama ini cenderung ‘memble’.
Selain itu, UU KIA tidak mengatur secara khusus hak buruh ibu yang bekerja di sektor informal. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9%), dan didominasi oleh perempuan.
Cuti Hamil Melahirkan 6 Bulan Tanpa Kepastian dan Pengawasan
Cuti melahirkan selama 6 bulan dalam UU KIA, bisa menjadi hal baik bila disertai dengan pengawasan supaya bisa terlaksana dengan baik. Sayang, UU KIA tidak mengatur sistem pengawasan yang berarti.
Sebaliknya, UU KIA pasal 9 justru mengatur bahwa ketentuan cuti melahirkan 6 bulan tidak terpisahkan dari UU di bidang ketenagakerjaan. Artinya, bisa dipastikan UU di bidang ketenagakerjaanlah yang akan berlaku di dunia kerja.
Padahal, bila pemerintah memang serius mewujudkan cuti hamil dan melahirkan 6 bulan, tentu akan ada niat baik untuk merubah ketentuan cuti hamil dalam UU di bidang ketenagakerjaan dan menyesuaikannya dengan UU KIA. Pada akhirnya, Undang-Undang KIA yang digadang – gadang berpihak pada buruh ibu, tidak menjawab problematika yang dialami buruh ibu di dunia kerja.