SAMBUTAN SUTRADARA (Joshua Oppenheimer)
Terima kasih kepada Anda semua yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri pemutaran perdana film Senyap (The Look of Silence). Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata betapa saya merasa sangat tersanjung dalam pemutaran yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta ini. Terima kasih saya yang sebesar-besarnya untuk kedua lembaga ini.
Pada kesempatan ini ingin saya sampaikan rasa terima kasih saya kepada awak fiilm Indonesia, dan terutama ko-sutradara Anonim yang telah mengubah karirnya, mengambil risiko keselamatan diri untuk membuat dua film dengan kesadaran bahwa sampai akuntabilitas dan keadilan sejati ditegakkan di Indonesia, ia takkan pernah bisa mengakui Jagal dan Senyap sebagai karyanya. Terima kasih dari lubuk hati saya yang terdalam. Ingin saya sampaikan pula terima kasih saya pada sahabat baik, protagonis film Senyap, seorang yang bermartabat sekaligus lembut, Adi Rukun. Saya sampaikan pula terima kasih pada keluarga Adi, yang sejak sepuluh tahun lalu telah mengilhami saya untuk menjelajahi babak gelap dalam sejarah manusia—yang bayang-bayang gelapnya masih menaungi kita sampai hari ini. Karena kalianlah saya membuat karya ini.
Beberapa tokoh di dalam film mengulang kalimat yang kita dengar lagi dan lagi: masa lalu biarlah berlalu, yang sudah biarlah sudah. Para penyintas mengatakannya dalam trauma dan rasa takut. Para pelaku mengatakannya sebagai ancaman. Masalahnya, tentu saja, masa lalu takkan berlalu selama ancaman masih terus membuat kita terlalu takut untuk mengakui apa yang telah terjadi, atau untuk menyuarakan makna peristiwa di masa lalu itu. Jika saja kita serta merta mengindahkan peringatan, “Yang lalu biarlah berlalu,” tanpa terlebih dahulu mengakui dan menyuarakan makna masa lalu itu, maka kita tunduk pada ketakutan, dan menyerah kepada ancaman para pelaku.
Pemutaran perdana Senyap diadakan secara terbuka untuk umum, diumumkan terbuka, dan diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, sebuah lembaga negara, dan Dewan Kesenian Jakarta, mitra kerja Gubernur Jakarta. Kenyataan bahwa film ini disampaikan kepada Anda lewat lembaga negara membuat pemutaran ini menjadi pemutaran terpenting, baik bagi film Senyap maupun Jagal. Saya merasa bahwa surat cinta kami untuk Indonesia bukan saja telah mencapai alamat tujuannya, tetapi juga dibacakan dengan lantang, oleh negara, kepada Anda, rakyat Indonesia.
Hal ini mungkin adalah sebuah konsekuensi dari angin segar yang bertiup melintasi Indonesia—angin perubahan yang diharapkan membangkitkan partisipasi kehidupan sosial dan politik, mendorong orang-orang Indonesia untuk menuntut esensi demokrasi: bahwa di hadapan hukum, mereka yang paling berkuasa sekalipun berkedudukan setara dengan mereka yang tak punya kuasa apapun.
Film Jagal adalah sebuah uraian tentang ketiadaan unsur dasar demokrasi di Indonesia saat ini, dan mengungkap bahwa ketiadaan unsur tersebut adalah warisan dari pembantaian massal, impunitas, dan rasa takut. Film Jagal menelanjangi kekosongan moral yang tak terhindarkan ketika sebuah luka dibiarkan membusuk selama berpuluh tahun, karena masyarakat luas diintimidasi sehingga membisu dan tak kuasa meminta pertanggungjawaban dari para penguasa.
Film Jagal mendesak kita untuk mempertanyakan bagaimana pembenaran atas pembunuhan massal—kadang perayaan tanpa rasa malu—bisa menjadi sebuah sikap yang secara luas dapat diterima, bagaimana propaganda cuci otak sejak usia dini dapat disamarkan sebagai pendidikan. Film Jagal menuntut introspeksi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, film Jagal mengilhami beberapa anggota kongres untuk menyerukan agar keterlibatan Amerika di dalam pembantaian massal 1965 diakui, dan rincian partisipasi Amerika diungkap kepada publik.
Sebagaimana sering saya katakan, Amerika Serikat, Inggris, dan negara lain yang berperan serta dalam pembantaian massal 1965, tidak akan membangun hubungan yang etis dengan Indonesia sampai mereka mengakui dan meminta maaf atas perannya dalam pembantaian massal itu dan dalam mendukung puluhan tahun rezim Orde Baru yang dibangun sesudahnya.
Senyap menunjukkan bagaimana rajutan kehidupan sosial tercabik-cabik oleh kekerasan di masa lalu. Senyap menununjukkan betapa kehidupan bermasyarakat menjadi mustahil ketika orang saling takut satu sama lain, ketika kehidupan bertetangga terbelah oleh ketakutan dan saling curiga. Senyap menunjukkan apa yang terjadi pada seorang ibu dan keluarganya yang tak bisa menunjukkan rasa dukanya selama setengah abad. Film Senyap menunjukkan bagaimana 50 tahun kesenyapan dan ketakutan itu menggumpal dalam jiwa dan raga manusia. Sepolos gambar yang disajikan Jagal, kita dapat melihat apa yang telah dilakukan oleh pemerintah negara Anda, juga pemerintah negara saya, kepada sesama warga Indonesia—dan apa artinya itu semua bagi kehidupan kita hari ini.
Singkat kata, film Senyap menunjukkan betapa diperlukannya kebenaran, rekonsiliasi, serta penyembuhan. Dan apa yang dilakukan oleh Adi Rukun dengan berani, saya harap, menunjukkan bahwa kesemuanya itu mungkin dilakukan, dan sangat dibutuhkan. Sebagaimana perubahan telah datang di Indonesia, saya berharap film Senyap mengajak Anda untuk berhenti dan mendengar apa yang tidak terlontar dari kebisingan kampanye politik, berita koran, radio, dan televisi. Dengarlah kesenyapan yang terlahir dari rasa takut itu karena kesenyapan itu telah berkumandang terlalu lama. Sekalipun Anda mungkin ingin meneruskan hidup, memalingkan pandangan, dan memikirkan hal lain, ketika Anda meninggalkan gedung pertunjukkan, tanyakan pada diri Anda adakah hal yang bisa Anda lakukan untuk membantu Adi dan Adi-Adi yang lain untuk memecahkan kesenyapan ini.
Dan juga, ingatlah bahwa tak ada sesuatu janji perubahan pun yang akan membuat segala yang telah rusak kembali menjadi utuh. Tak ada yang bisa membangkitkan mereka yang telah mati. Marilah sejenak kita berhenti, mengenali kehidupan yang telah dihancurkan, dan memaksa diri untuk mendengarkan kesenyapan yang menyusulnya.
Terima kasih.
Joshua Oppenheimer