Lami dan beberapa mahasiswa dari KP FMK sedang membuat sandiwara radio
Oleh Lami atau Lamoy Farate
Awal Mengenal dan Belajar Seni
‘’Setiap orang adalah seniman,dimana tempat adalah panggung” , kaos hitam bersablon cat putih yang dipakai buruh pabrik PT GOLDEN CONTINENTAL, dimana dulu aku bekerja sebagai buruh kontrak. Kata itulah yang pertama kali aku baca, kaos hitam di balik punggung kawan pabrik bagian sewing, saat kami dorong dorongan untuk mengantri makan siang. Terpikir olehku apa benar setiap orang adalah seniman? bukankah seniman itu dimiliki penyanyi yang terkenal,aktor yang terkenal, pelukis yang handal. Bagaimana dengan buruh? apa yang bisa dilakukan buruh, selain bekerja menjahit dan mengejar target di pabrik, juga sempitnya waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya sendiri. Adakah kesempatan atau wadah bagi buruh belajar seni untuk menjadi seniman? Paling tidak seniman bagi buruh. Aku tertarik dengan kata-kata itu, lalu aku mencari tahu. Waktu itu tahun 2003, aku sudah bergabung dengan organisasi (FNPBI), menjadi anggota dimana tempat aku bekerja. Pada saat ada pertemuan anggota dan sebelum rapat dimulai, di sela-sela kawan anggota ngobrol tentang masalah pabrik, aku menanyakan soal tulisan yang di kaos itu sama mba As, dia ketua serikat di pabrik, namanya Asmawati. Mba As bilang, kaos itu disablon oleh kawan JAKER ( Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat ) dan nanti aku akan dikenalkan dengan ketuanya JAKER, yang bernama Tejo Priyono. Katanya mas Tejo itu pinter gitar, juga bisa ngajar teater. Jujur aku seneng banget, bagi buruh seperti aku yang kampungan ini, pasti akan penasaran dengan hal yang baru didengarnya.
Waktu itu dulu belum ada sekretariat, kalau ada pertemuan dan rapat anggota, kami menggunakan kontrakan kawan Rohani dan Butet, baru setelah pasca penjualan aset PT ELINE, kawan-kawan patungan menyewa sekretariat di YON AIR, tepatnya di jalan Kapuas. Dulu, aku tinggal bersama kawan Cuty di asrama Luky Star, gang teratai No 38. Dulu aku dibujuk kawan Cuty untuk ikut tinggal di sekre baru dan bantu ikut patungan untuk melunasi sewa sekre baru. Akhirnya aku ikut pindah di sekre baru bersama kawan Cuty, Rohani, Butet, dan organisernya, kawan Agung, mba Mini dan Jumisih.
Saat aku tinggal di sekre baru, waktu itu aku pulang kerja lembur. Seingatku,aku bertemu kawan Tejo di lantai atas, waktu itu rambutnya masih gondrong. Pikirku gaya orang seniman, lalu kami mengobrol dan merencanakan bangun sanggar dan mengumpulkan kawan.
Waktu itu kami mulai kumpul beberapa kawan yaitu Aku, Cuty, Atin, Markonah, Vera, untuk membentuk sanggar dan memberi nama sanggar Kapuas karena kami tinggal di jalan Kapuas dan biar lebih mudah untuk diingat dan aku koordinator sanggar. Namun, sebelum aku bersemangat berkumpul dan membangun sanggar, ada proses penyadaran. Ketika aku menanyakan, kenapa setiap orang dibilang seniman dan dimana tempat adalah panggung aku penasaran dengan jawaban itu, kata mas Tejo, seni itu rasa, biar orang itu hanya mencorat coret tembok, menulis kata di dinding kamar mandi itulah seni, itulah karya, jadi semua orang punya karya dan punya seni. Satu lagi yang membuat aku ingat sampai sekarang, kata mas Tejo, jadi seni itu ketika kamu melihat, mendengar, merasakan lalu kamu bisa letakkan lewat menulis, puisi, menyanyi, melukis,dan teater, itulah yang dinamakan seni.
Aku menangkap bahwa seni itu ungkapan atau menyampaikan dari apa yang dirasakan.
Akhirnya kita sepakati setiap hari Sabtu sepulang kerja setengah hari dan hari Minggu kita latihan. Pelajaran pertama kita diberi tugas untuk buat puisi apa saja,dan waktu itu mas tejo bilang kita belajar seni di sini, jangan berhayal akan menjadi artis terkenal di TV, dan kawan-kawan semua tertawa lebar. Tugas buat puisi diberi waktu seminggu, aku berpikir keras untuk buat puisi pertama kalinya dalam hidupku, lalu hari Senin aku masuk pabrik dan upacara sebelum bekerja. Aku perhatikan, teman-teman yang lain ada yang masih mengantuk dan menguap sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, ada yang menyandarkan tubuhnya di tumpukan baju, dan ada yang berdiri tegap di atas lipatan karton. Aku mencoba mengingatnya sampai aku sepulang kerja mencoba mencorat coret kertas print yang aku ambil di bawah meja komputer dan aku terpikir membuat puisi berjul “UPACARA DI PABRIK”. Jujur aku tidak punya percaya diri, saat aku mengulang ulang membaca hasil coretanku sendiri.
Seperti biasa, Sabtu Minggu kami latihan dan pada saat giliranku membacakan puisi, aku gemeteran,deg degan, juga malu. Tapi aku heran padahal yang aku hadapi kawan-kawan yang setiap hari aku temui, aku takut puisiku tidak bagus dan ahh… pokoknya lagi-lagi tidak percaya diri. Berikut coretan puisiku
UPACARA di PABRIK
Setiap hari Senin mengingatkanku
waktu aku masih sekolah
Tapi upacaraku tidak di tengah lapangan
melainkan di tengah tengah mesin tua
disamping tumpukan baju
diatas lipatan karton
hanya berdiri tegak sempurna
mendengarkan lagu indonesia raya
Kuperhatikan kawan kawan
ada yang acuh
ada yang ngantuk
ada yang bersandar
ada juga yang bercanda
Hanya aku yang merasa buruh belum merdeka
selama kita masih ditindas di negeri sendiri
Semper, 25 Mei 2005
Sampai akhirnya aku selesaikan membaca puisiku seperti aku membaca buku biasa, setelah itu aku dengar tepuk tangan meriah oleh kawan-kawan aku tertawa, dan Mas Tejo memberikan pujian semangat, bagus seperti puisi Widji Tukul, katanya. Lalu aku bertanya siapa widji tukul? Mas Tejo bercerita Widji Tukul seorang penyair bagi buruh yang dihilangkan paksa oleh Orde Baru, karena kata-kata puisinya menceritakan penderitaan rakyat yang tertindas,dan Mas Tejo menyarankan aku untuk membaca puisinya dan mencari kumpulan puisinya, waktu itu aku ke Gramedia untuk mencari buku kumpulan puisi Widji Tukul yang berjudul AKU INGIN JADI PELURU tapi aku tidak menemukanya.
Aku ada semangat belajar seni, walaupun perasaanku diselimuti rasa tidak percaya diri, itu terbukti ketika di Pocis, di sekretariat SBTPI. Mas tejo mengadakan acara satu jam bersama Hary Latief pembacaan puisi, aku memberanikan membaca puisi, tapi bukan puisiku sendiri tapi puisi orang lain, perasaan ini itu, karena begini karena begitu aku ini aku itu,karena itulah proses buruh belajar seni.
Waktu itu mas Tejo sibuk membangun sanggar di Pocis, Lorong 20 dan menyuruh kawan Suroso untuk menggantikanya mengajar latihan kami di sanggar kapuas. mas Roso mengajari kami olah vokal supaya kalau baca puisi suaranya tidak mendem atau tidak tertahan di dalam. Kami mengambil tempat latihan di taman yon air, juga mas Roso membuatkan naskah drama untuk ditampilkan di Tujuhbelasan Agustus di Pocis bersama anak-anak sanggar yang dibangun mas Tejo. Aku lupa judulnya, yang aku ingat aku berperan menjadi anak ke dua dari keluarga miskin yang terjerat rentenir dan bekerja di pabrik. Aku sering kali ketinggalan latihan karena lembur malam, kadang juga kawan nunggu aku pulang lembur biar latihannya maksimal. Sepulang latihan, sampai larut malam dan pulangnya ke sekre, kita sudah ketinggalan angkot, dan biasanya yang sering mengantar pulang adalah kawan Alif, anggota SBTPI, yang sekarang menjadi suamiku dan dia juga sering ikut latihan olah vokal di taman.
Sedikit demi sedikit aku lalui proses itu, yang menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawabku untuk terus belajar seni. Aku mulai belajar menulis dan menyempatkan waktu sempitku untuk menyadari, merasakan, dimana tempat kerjaku, dengan siapa aku bekerja, bersama –sama siapa aku bekerja dan untuk apa aku bekerja. Aku mengeluarkan keringat untuk bekerja, aku mendapatkan upah, mereka mecaciku, dan memaki yang lain, mengurangi hakku mengurangi hak yang lain. Dalam hidupku, aku menulis pusiku dengan judul UPACARA DI PABRIK, SAKIA dan PROSES. Aku dan kawan-kawan juga pernah mementaskan teater di LBH pada tahun 2004, judulnya BURUH BERDEMO.
Pada tanggal 19-06-2006 aku menikah, lalu taggal 12-01-2008 aku melahirkan. Setelah pecahnya PRD, aku lebih sibuk dengan keluarga dan sebagai buruh pabrik, karena sebagai anggota biasa,aku merasa tidak tau apa-apa.
Kembali Aktif Berorganisasi dan Berkesenian di Sanggar Tipar
Aku tidak ingat awal atau akhir sekitar tahun 2011 aku bergabung dengan FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik, sekarang Federasi Buruh Lintas Pabrik). Awalnya aku hanya datang ke sekre waktu sepulang kerja, lalu aku ditawarin kawan Dian mengisi formulir untuk menjadi kru dan penyiar marsinah FM. Aku masih pertimbangkan, karena waktu itu kerjaku lembur terus dan tempat tinggalku jauh. Aku sempatkan datang lagi ke sekre sepulang kerja jam 6 sore. Lagi-lagi kawan Dian tak bosan bosanya mengajakku, dia menawari aku lagi untuk membacakan novel, langsung aku mengiyakan. Waktu itu mau menunjukan pukul 7 malam, kawan Dian mengajak aku memasuki ruang studio, lalu menyuruhku duduk di kursi dan memberikan aku buku novel, karya Pramoedya Ananta toer, yang berjudul BUMI MANUSIA. Aku diberi tahu untuk melanjutkan episode yang lalu, dan jangan cepat-cepat membacanya. Lalu aku duduk di kursi dan di depan mulutku ada pengeras suara, dengan deg-degan aku mencoba membacakan novel dengan alunan sesukaku. Itulah pengalaman pertamaku menjadi penyiar radio.
Aku hanya kadang-kadang membacakan novel di rubrik layar, yang lebih sering kawan Dian. Tapi lama-lama aku senang, aku harus melantunkan kata-kata yang berbeda sesuai karakter dalam novel, seperti suara kuda, nyai Onto Soroh, Minke dan Annelis yang manja,dan selebihnya itu aku lebih suka isi ceritanya dalam novel, yang mendorongku ingin banyak membaca karyanya.
Aku ingin lebih banyak belajar di FBLP dan telibat di dalamnya,walaupun tidak sepenuhnya karena waktuku sebagai buruh paprik. Baru setelah diPHK, aku lebih sering di sekre FBLP dan banyak belajar, aku menetapkan waktu sebagai penyiar radio Marsinah FM di rubrik layar setiap hari Rabu dan Sabtu,dengan membacakan novel yang bejudul GADIS PANTAI, karya Pramoedya Ananta Toer.
Aku masih ingat saat aku lagi duduk di meja makan, kawan Dian keluar dari pintu Federasi sambil membawa buku dan bilang ’’Lami aku pinjamin buku, isinya bagus tentang sejarah coba kamu baca.” Lalu buku itu aku pegang aku baca sampulnya berjudul ARUS BALIK, buku itu sangat tebal, aku hanya punya kesempatan membaca saat aku di PHK. Dari situlah aku mulai suka membaca, banyak hal baru dan kesenangan baru saat meluangkan waktu baca buku.
Akhirnya aktifitasku sebagai penyiar radio dan baca buku aku nikmati. Hingga pada suatu hari aku, Atin,Nana, Dinov lagi kumpul di meja makan merencanakan bentuk sanggar, tapi sebelumnya itu,aku dan nana pernah mementaskan teater di HARI BUMI yang bejudul “Uri Uri, juga bersama kawan Dinov duet puisi di bundaran HI memperingati kematian Marsinah..”…di 20 kota kita menyalakan Obor Marsinah, di kota Batang, Semarang dan Surabaya..”, juga kami pentaskan bebagai puisi dan teater, dan dari meja makan itulah kawan Atin mengusulkan nama sangar Tipar, lalu kawan Dinov menyingkatkan, “oh ya Tipar.. Titipan Pesan Rakyat.
Banyak kesulitan juga banyak kesenangan ketika mulai membangun sanggar, kesulitanya mengajak kawan untuk begabung dan kumpul karena kita tahu kawan-kawan kebanyakan buruh pabrik yang sering lembur malam. Kesenanganya adalah saat latihan keluar suara, suara lucu dari mulut kita ketika latihan olah vokal. Kita belajar eksplorasi, menulis, dan sekarang anggota sanggar Tipar banyak yang mementasan seni monolog dan juga menari.