Jakarta – Pada Selasa, 13 Oktober 2015, Kementerian Ketenagakerjaan menyelenggarakan Dialog Sosial yang mengundang perwakilan dari berbagai serikat buruh, tentang akan diterbitkannya RPP Pengupahan, besok, Kamis 15 Oktober 2015. Berdasarkan dialog sosial tersebut, terdapat beberapa poin yang bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Secara substansi, RPP pengupahan merupakan alat untuk melegalkan kenaikan upah rata-rata di bawah 10%, tidak lebih. Karenanya diaturlah formula penetapan kenaikan upah dengan rumusan KHL + (inflasi + pertumbuhan ekonomi) = Upah Minimum
2. Penetapan kenaikan upah tetap 1 (satu) tahun sekali, namun peninjauan kenaikan KHL dilakukan 5 (lima) tahun sekali. Artinya, pun jika tiap tahun upah naik, kenaikan tersebut hanya secara nominal saja, yang prosentase kenaikannya tidak lebih dari 10%. Namun, secara kualitas, upah sebenarnya tidak mengalami kenaikan, karena kualitas KHL tidak berubah selama 5 tahun, padahal harga barang dan kualitas barang tetap naik tiap tahunnya. Ini artinya sama saja, upah buruh mengalami defisit selama 5 tahun
3. RPP pengupahan ini didorong dalam rangka untuk menyelamatkan krisis Kapitalisme, dan masuk dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi JK jilid IV. Hal ini menurut pemerintah, untuk menjaga kestabilan invenstasi dan dunia usaha yang sedang lesu (krisis). Bagi kaum buruh, kebijakan ini merupakan bagian kebijakan ekonomi neoliberal, yang selalu melindungi kepentingan kaum pemodal, dibanding kaum buruh.
4. Hampir semua serikat, federasi dan konfederasi yang hadir (75 orang) telah menyatakan sikap menolak RPP pengupahan ini. Namun, menteri ketenagakerjaan menegaskan bahwa forum dialog sosial ini tidak bisa mengambil keputusan apapun. Artinya, kemungkinan besar, pada hari Kamis, 15 Oktober 2015, RPP pengupahan akan tetap disahkan , mengingat desakan dan tekanan dari kelas pemodal yang cukup tinggi pada pemerintah yang memang pro pemodal. (mic)