Oleh Abenk Hunter
Begini, cerita pengalamanku di Aksi Tolak PP Tentang Pengupahan pada Jumat lalu, 30 Oktober 2015…
Sekitar jam 17.00 WIB, waktu itu habis menyanyikan lagu Indonesia Raya, penurunan bendera sang Merah Putih. Pasukan BAPOR (Barisan Pelopor) yang terdiri dari Garda Metal, Brigade SPSI, GODAM dan Gerigi, yang berada di depan Istana sebelah kiri, aku tarik untuk melingkar ke massa aksi. Karena aku melihat pasukan polisi yang siap dengan tamengnya sudah siap tempur.
Tapi sebelum itu, aku melihat pimpinan FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik), Jumisih dan pimpinan FBTPI (Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia), Ilhamsyah atau kerap dipanggil Boing, sepertinya menjadi target intel. Ini karena mereka ketika berorasi dishoot kamera. Dengan sigap, tanpa ba bi bu, aku mengambil dua orang GODAM untuk membackup kedua pimpinan tersebut. Sementara, tiga orang GODAM sebagai ring lima, jarak target. Begitu selesai, kulanjutkan tugasku bekerja sama dengan pimpinan BAPOR lainnya untuk memimpin pasukan BAPOR di belakang.
Setelah peringatan semprotan water canon, aku instruksikan BAPOR tetap tenang. Aku nggak tau itu jam berapa saat itu.
Aku tetap berusaha menenangkan BAPOR untuk melindungi massa aksi. Tembakan water canon atas dan tengah masih tetap kondusif. Tetapi begitu tembakan water canon ke bawah, mulailah panik semua, karen serangan water canon mengarah ke kepala dan badan BAPOR. Sampai kepalaku terbentur kepala kawan GODAM. Dan seketika itu juga BAPOR terdorong ke massa aksi. Itu karena saking kencangnya air dari water canon mengenai punggung BAPOR.
“Tetap solid tetap satu komando, ayo nyanyikan pasukan rakyat merdeka.teriakku…“
“Rapatkan border…”
Di waktu bersamaan, bendera yang di pegang garmet dan brigade robek akibat serangan water canon.
“Aku bilang, turunkan saja bang…“
Di sebelah kiri ada GODAM yang emosi, berteriak “Ini serang pantat saja” dengan matanya yang merah.
Langsung kuhampiri dia, kutampar dia. “Diam kau, jangan sampai terprovokasi, lihat massa mu…” Kataku,
Tak lama, di sebelah kiri, makin longgar karena massa terdorong, BAPOR maju. Aku cek, di situ ada mokom truk yang gede dan yang kecil. Bersama itu ku toleh ke kiri, polisi teriak hadap kiri.
“Wah ini pasti mau menghimpit massa dari kiri…” Batinku
Pasukan Garmet yang memegang bendera tadi langsung berdiri di belakang BAPOR yang memborder massa di depan polisi yang mau menghimpit. Mereka bentangkan merah putih yang robek itu.
“Fokus bang, jangan terlalu maju, tetap di belakang BAPOR dan satu komando” Kata ku
Begitu aku toleh ke belakang, di belakang tameng kelihatan moncong senapan gas air mata. “Sueeee..” kataku..
Dengan sigap, kuambil pasta gigi yang masih utuh, kubagikan ke BAPOR, memutar sampai habis dan kuingatkan, agar bersiap siap kena tembakan. Pasta gigipun tinggal sedikit, kuambil dan kuoleskan di bawah mataku kanan kiri.
Sambil berjalan, komandan polisi berteriak “1 2…tembaaaak…”
“Door. . Door…Door.. Door..“
Aku lihat massa panik pada lari…
“Bapooooor satu komandoooo”
“Tenangkan massa aksi…” teriakku.
“Door..” tepat di sampingku, peluru jatuh sebesar baterai ABC yang tanggung. Aku lihat, keluar asap dan dua detik kemudian “taaar” meletus dan asap berhamburan…
Ditambah tembakan belakang beruntun…
“Bapoooor munduuur teratur sisir massa…” teriakku.
Tapi di situ aku melihat hanya GODAM. Mana BAPOR lain. Kulihat, situasi sudah aman, massa sudah mundur teratur dan aku pun berjalan dengan jantung berdetak kencang,
“mati aku..mati aku” batinku..
Kuoles mata dengan slayer yang basah, karena gas air mata mengenai mataku. Sesampai taman, aku melihat perempuan berkaos merah bertulis kan Marsinah. Pingsan dia. Kutengok ke kanan dan kiri, nggak ada orang, bingung. Aku lari mengejar Garmet, kutarik dia untuk meminta bantuan. Lalu kami angkat perempuan itu. Sampai melewati taman, kulihat motor jatuh di sebelah mobil repoter tv.
“Woooy bubar, anjiiiiing…” Teriak polisi yang berkaos biru.
Sambil menendang punggungku. Langsung kutoleh, “Sabar bos..”
Suara – suara polisi berseliweran di telingaku.
“Lihat tuh…“
“Mau bantuin nggak…?”
“Eee, malah kabur dia…”
Lalu kami angkat lagi perempuan itu sampai trotoar depan, disitu kulihat ada salah seorang kawan BAMBU. Lalu akupun meletakkan perempuan itu dan meminta bantuannya mengurus perempuan tersebut.
Di sisi lain, komandan BAMBU (Barisan Maju Bambu) lari. “Lanang balik, kataku..“
“Itu bu Jumisih lagi di mokom..“ teriak Lanang
“Sudah ada timnya, balikkk Lanang, jangan panik…“
Lanang tetap berlari mendekati mokom FBTPI. Aku tetap menyisir massa agar mundur, jangan melawan.
Sesampai di halte busway, polisi terlihat aman. Kucolek salah seorang pasukan GODAM, Hafiz. “Cek depan cepaaaat…” kataku.
Berapa menit kemudian, Hafiz kembali dan melaporkan bahwa mokom kami, hancur dan nggak ada orang.
“Bagaimana dengan pimpinan yang jadi target?”
“Aman ndan”, kata hafiz
“Alhamdulillah” Jawabku lega
Aku pun terus berjalan sambil menyisir massa. Sampai di jembatan penyeberangan ada gerombolan GODAM, GARMET dan Oncom, Boing, dll. Mereka sedang melakukan negosiasi.
Kudengar, Azmir, Manulang, Dian Septi dan yang lain tertangkap. Lemas badanku. Kupikir aman, ternyata ada yang tertangkap. Ketika aku mau mengecek, ditahan intel dan Oncom. Ditambah, Sahrul dari GODAM sedang dirawat di RS Cipto. Pingsan karena melindungi Jumisih. Kukeluarkan HP ku dan ku cari info. Aku suruh dua orang GODAM untuk menjemput. Sesampainya di IRTI, aku beristirahat dan cek kroscek anggota pimpinan dan GODAM.
Demikianlah.