Berselang bulan, buruh perempuan oasal Jakarta bernama Septia Dwi Pertiwi dikriminalisasi oleh PT. Lima Sekawan (HiveFive) karena menulis cuitan yang menceritakan situasi kerja yang buruk, gaji di bawah UMK, wajib siaga 24 jam, tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan, dan hak yang semestinya diberikan perusahaan kepada tenaga kerja.Septia bersama teman-temannya mengadukan kondisi dan situasi kerja di PT. Lima Sekawan ke Disnaker Jakarta Selatan, dan perusahaan hanya diminta untuk memperbaiki kekurangan yang dilaporkan.
Tidak berdaya di hadapan penguasa, Septia merespon cuitan di media sosial Twitter dan menjelaskan bagaimana situasi kerja yang sebenarnya mereka alami. Influencer Jhon LBF yang merupakan pemilik perusahaan menyerangnya dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui UU ITE. Septia ditahan dengan tragis. Dirinya bahkan tidak mengetahui jika pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2024 adalah penahanan. Ia dibawa ke Kejari Rutan Bambu dan ditahan tanpa pemberitahuan dan persiapan apapun. Termasuk sekadar baju ganti atau perlengkapan mandi sebelum dikurung di balik jeruji besi.
Lawan tidak seimbang menghadirkan proses persidangan alot, dramatis, dan penuh sandiwara. Citra baik budi dan dermawan seorang bos bernama Jhon LBF luntur seketika saksi-saksi dihadirkan untuk memberikan keterangan. Seluruh cuitan yang dibuat oleh Septia tidak terbantahkan. Buruh harus siaga 24 jam guna merespons notifikasi dari klien. Situasi kerja ini dipicu oleh motto kerja, fast response, fast action. Karena jika tidak, duet duo bos, yakni Jhon LBF dan Sabar Pardamean L Tobing selaku direktur akan melakukan pemotongan gaji dan pemecatan. Dan hal ini terbukti bukan sekadar ancaman.
Pekerja tidak saja digaji di bawah UMK, mereka juga dilarang melakukan bisnis mandiri di luar perusahaan, tidak diperbolehkan menjalin komunikasi dengan mantan pekerja, dan tidak didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Dalam sidang Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada 11 Desember 2024, Septia sempat dijatuhi tuntutan 1 tahun kurungan, denda Rp. 50.000.000, dan subsider 3 bulan penjara. Akhirnya, Septia diputus bebas dan dinyatakan tidak bersalah pada 22 Desember 2024.
Solidaritas Maya yang Jadi Nyata
Dwi Kurnia Wati dan Septia Dwi Pertiwi adalah dua buruh dari sekian juta buruh perempuan rentan lainnya yang berhasil memenangkan sengketa. Kemenangan ini tidak pernah menjadi hadiah. Karena kebenaran dan keadilan di negeri ini harus direbut dengan perlawanan. Solidaritas merupakan motor perlawanan itu.
Akun-akun gerakan sosial dan media independen di media sosial sepanjang 2024 penuh dengan hingar bingar kasus kriminalisasi yang menjerat buruh perempuan. Poster-poster di dunia maya itu menyerukan dukungan dan mengajak bersolidaritas mengawal sidang. Hakim semakin sadar, persidangan ditonton khalayak banyak dan mereka tidak bisa mengambil sembarang keputusan. Riuhnya perjuangan menghadapi pengusaha yang bergandeng tangan dengan penguasa tidak pernah luput dari aksi solidaritas lintas serikat kerja, organisasi, LSM, NGO, bahkan individu-individu yang meyakini bahwa kemenangan akan diperoleh dengan bersatu dan bergerak bersama-sama.
Di Surabaya, Ibu Dwi, LBH Surabaya, YLBHI, SMHI, Serikat Pekerja Dirgantara Transportasi, TABUR PARI, FSPMI, mahasiswa, menggelar IWD di depan Gedung Kejaksaan Negeri Surabaya menunut keadilan bagi buruh yang rentan dikriminalisasi. Sementara itu di Jakarta, AASB, ASPEK Indonesia, FSBPI, FBK, ICJR, Koalisi Perempuan Indonesia, KBMI, KASBI, KPBI, KSBSI, KSPN, LBH Pers, Marsinah.id, PAKU ITE, PBHI, Resister Indonesia, SGBN, SBSI 92, SINDIKASI, SPN, SPSI, SAFEnet, TURC, WeSpeakUp, Yayasan Kalyanamitra, mahasiswa, serta simpatisan dari berbagai daerah tidak saja melakukan advokasi dan kampanye, tapi juga melautkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pesan keadilan dan kebebasan bagi Septia.
Dari Duo Dwi buruh perempuan, rakyat diberitahu bahwa berani melawan dan bersolidaritas adalah satu-satunya pilihan yang membuat kemenangan menjadi mungkin untuk diteriakan. Tidak peduli seberapa berduit dan berkuasa lawan yang harus dihadapi. Tidak diperkenankan mundur meski harus berhadap-hadapan dengan negara. Kesejahteraan hidup bukan mustahil untuk diimplementasikan dalam waktu tidur dan kerja buruh perempuan.