Sebuah FGD oleh Komite Perempuan Industriall
Menuju Hari Perempuan Internasional, Komite Perempuan Industriall pada Selasa, 7 Maret 2017, menyelenggarakan Diskusi Terbatas atau Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Siapa Peduli Perlindungan Maternitas. FGD ini menghadirkan nara sumber dari 4 konfederasi, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
Muhammad Rusdi, Deputi Presiden KSPBI menyampaikan “Dalam global supply chain, Indonesia hanya berorientasi pada industri hilir (produksi barang). Di Batam misalnya, pemiliknya adalah China dan yang hanya menempatkan negeri Asia Tenggara untuk berlomba menciptakan upah murah tanpa jaminan sosial. Itulah yang dicari pemodal. Buruh mudah direkrut, mudah di PHK tanpa pesangon. Secara realita pemerintah dan pengusaha mendorong industri makin fleksibel. Buruh perempuan yang paling rentan dalam situasi ini, sehingga penting perjuangan buruh perempuan untuk sejahtera. Ini adalah masalah sistem negara bukan hanya masalah sosial. Tentang masalah buruh perempuan, tidak semua lelaki memahami kenapa perempuan butuh cuti haid. Ini tidak mudah. Makanya penting lelaki berupaya memahami. Itu masalah sosial. Tapi solusinya adalah negara yang mesti berpihak pada kaum buruh. Kita hidup di negara yang tak berpihak pada buruh. Dalam konteks gerakan sosial, kebersamaan, sosial dan keadilan adalah segala segalanya.”
Rusdi menambahkan bagi pergerakan penting untuk terus mengkampanyekan isu perempuan, dalam hal ini maternitas
Jumisih, Wakil Ketua Umum KPBI membenarkan adanya eksploitasi buruh perempuan oleh pemodal. “Pengusaha hanya melihat buruh perempuan sebagai alat untuk mendapat keuntungan sehingga ketika buruh perempuan hamil, haid, dianggap hambatan memperoleh keuntungan atau profit. Sementara pengawasan di disnaker tidak bisa menegakkan hukum dengan berbagai alasan. Padahal buruh perempuan susah mengadu.”
Menurut Jumisih, dengan adanya sistem kontrak/outsourcing buruh perempuan takut mengadu, karena bila mengadu selalu ada ancaman putus kontrak. Sistem ini pula yang menyebabkan buruh perempuan sulit beroganisasi. Selain buruh perempuan di manufaktur, buruh perempuan perkebunan kondisinya lebih rentan karena status kerjanya yang tidak jelas. “Buruh perempuan perkebunan lebih rentan karena mereka diajak bekerja oleh suami dan tidak dianggap pekerja. Kalau yang buruh harian lepas juga parah. Hak maternitas, haid, upah dan normativenya tidak terjamin.”
Sementara itu, Faunah dari SPSI menegaskan situasi sebenarnya bisa berubah lebih baik bila ada “will” atau kemauan dari pemerintah. Pemerintah mestinya melihat peran penting perempuan yang melahirkan generasi masa depan. BIla kesehatan reproduksi perempuan tidak terjamin, maka generasi masa depan juga akan terancam kesehatannya/
“ kalau pemerintah tidak mau dukung cuti hamil, haid artinya membunuh bangsanya sendiri.” Kata Faunah di hadapan peserta diskusi FGD yang bertempat di LBH Jakarta.
“Negara kita tidak melihat pentingnya ratifikasi konvensi ILO 183 ttg cuti hamil 14 Minggu penting. harusnya malah 6 bulan cuti, biar bayi sehat ibu sehat. Perempuan sehat melahirkan generasi yang sehat.” Tutupnya
“Pengurus perempuan ada 40 % di KSBSI. kita memperkuat gerakan dengan koalisi dan pendekatan ke pemerintah, termasuk Menkes dan Meneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.” Ucap Rachma Novaria dari KSBSI. Menurutnya komposisi dalam kepengurusan adalah hal penting dalam mengakomodir kepentingan buruh perempuan.
Nova menegaskan, meski pendekatan pada pemerintah adalah penting, KSBSI tidak menunggu pemerintah dalam membela buruh perempuan.
Salah satu peserta diskusi, Ira, menuturkan bentuk dukungan dari organisasinya adalah dengan membentuk komite perempuan dengah harapan masalah buruh perempuan lebih bisa fokus, namun bukan berarti masalah perempuan jadi urusan perempuan saja. Masalah perempuan adalah masalah seluruh pergerakan, masalah negara. “Harapannya, bukan sekali ini saja 4 konfederasi berkumpul untuk berkomitmen soal buruh perempuan”
Herlina, dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) menyampaikan harapan supaya para presiden dari 4 konfederasi hadir sebagai bentuk komitmen. Bagaimana pun presiden konfederasi adalah pengambil keputusan penting di konfederasi. Harapannya bila 4 konfederasi besar sudah punya komitmen terhadap hak buruh perempuan, maka melalui 4 konfederasi inilah bisa mendesak pemerintah. “Semoga 4 konfederasi ini bisa menyatu secara real”
Tentang persatuan, Jumisih menyampaikan tak perlu pesimis. Sebelumnya beberapa konfederasi bersatu dan menggalang pemogokan nasional. Dibutuhkan hati yang lapang untuk berproses bersama menggalang persatuan. Bisa dimulai dari mengenyampingkan eksistensi, ego untuk kepentingan bersama.
Setelah pendiskusian selesai, FGD ditutup dengan penandatanganan komitmen memprioritaskan isu maternitas oleh 4 konfederasi. Said Ikbal (Presiden KSPI), Ilhamsyah (Ketua Umum KPBI), Subiyanto (Sekjen KSPSI) di akhir acara menandatangani komitmen bersama perjuangan maternitas sebagai bentuk komitmen untuk memprioritaskan hak maternitas buruh perempuan.