Cerpen: Khamid Istakhori
Braaaaaaaak!
Sesudah menabrak pintu yang tidak pernah terkunci itu, Sumi merebahkan tubuhnya di atas kasur. Kasur yang teramat tipis itu, menjadi satu-satunya barang berharga yang menutup lantai kontrakannya. Tidak ada lemari baju, perabot, apalagi televisi. Matanya terpejam, meredam sakit yang merajam seluruh sendi. Nafasnya tersengal, beradu dengan bunyi meteran listrik yang berisik, tiiit tiiit tiiit, pertanda pulsa token sudah sangat menipis.
Dunia rasanya gelap, bumi berputar-putar tak beraturan. Menimpa pikirannya yang kalut. Perutnya kosong, sebab sedari pagi memang tak ada yang dimakan. Wati, teman satu line di pabrik sepatu yang biasanya menjajakan makanan dan kue-kue hari ini tidak masuk, anaknya sakit sehingga harus menjaganya. Padahal Wati adalah harapan satu-satunya agar dia bisa berhutang makanan untuk mengganjal perut yang kosong, cukup untuk bertahan sampai jatah makan siang dari pabrik jam 11 siang nanti.
Pikirannya kosong, ia kembali menerawang pada kejadian sejam lalu di ruangan mandor.
Tiba-tiba, Margini, Mandor perempuan yang berbadan kekar itu berteriak memanggilnya. Mandor itu murka ketika mendapatinya duduk di bangku kayu dekat mushola. Niatnya hanya duduk sebentar karena kepalanya pusing, perutnya nyeri seperti diremas paksa.
Belum lima menit ia duduk di sana, tiba-tiba ia dikagetkan dengan teriakan kasar.
“Sumi, sekarang ke ruangan saya!” bentak Margini.
“Saya perhatikan, sekarang kamu malas bekerja. Kerja lambat. Ngeluh mulu. Kalau memang nggak betah keluar saja, ratusan orang antri mau kerja!” omelan panjang Mandor itu menusuk ulu hatinya.
Dengan suara pelan, Sumi mencoba memberikan penjelasan, “Maaf Mbak…. Saya tidak berniat malas…. Hanya….. “
Belum juga ia selesai bicara, Mandor itu menggebrak meja dengan keras.
“Apa? Haid lagi? Sakit lagi? Saya juga haid, tapi gak sakit!” bentaknya sambil melotot.
Bukan sekali ini Margini berlaku kasar. Bulan kemarin, dua bulan sebelumnya, selalu saja dia berlaku kasar ketika dirinya meminta ijin untuk istirahat. Bukan hanya dirinya, puluhan temannya bahkan sudah keluar dari pabrik karena nggak betah. Suryanti, Jumisih, Lilis, Wiwin, dan teman-teman lainnya mengambil pilihan pahit, keluar pabrik. Tanpa pesangon. Tanpa ucapan terima kasih. Hanya caci maki yang menandai kepergian mereka.
Pikirannya kalut.
***
Sebulan lalu, Jumisih juga diperlakukan sama. Jumisih tak bisa kerja. Tamu bulanan itu, membuatnya seperti orang gila. Perutnya seperti diremas, diaduk-aduk, kepalanya muter. Kalau sudah seperti itu, pasti badannya tak bisa bangun lagi dari amben di kontrakannya.
Ketika masuk kerja, Mandor Margini sudah menunggunya di depan mesin. Tanpa ba bi bu, mulutnya sudah langsung nyerocos memakinya.
“Kalau kamu memang gak betah, keluar saja sana!” teriak Margini.
Hampir semua temannya pernah mendapatkan perlakuan kasar. Ada saja omelannya.
“Kenapa harus cuti haid?”
“Perempuan kok manja!”
“Upahmu aku potong, emang kerja sama embahmu?”
Sumpah serapah itu akan diucapkannya berulang-ulang. Pagi itu, Sumi melihat, Jumisih dihukum karena dianggap pemalas. Pekerjaan di linenya numpuk. Seharian dia dipaksa berdiri di depan mesin tanpa diberi pekerjaan. Mandor Margini memang penguasa. Siapa berani melawannya, pasti akan dihajar habis.
Sumi merasakan penderitaan yang sama. Cacian itu seperti menampar mukanya. Seperti disamber geledek saja rasanya. Bekerja dua belas jam tanpa pernah tahu berapa lemburan yang didapatnya. Pulang ke rumah, tak mungkin langsung istirahat. Ngurus suami, mencuci baju, memasak, semua diborongnya sendirian. Sumi menggerutu, enak bener jadi laki-laki.
Pagi-pagi sebelum di berangkat, semua sudah harus beres. Bersih-bersih rumah, menjemur pakaian, menyiapkan kopi buat suaminya.
Suaminya masih tidur ketika Sumi berangkat ke pabrik. Alasannya kerja, ngojek sampai malam. Meskipun tak jelas berapa hasilnya, tak berani ia menggugatnya. Kadang ia berpikir, betapa brengseknya laki-laki.
Sumi mengeluh. Hidupnya serasa dihimpit dua tembok beton yang tebal. Di pabrik, mesin-mesin, target produksi, bentakan mandor, dan wajib nglembur menghimpit keras. Di rumah sama saja. Melayani suami, seperti berhadapan dengan mandor lain. Suaranya cempreng tapi sama menyakitkannya.
Sumi pasrah. Rasanya beban semakin berat saja. Ketua serikat di pabrik, mulutnya juga sama. Tak jelas baginya, itu serikat atau humas pabrik?
“Ibu-ibu, mari kita jaga pabrik ini. Bekerjalah dengan baik. Ingat, pabrik ini periuk nasi kita. Kalau kita kerja rajin, pasti Pak Marno, Bos kita itu akan sayang sama kita. Gak usah bolos-bolos kerja,” kata Badrun pada apel pagi, omongannya mirip Kepala Personalia.
Sumi tahu, kalimat terakhir itu ditujukan pada dirinya. Pernah suatu pagi, Badrun mendatanginya di line produksi. Dia berpesan agar rajin kerja. Gak usah bolos. Maksudnya, tentu saja bukan bolos, tapi cuti haid itu.
Lalu pegawai Disnaker juga sama. Setiap kali datang ke pabrik, pesannya selalu seragam. “Ikuti aturan ya, jangan berbuat yang enggak-enggak,” kata laki-laki berseragam itu dengan garing. Mendengar omongannya, Sumi berpikir undang-undang dan aturan hanya dibuat untuk menguntungkan majikannya. Kalau kamu ngelanggar aturan, ya dipecat. Kalau hakmu dirampas, bersabar.
***
Sumi meradang. Kesabarannya sudah habis. Dia jengkel karena tubuhnya seperti mesin yang dinyalakan tiap pagi. Kepalanya penuh dijejali target, kupingnya disodori ceramah tiap pagi sebelum mulai kerja. Sirene jam kerja sudah seperti penataran saja rasanya. Harus ini, gak boleh itu. Tangan dan kepalanya hanya boleh bekerja, tidak boleh untuk yang lain. Harus dibiasakan, harus dididik, harus… harus..dan hanya harus saja isinya.
Bagi mandornya, selain tangan yang digunakan untuk menjahit dan kepala yang dipakai untuk menghitung produksi, bukan urusan pabrik. “Itu urusan pribadimu. Masak pabrik suruh ngurusi kelaminmu?” bentak Margini ketus
***
Tapi, siang ini kesabarannya sudah habis. Sakit itu sudah sampai pada puncaknya. Mendengar Margini ngomel tanpa jeda, nyerocos berbusa-busa sambil tak henti tangannya menuding-nuding mukanya, itu sudah keterlaluan…. Siang itu, Sumi Marah! Tangannya gemetar, mulutnya terkunci, dan hatinya panas.
“Kesabaranku sudah habis,” batin Sumi bergolak.
Tanpa menunggu Margini selesai memaki-maki, Sumi keluar dari ruangan Mandor. Ia masuk ke WC. Tak lama kemudian, ia keluar lagi sambil memegang pembalut yang merah penuh darah. Sesaat kemudian, di hadapan Mandor Margini, dia berdiri dengan pandangan penuh dendam. Dia banting pembalut itu. Bercak-bercak darah dari pembalut basah itu berhamburan mengenai baju, kertas, gelas, piring, dan mengotori permukaan meja kaca penuh debu itu. Amis.
Tanpa ba bi bu lagi, dia keluar ruangan, membanting pintu.
Berjalan cepat melewati teman-temannya yang bengong kebingungan.
Keluar pabrik, sambil menahan rasa sakit yang sangat. Air matanya tumpah.
Dia tahu, dia pasti dipecat…..
Karawang, 7 Januari 2018