Search
Close this search box.

Mengenal Problem Buruh Perempuan

Menjadi buruh perempuan artinya menghadapi persoalan berlapis yang sudah menua dari berabad- abad sebelumnya, yang juga bagian dari problem semua orang atau problem sosial. Hanya tak banyak yang menyadarinya, baik dari masyarakat dan keluarga atau bahkan buruh perempuan itu sendiri. Akibatnya, tak banyak pula yang menyadari kekhususan problem buruh perempuan. Padahal, problem buruh perempian ini hadir di setiap ruang dan waktu, dari lingkup keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, ekonomi dan tubuh perempuan itu sendiri. Ia sedemikian khusus dan kompleks sehingga tak habis habis upaya mempelajarinya sebagai bagian dari kajian feminisme.

Mari kita mulai mengenal problem – problem buruh perempuan dari lingkup terkecil, yaitu (1) keluarga. Adalah hal wajar dalam masyarakat kita atau keluarga kita bila seorang perempuan sudah sepatutnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pepatah mengatakan tugas perempuan adalah di dapur, sumur dan kasur. Katanya, itulah takdir perempuan. Benar bahwa sudah ada pembukaan ruang publik bagi perempuan tapi tidak pernah meniadakan diskriminasi soal posisi perempuan di dalam rumah tangga. Sehingga, sesibuk apapun perempuan di luar rumah, istana rumah tangga tetap adalah takdir perempuan. Tak ada yang mempersoalkan bila lelaki punya ruang tak terbatas di ruang publik tanpa memikirkan bahwa adalah juga tugasnya memasak makanan untuk keluarga, mencuci, menyapu, mengepel dan sebagainya. Dalam hal ini, ada peran dan penugasan yang dilekatkan pada perempuan dan lelaki yang sedemikian diskriminatif dan nyaris tak boleh dipertanyakan. Ini adalah persoalan. Lalu, siapa yang tak ingat dengan novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, yang berkisah soal kawin paksa yang menimpa Siti Nurbaya di tanah Minang. Sedemikian klasik kisah itu, namun di era modern seperti saat ini terus berlangsung atas nama perbaikan ekonomi keluarga maupun adat. Pun dengan perlakuan diskriminatif terhadap anak lelaki dan perempuan. Sebagai contoh, anak perempuan dibiasakan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, namun tidak pada anak lelaki. Atau ketika ekonomi keluarga menipis maka anak lelaki dikedepankan untuk disekolahkan, sementara anak perempuan buru-buru dikawinkan. Problem lain adalah praktik poligami, pelecehan seksual di dalam rumah, perkosaan oleh suami dan masih banyak lagi.

Keluarga adalah miniatur masyarakat, maka persoalan perempuan yang hadir di dalam keluarga tak lepas dari persoalan di dalam masyarakat. Itulah kenapa persoalan perempuan bukan persoalan yang terpisah dari struktur sosial masyarakat. Mari kita rangkum lagi dalam memori kita bentuk diskriminasi apa saja yang kita rasakan dalam (2) masyarakat sebagai buruh perempuan. Kita, buruh perempuan, bekerja kadang hingga larut malam untuk kejar target. Mana kala malam sudah merambat, bahaya pun mengintip. Bahaya itu bisa berupa pelecehan seksual, perkosaan, perampokan juga pandangan minor dari masyarakat sekitar. Stigma pun dilekatkan, apalagi bila kita berstatus janda. Lengkaplah sudah. Bila kita mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tak jarang masyarakat sekitar tak mau membantu dengan dalih persoalan pribadi. Bahkan kerap dipersalahkan sebagai istri yang tidak baik, maka layak dipukul. Ini adalah persoalan.

Bekerja sebenarnya adalah hak setiap manusia, termasuk perempuan. Namun, buruh perempuan memiliki problem lebih (3) di tempat kerja. Bila perempuan bekerja, ia tidak dipandang sebagai pemberi nafkah utama, tapi sebatas pelengkap atau penambah. Akhirnya, sah bila upah buruh perempuan tidak termasuk tunjangan pasangan. Tak hanya itu. Coba cek di tempat kita bekerja, apakah terdapat Pojok ASI, papan peringatan bebas kekerasan seksual, terjaminnya cuti haid, hamil, melahirkan, dan  keguguran. Apakah perusahaan memandang penting kesehatan reproduksi buruh perempuannya. Atau sudahkah ada fasilitas bus jemputan bila pulang larut untuk meminimalkan ancaman bahaya. Toh, nyatanya pun penangguhan upah lebih rentan menimpa sektor industri padat karya yang banyak dihuni buruh perempuan. Ini adalah persoalan.

Alih- alih memberikan solusi atau jalan keluar bagi buruh perempuan sebagai warga negaranya, Negara justru menjadi aktor dari problem buruh perempuan. Persoalan buruh perempuan (4) di ranah Negara, tampil dalam bentuk kebijakan yang memojokkan perempuan dan menempatkan perempuan sebagai sumber kejahatan. Lihat saja Perda-perda Syariah, UU Pornografi, Perda-perda Miras dan prostitusi, dkk, yang justru mengkriminalkan perempuan. Contoh yang mutakhir adalah saudara-saudara perempuan kita di Aceh. Dalam dunia perburuhan, sejauh ini, belum ada kebiijakan upah yang berperspektif jender. Itu bisa terlihat dari penentuan komponen KHL belum berperspektif jender, juga dalam UU Ketenagakerjaan No.13/ 2013 yang belum cukup memenuhi kebutuhan buruh perempuan.

Problem Buruh Perempuan itu Khusus

Karena problem perempuan adalah khusus, maka buruh perempuan yang adalah bagian dari perempuan juga memiliki kekhususannya. Khusus karena hanya perempuan yang mengalaminya atau mengalaminya lebih banyak dibanding lelaki. Bentuk penindasan buruh perempuan sebagaimana yang dijentrengkan di atas ada dari ranah privat hingga publik.

Problem buruh perempuan ini hadir salah satuya disebabkan oleh budaya patriarki. Sebuah konstruksi budaya masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk nomor dua. Budaya ini melahirkan relasi kuasa oleh lelaki terhadap perempuan dan terus dipertahankan oleh masyarakat berkelas.

Karenanya, bukan hal aneh apabila sistem kapitalisme mempertahankan, memberdayakan budaya patriarki di setiap relung nadinya. Karena sistem kapitalisme sendiri bukan sebuah sistem yang mencintai kesetaraan antar umat manusia, yang artinya masyarakat tak berkelas, tak bersekat, tak ada penindasan satu dengan yang lain. Kapitalisme hidup dari penghisapan atas manusia lain dimana setiap manusia adalah komoditas, termasuk perempuan. Pun tak sudi kapitalisme menanggung beban kerja reproduksi (domestik) yang merawat, memproduksi tenaga kerja baru untuk dirinya.

Bila diandaikan, maka kapitalisme dan patriarki serupa darah dan daging. Tak terpisahkan.

 

 

 

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Dangdut Hits

Dangdut Hits adalah program siaran lagu dangdut terbaru, mengudara tiap hari Sabtu jam 4 sore sampai 6 malam. Lagu dangdut memang lagu rakyat, disenangi banyak

Cerita Kekerasan Seksual di Diskusi Hunian

  Tulisan ini dibacakan di Panggung Buruh Melawan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh FBLP dan Radio Marsinah pada 30 November 2014, di Disnakertrans Jakarta Utara.

Memaknai Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Bangsa Indonesia tengah merayakan peringatan hari kemerdekaan yang ke 76 tahun. Sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dalam pertarungan sebuah bangsa untuk mendirikan Negara Republik yang

Keuntungan Ganda VS Beban Ganda

Oleh Dian Septi Trisnanti  Sri adalah salah satu buruh pabrik sekaligus ibu rumah tangga dengan tiga anak. Bekerja di pabrik sudah menjadi pilihannya semenjak remaja

Ketika Perlawanan Bukan Sekedar Untuk Menang (3)

Oleh Yohana Sudarsono  Baca juga http://dev.marsinah.id/ketika-perlawanan-bukan-sekedar-untuk-menang/ dan http://dev.marsinah.id/ketika-perlawanan-bukan-sekedar-untuk-menang-2/ Melawan Sekolah Internasional Lokal   Sesudah dua tahun belajar tentang hukum ketenagakerjaan, menjadi relawan membantu kampanye kawan-kawan serikat buruh,