Seri Hari Ibu, Hari Kongres Perempuan Indonesia
Untuk merebut pembebasan perempuan, dibutuhkan apa yang disebut pergerakan. Kongres Perempuan Pertama sendiri adalah wujud pergerakan. Jauh sebelumnya, Kartini sudah berseru di awal abad 20, untuk membangun pergerakan. Demikian katanya
“Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari kita bergandeng tangan, dan bekerja bersama, untuk mengubah keadaaan yang tidak tertahankan ini”
Kartini tidak sendirian ketika berbicara tentang ketidakdilan terhadap kaum perempuan pada awal abad 20, ada banyak perempuan-perempuan terlibat didalam perjuangan kesetaraan di Indonesia. Ada Dewi Sartika, yang dengan gigih mendirikan Sekolah Putri di Bandung pada tahun 1904. Menyusul sekolah – sekolah Kartini yang didirikan sesudah tahun 1912 dan berpengaruh besar terhadap generasi nasional dan feminis perempuan.
Organisasi – organisasi perempuan pun mulai bermunculan. Adalah Putri Mardika, organisasi perempuan pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912, berkedudukan di Jakarta. Program Putri Mardika adalah pendidikan bagi perempuan dan mendorong perempuan tampil didepan publik dari perasaan “lemah hati” serta “mengangkat” perempuan pada posisi laki-laki.
Setelah 1912, organisasi perempuan tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan terutama di Jawa dan Minangkabau. Dialah Rohana Kudus seorang tokoh perempuan tersohor pertama yang menjadi editor Soenting Melajoe pada tahun 1912.
Pada tahun 1915 organisasi perempuan Madjoe Kemoelian didirikan di Bandung, menyusul pendirian Aisyiah pada tahun 1971, kemudian pada tahun 1918 anggota perempuan Sarekat Islam mendirikan organisasi Siti Fatimah di Garut dan pada tahun 1920 berdiri Wanodya Oetomo di Yogyakarta. Wanita Tamansiswa didirikan tahun 1922.
Dengan berdirinya organisasi – organisasi perempuan, geliat perjuangan pembebasan perempuan pun bergaung ke nusantara.
Setidaknya ada 8 kondisi yang menjadi tekanan dalam perjuangan mereka pada masa itu, yaitu: pendidikan bagi perempuan, reformasi perkawinan (dihapuskannya perkawinan anak dan poligami), memerangi pelacuran, kesempatan lebih besar bagi perempuan tampil didepan public, pendidikan seks, upah sama untuk pekerjaan yang sama, peningkatan kedudukan ekonomi kaum tani dan pendirian perguruan pendidikan guru bagi perempuan tani.
Seiring dengan momentum pergerakan nasional, organisasi – organisasi perempuan pun terdorong untuk berkontribusi pada kemerdekaan bangsa dan kaumnya (perempuan). Kongres Perempuan Pertama adalah salah satu wujud pergerakan itu.
Tien Sastrowirjo, salah satu aktivis perempuan dalam Kongres Perempuan, menyerukan dengan lantang bahwa perempuan harus membangun pergerakan, bukan hanya berkutat di ranah domestik seperti yang dikatakan kaum kolot.
“Apakah betul kemuliaan bangsa kita, kemasyuran tanah tumpah darah kita itu hanya karena kita perempuan pandai memasak? Dari zaman nenek moyang, kita sudah pandai memasak”
“Kebebasan itu yang harus kita kejar dahulu. Jika kita belum mempunyainya kita belum dapat dinamakan perempuan tandingan mitranya yang sesungguhnya, laki – laki. Kita masih disebut perempuan untuk melayani kemauan dan kesenangan laki – laki saja”
“Permintaan kebebasan dan keleluasaan itu kebutuhan zaman, semangat zaman yang tidak boleh dibuang”
Demikianlah, pergerakan perempuan mesti dibangun untuk mewujudkan kebebasan perempuan dimana perempuan bisa setara dengan lelaki, punya kesempatan yang sama di segala bidang, maka dibutuhkan persatuan antar organisasi. Berdasarkan pemahaman bersama itulah kongres menghasilkan keputusan penting, yaitu didirakannya organisasi federasi, Perikatan Perempoean Indonesia (PPI) yang beranggotakan 20 organisasi perempuan. PPI merupakan organisasi perempuan nasional pertama, dan masih hidup sampai hari ini dengan nama Kowani.
Setelah kongres perempuan pertama berlangsung, pembangunan organisasi perempuan makin massif, salah satunya adalah Isteri Sedar, lahir pada tahun 1930 merupakan organisasi perempuan yang radikal dan salah satu seruan mereka adalah mendorong perempuan untuk bergabung dalam perjuangan kemerdekaan.
Serikat buruh perempuan pertama didirikan pada tahun 1940 dengan nama Pekerja Perempuan Indonesia, dimana anggotanya terdiri dari buruh yang bekerja di pemerintahan, guru, perawat dan perempuan yang bekerja bebas.
Hanya, di masa penjajahan Jepang, semua organisasi dilarang kecuali organisasi bentukan Jepang. Di masa ini, banyak pergerakan meredup dan memilih bergerilya di bawah tanah. Namun, semangat merebut kemerdekaan tidak redup, hingga pada akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Kaum perempuan, tidak sedikit berkontribusi dalam terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Demikianlah, gerakan perempuan membangun kekuatannya dan berkontribusi untuk pembebasan bangsa serta kaumnya. Hingga kini, gerakan perempuan terus bergeliat menemukan kekuatannya setelah dibungkam oleh Orde Baru selama 32 tahun. Gerwani yang sebelumnya bernama Gerwis, direndahkan martabatnya, dengan fitnah murahan pada tahun 1965, berujung pada praktek perkosaan dan pembubaran organisasi perempuan. Bahkan, anak cucu mereka tak luput dari stigma yang sengaja dihidupkan puluhan tahun. Gerwani, yang mendirikan seribu lebih TK Melati, yang turut mengangkat senjata melawan penjajahan diberangus begitu saja. Berujung pada pembungkaman gerakan perempuan keseluruhan, dikembalikan perannya sebagai IBU di dalam rumah, tanpa diperbolehkan bersuara di ruang publik.
Segala yang telah diperjuangkan Kartini, Dewi Sartika dan kaum perempuan sebelumnya, dipukul balik sebatas di ruang sempit biduk rumah tangga. Sebuah hal, yang ditentang oleh gerakan perempuan sebelumnya. Tak heran, Hari IBU yang merupakan tonggak sejarah gerakan perempuan, dikecilkan maknanya hanya sebatas perayaan atas kerja rumah tangga kaum perempuan.