Sebagian besar manusia tentu menginginkan hidup dengan sejahtera dalam makna yang utuh. Sebuah hdup dalam satu keluarga, penuh kasih sayang dan kehangatan, dengan perut yang kenyang, penuh canda tawa tanpa khawatir tentang masa depan. Tentang harga sewa kontrakan yang terus merangkak naik setiap tahun sehingga harus menguras emosi tiap bertemu dengan induk semang. Menundukkan kepala sekedar mengharap belas kasihan agar pembayaran sewa kontrakan bisa ditunda barang sebulan lalu menyusul bulan – bulan yang lain. Atau, tentang harga susu yang tak bisa ditunda karena si kecil akan menangis kelaparan tiap hari. Atau, betapa sedih menatap mata nanar anak kita yang mengiba meminta uang biaya sekolah mulai dari sepatu, buku, perlalatan tulis hingga seragam sekolah. Betapa problema ragam kebutuhan itu bertalu tanpa henti bagai teror bergulir seiring waktu yang sialnya tak pernah bergerak sesuai yang kita maui.
Berapa juta jiwa manusia yang menghabiskan hari hingga lupa waktu supaya bisa bertahan hidup, bertarung tanpa lelah demi diri sendiri dan keluarga. Di antara mereka tanpa lelah mencari kerja demi gaji bulanan yang sebetulnya juga makin tak pasti. Pasalnya, gaji bulanan itu bisa berubah menjadi harian setiap ada hari libur, yang sebenarnya atas kehendak bos juga. Dengan kata lain, gaji bisa dipotong sehari, dua hari atau lebih bila perusahaan tidak sedang berproduksi. Pandemi membuktikan itu, meski mereka yang berstatus kerja tetap pun gaji bulanannya bisa dipotong bila perusahaan diliburkan. Bukankah itu bukan kehendak buruh? Ah, bos sudah seolah menjadi pemilik hidup berhak menentukan segala sesuatu. Setidaknya, itu yang dirasakan Yuli, seorang buruh pabrik garment di sebuah kawasan industri tua di Jakarta Utara.
Mari mengunjungi Yuli. Buruh yang sudah 10 tahun banting tulang di perusahaan yang sama, namun status kerjanya masih kontrak. Teman- temannya menyebut fenomena demikian sebagai “Kontrak Mati” alias “Kontrak Seumur Hidup”. Lalu, Yuli membayangkan dia bakal bekerja di perusahaan itu seumur hidupnya, bulu kuduknya berdiri. Ia merinding. Bagaimana tidak? 10 tahun bekerja membuat derita hidupnya berlipat, air mata terkuras nyaris setiap hari menahan sakit hati dari segala makian dari atasan. 10 tahun ia menerima caci maki, terlebih saat ia menolak pungli atau pungutan liar dari atasannya. Jumlah nominalnya beragam, mulai dari Rp 100,000 per bulan hingga Rp 500.000 per bulan. Bukan tanpa alasan Yuli menolak. Pasalnya, uang sebanyak itu sangat berarti bagi ia dan kedua anaknya.
“Lebih baik saya dicaci maki dari pada harus membayar pungli” ucapnya suatu saat.
Di antara teman- temannya, Yuli termasuk dari sedikit buruh yang berani menolak pungli. Sementara, teman – teman lain memilih membayar pungli dengan harapan kontraknya diperpanjang. Status kerja kontrak, borongan atau harian lepas menjadi alasan kuat bagi teman- temannya untuk mau saja membayar sejumlah uang kepada para atasan. Termasuk, saat bulan lebaran seperti sekarang ini. Setiap hari raya Idul Fitri, para buruh berbondong – bondong membayar pungli, atau membelikan bingkisan pada para atasan.
Di lorong sempit yang gelap, para tikus berlompatan kesana kemari, sementara kucing mengeong mengharap serpihan makanan dari manusia. Yuli sedikit meraih potongan ikan yang dibawanya sepulang kerja. Demikianlah perjalanan Yuli sepulang kerja, menyusuri lorong sempit menuju kontrakan dua petak yang disewanya 10 tahun ini. Sejenak, ia menyalakan lampu yang tak begitu terang dengan atap yang rendah. Ia keluarkan rak beroda berisikan tabung gas 3 kg, ke depan ruang kontrakannya yang sempit. Ia mulai menyalakan kompor gas di rak beroda itu dan mulai memasak. Ia menyebutnya “dapur portable” yang bisa ditarik keluar setiap ia hendak memasak. Hari itu, matari sudah mulai meredupkan terangnya, sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Yuli hanya memasak menu sederhana, sekaleng sarden, sedikit sayur direbus dan telur dadar dibagi tiga, untuk suami, ia dan seorang putrinya. Sementara, anaknya yang bungsu menghabiskan hari – harinya bersama ibundanya yang renta di tanah Jawa. Lebaran kali ini, Yuli tidak pulang, THR yang tak seberapa itu, rencananya sebagian akan dikirimkan ke kampung halaman.
Dalam momen lebaran yang sederhana, Yuli cukup bersyukur bisa menghabiskan lebaran tanpa pungli.