Search
Close this search box.

Buruh Perempuan Melawan Pingitan Kerja

Pingit, budaya yang melarang perempuan aktif di sektor publik, ternyata masih ada hingga zaman modern. Budaya ini kembali muncul di zaman modern dalam bentuk belenggu jam kerja yang mengikat buruh perempuan. Untuk itu, Komite Buruh Perempuan menyerukan untuk “Melawan Pingitan Kerja.”

Seruan itu digaungkan dalam Panggung Ekspresi Buruh Perempun di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta Utara, tepat pada peringatan Hari Kartini, Jumat 21 April 2017. Ada sekitar 50 ribu buruh perempuan bekerja di kawasan industri yang didominasi pabrik garmen tersebut.

Komite Buruh Perempuan yang terdiri dari Federasi Buruh Lintas Pabrik, Federasi Serikat Umum Indonesia, dan Perempuan Mahardhika membacakan surat-surat kartini, puisi, dan monolog bagi buruh-buruh yang pulang kerja di kawasan itu. Pembacaan itu merupakan bagian dari refleksi terhadap kondisi buruh perempuan.

“Banyak kata-kata mutiara tentang keadilan, kemanusiaan, penjajahan. Kartini menyampaikan bahwa perempuan-perempuan yang berani akan menguasai ¼ dari dunia,” kata Ketua FBLP Jumisih.

“Melawan pingitan kerja”.seperti tema yang kita gunakan, komite buruh perempuan ingin mengajak dan membuka kesadaran buruh pabrik garment di KBN untuk mulai bergerak demi kemerdekaan buruh perempuan. “Di antara semangat teman-teman yang ingin terus membangun perjuangan melawan pelecehan seksual di tempat kerja, kontrak dan outsourcing, lembur tidak dibayar, upah murah, dan union busting,” seru Jumisih.

Refleksi itu sekaligus merupakan ajakan pada buruh di KBN Cakung untuk turun dalam peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2017. “Karena hari buruh harinya kita, dan itulah yang akan terus kita peringati setiap tanggal 1 mei,” ajaknya. Selain berefleksi, komite itu juga membagi-bagikan selebaran pada buruh perempuan yang lewat.

Sekira 50 orang berkumpul di bundaran KBN Cakung. Mereka terlihat antusias dan menikmati acara tersebut. Banyak merek-merek internasional diproduksi di kawasan industri Cakung. Namun, masih banyak terjadi pelanggaran Undang-undang Tenaga Kerja seperti jam kerja berlebih tanpa lemburan dan kontrak kerja berkepanjangan.(AW)

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Dilema Sekolah di Masa Pandemi

Sudah 3 bulan lebih anak pertamaku meningalkan kos dan belajar di rumah, karena pandemi. Pihak sekolah mengikuti anjuran pemerintah untuk menjalankan proses belajar mengajar di

Keuntungan Ganda VS Beban Ganda

Oleh Dian Septi Trisnanti  Sri adalah salah satu buruh pabrik sekaligus ibu rumah tangga dengan tiga anak. Bekerja di pabrik sudah menjadi pilihannya semenjak remaja

“Nak, Teman Mama Bukan Penjahat”

Bagus, anakku. Senang membaca ceritamu, kemarin hari. Tentang sekolah, tentang teman-temanmu. Selalu ada kisah di sekitar kita yang bisa jadi kenangan, baik atau buruk. Iya,

Darah Juang Khotimah di Muka Peradilan

“Sudah cukup, bapak Majelis Hakim” Teriak seorang perempuan paruh baya di sampingku. Namanya, Lita Anggraeni, seorang aktivis perempuan yang puluhan tahun memperjuangkan nasib PRT (Pekerja Rumah Tangga)

Menilik arti kemerdekaan dari ilusi Kekerasan Simbolik

Saya memaknai langsung, bahwasannya narsisme pejabat di jalan dalam bentuk sampah visual, hingga lenggak-lenggok mereka dalam balutan baju adat berharga selangit tak lebih dari kekerasan simbolik negara yang terus-menerus mengiritasi. Kekerasan yang  tidak hanya merusak pandangan kita namun juga nurani kita. Bagaimana tidak, setiap perayaan demokrasi, direduksi menjadi ‘coblosan’. Rasanya kita dibuat mati rasa, dan mati nurani karena terus-menerus dibombardir dengan banyaknya laku narsis para calon yang mengaku akan mewakili suara kita di arena pemilihan umum.

Buruh Perempuan Melawan Pingitan Kerja

Pingit, budaya yang melarang perempuan aktif di sektor publik, ternyata masih ada hingga zaman modern. Budaya ini kembali muncul di zaman modern dalam bentuk belenggu