Ratusan sopir angkotberunjuk rasa di depan Balaikota DKI Jakarta, Jakarta,Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin Foto : VIVAnews/Muhamad Solihin
Oleh Atly Serita
Setiap hari ada saja cerita miris dari kehidupan masyarakat kita. Salah satunya, yang kutemui kemarin.
Dari rumah menuju KBN Cakung, seperti biasa aku naik angkot APB depan gang rumahku yang terletak di Walang, Jakarta Utara. Bila naik angkot, aku selalu duduk di depan, di samping pak Supir. Kebetulan penumpangnya sepi dan aku perhatikan wajah bapak sopir penuh dengan beban. Tiba – tiba, dia menarik nafas panjang dan dalam. Lalu keluarlah kata – kata dari bibirnya yang kering
“Sekarang sepi neng, dari subuh bapak baru dapat Rp 60.000,00. Uang segitu buat beli bensin Rp 30.000,00. Apa lagi selama bulan puasa dan libur sekolah anak neng, ya Allah setoran aja nggak kebayar. belum ninggalin anak bini buat buka dan sahur.”
Aku masih mendengarkan keluhannya untuk meringankan beban berat di dadanya.
“Selama bulan puasa, paling tinggi ngasih setoran sama bos cuma Rp 60.000,00. Malu saya neng, untung bosnya ngertiin.”
“Emang setorannya berapa pak?” Tanyaku
“Rp 80.000,00 buat yang punya mobil, setor lapak parkir trayek Rp 20.000 sehari.Misal, dapat uang Rp 100.000,00. Beli bensin aja sehari bisa Rp 90.000,00. Buat setoran buat anak bini, uang segitu dibagi 3 neng.
“Astagfirulloh. Anak sama istri di sini pak?”
“Iya neng, istri kuli nyuci gosok, anak ada 4 neng, yang 3 masih pada sekolah, yang kecil baru umur 4 tahun, tempat tinggal cuma ngontrak kamar sepetak, meski agak besar dibanding lainnya tapi dindingnya triplek dan nggak begitu mahal. Lumayan bisa buat neduh di Jakarta. Bisa dibayangkan kamar sepetak 3×3 meter, dengan penghuni 6 orang dan dengan semua perabotan dan tempat memasak?”
Tanpa terasa air mataku menetes. Terlintas di benakku, kemana hati nurani orang kaya dan pejabat yang gemar korupsi itu. Dimana hati nurani pimpinan – pimpinan negeri ini, yang berkat suara rakyat kecil dan miskin inilah pejabat – pejabat itu bisa duduk enak di parlemen dan pemerintahan, bisa punya kekuasaan.
Sampai kapan rakyat menanggung perbuatan busuk para pimpinan negeri ini, ketika para koruptor justru bisa lolos dengan mudah asal punya uang untuk membeli hukum. Sambil menatap jalan raya dari kaca mobil angkot, pelan namun pasti, kumantapkan hidupku di jalan perjuangan bersama kawan-kawanku. Perjuangan untuk ku, keluargaku, bapak sopir ini, keluarganya dan sesama.