Oleh Mutia
Senin, 21 Maret 2016, bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang perdana terhadap 26 Aktivis yang merupakan buruh, pengabdi bantuan hukum Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan mahasiswa disidangkan. Sidang perdana ini menjadi sorotan berbagai pihak dan juga elemen masyarakat yang ikut hadir memberikan dukungan. Tampak hadir tokoh masyarakat seperti Jaya Suprana dan Bambang Wijayanto. Selain itu, berbagai serikat buruh dan organisasi juga memberikan dukungan dalam sidang ini, seperti Federasi Buruh Lintas Pabrik, Garda Metal, KPBI, FPBI, FBTPI, KASBI,KSPI, FMK, SMI, dll.
Persidangan yang dijadwalkan akan dimulai jam 11.00 mengalami keterlambatan dan baru dimulai pada pukul 12.45. Dalam sidang perdana ini para terdakwa tidak hadir karena beberapa hal yang dianggap fatal dan merupakan cacat hukum prosedural yang luar biasa. Maruli Rajagukguk yang mewakili Tim Kuasa Hukum Buruh dan Rakyat menyampaikan beberapa hal kepada majelis hakim. Ada beberapa hal yang ingin disampaikan pada perkara 344. Hal yang disampaikan bahwa klien dalam perkara ini, buruh, mahasiswa, dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, merupakan orang-orang yang cakap dan taat hukum. Mereka menolak hadir ke persidangan karena di dalam surat panggilan tidak ditemukan dalam perkara apa terdakwa disidangkan yang dalam KUHAP seharusnya surat panggilan harus memuat jenis perkara dan diberitahukan selambat-lambatnya tiga hari sebelum persidangan, jika hal ttersebut tidak dipenuhi maka persidangan harus ditunda.
Tim Advokasi Buruh dan Rakyat juga berpendapat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum merupakan hal yang fatal. Hal ini menggambarkan kemunduran demokrasi dan merupakan bentuk penghakiman demokrasi dan aspirasi rakyat. Tim Kuasa Hukum meminta majelis hakim untuk meninjau kembali perkara ini dengan bijaksana dan berlandaskan keadilan. Selain itu, perihal pemberhentian kasus buruh, tim kuasa hukum bukan meminta menunda tetapi meminta menghentikan perkara ini. Hal ini dikarenakan perkara ini mengalami cacat prosedur yang luar biasa yaitu mulai dari pemanggilan yang tidak patut hingga penulisan nama dalam surat pangilan yang salah. Hal ini menunjukan ketidakseriusan jaksa penuntut umum dalam menangani perkara ini. Dalam hal seperti ini,, hakim seharusnya memiliki kemampuan dan naluri untuk menghentikan perkara.
Dalam sidang ini majelis hakim justru lebih menyoroti terkait kelengkapan surat kuasa penasihat hukum dan surat panggilan JPU yang masih dianggap tidak sesuai. Majelis hakim meminta baik JPU maupun penasihat hukum melakukan perbaikan kedua hal tersebut agar tercipta persidangan yang tertib. Majelis juga meminta agar terdakwa hadir dalam persidangan berikutnya. “Kami memohon agar terdakwa bisa hadir dalam persidangan agar kasus ini bisa terang-benderang dan kita bisa sama-sama mencari kebenaran. Jangan sampai kasus ini terhambat hal prosedural tetapi mengabaikan hhal substansial”, tegas Ketua Majelis Hakim.
Selain itu, salah satu kuasa hukum dalam perkara ini, Bambang Wijayanto mengemukakan bahwa advokat memiliki hak imunitas dalam menjalankan profesi dimana pengacara tidak boleh dikriminalisasi. “Buruh Indonesia telah mengalami berbagai macam masalah, mulai dari upah murah hingga outsourcing, jika saat aksi mereka dikriminalisasi, maka saluran apalagi yang dapat digunakan oleh buruh untuk menyampaikan aspirasinya?”. Bambang Wijayanto juga menegaskan bahwa kasus ini bisa memberikan indikasi justru penegak hukum lah yang ingin menghilangkan bukti dari apa yang telah mereka lakukan saat bentrok dalam aksi menolak PP Pengupahan pada tanggal 30 Oktober.
Tigor Hutapea, yang merupakan salah satu pengacara LBH Jakarta juga mengatakan bahwa penangkapan 23 buruh, 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta, dan 1 mahasiswa, merupakan pembungkaman dari aksi penolakan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Hal ini tentu sangat berbahaya karena dapat memberikan dampak bagi pembungkaman-pembungkaman aktivis lainya yang merupakan bentuk represi dari negara. Cara ini dianggap cukup efektif oleh negara untuk menekan berbagai aspirasi dari rakyat. Banyak masyarakat yang bersolidaritas dalam kasus ini karena memang prosesnya terlalu dipaksakan, semua proses amburadul, mulai dari pelimpahan, penyidikan, surat panggilan dipaksakan yang dilanggar oleh penuntut umum dan penyidik. Sanksi yang diberikan dalam kasus ini juga terlalu mengada-ada dimana seharusnya sanksi terberat dalam suatu unjuk rasa dalam demonstrasi adalah pembubaran oleh pihak kepolisian, bukan dengan dilanjutkan menjadi perkara pidana. “Perkara ini bisa menjadi cara pemerintah untuk terus membungkam aspirasi rakyat”, tegas Tigor.
Sementara di halaman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ratusan aktivis yang terdiri dari berbagai elemen terus mengumandangkan “hidup buruh!”, “hidup buruh melawan ketidakadilan!” . Hal ini menunjukkan bahwa 26 buruh, aktivis, dan mahasiswa yang dikriminalisasi tidak sendiri dan terus akan berjuang menghadapi sidang berikutnya pada hari Senin tanggal 28 Maret 2016 pukul 11.00 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mari kita tunjukkan perlawanan melawan ketidakadilan!