Sulit kiranya menemukan dukungan yang organik dari rakyat untuk mendukung Undang-Undang Cipta Kerja. Tentu maksudnya adalah kesatuan dari rakyat banyak. Bukan rakyat dengan privilege ekonomi maupun politik yang tinggi.
Aturan hukum yang awalnya diwacanakan Joko Widodo sebagai solusi terhadap over-regulasi, saat ini disaksikan publik sebagai dokumen untuk melakukan over-eksploitasi. Baik terhadap manusia maupun alam. Sementara, niatan untuk menyederhanakan regulasi, pupus.
Proses legislasinya-pun karut marut. Menunjukkan tanda bahaya sedari awal. Semua kejar tayang demi membela dengan sedemikian vulgar kepentingan aliansi bisnis-politik.
Penolakan rakyat tak direspon sebagaimana mestinya oleh pemerintah. Represi sana-sini menjadi penanda begitu buruknya isi dari Undang-Undang Cipta Kerja, sehingga tak ada yang bisa disampaikan pemerintah untuk meyakinkan demonstran. Bak pernyataan Menteri Johnny G Plate, “kalau pemerintah bilang hoaks, ya hoaks”. Itulah cerminan kualitas rezim saat ini.
Barangkali, memang ada sebagian kecil orang yang mencoba menunggangi upaya rakyat dalam menyuarakan perlawanan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Asalnya, bisa dari barisan sakit hati terhadap pemerintah, atau bisa juga dari pihak yang memang dipersiapkan untuk mengacaukan penolakan rakyat. Namun, hal itu tak lantas menjadikan penolakan rakyat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja sebagai suatu yang salah.
Sebagai kepala negara, Joko Widodo mestinya tak menjatuhkan martabatnya dengan menutup rapat telinga terhadap penolakan rakyat. Bersembunyi dibalik alasan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai kanal pengajuan keberatan di tengah masifnya penolakan rakyat, tak ubahnya sebagai sikap anti-demokrasi.
Penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi yang memakan waktu, akan memberikan peluang timbulnya dampak-dampak destruktif dari pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja, sehingga dibutuhkan tindak cepat. Tentu, komposisi hakim Mahkamah Konstitusi beserta dinamika yang mengiringi revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada bulan lalu, juga merupakan pertimbangan penting bagi rakyat untuk memilih menempuh kanal ini.
Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja adalah kanal lain yang akan menunjukkan bahwa mandat rakyat tak dikhianati oleh Joko Widodo. Sebagaimana sumpah yang ia ucapkan pada 20 Oktober tahun lalu dan lima tahun sebelumnya, saat pelantikannya sebagai presiden, “memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya”.
Di samping itu, apresiasi setinggi-tingginya patut kita sampaikan kepada unsur serikat pekerja yang menolak terlibat dalam pembahasan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Karena kehadiran serikat pekerja kerap hanya dijadikan alat legitimasi, tak lebih. Sementara kepentingan pekerja, tetap jauh dari isi regulasi.
Jokowi, segera terbitkan Perpu Pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja sekarang juga! Tak ada jalan lain.