Search
Close this search box.

No Work No Pay: Praktik Culas Pengusaha untuk Mengurangi Hak Pekerja

Pernahkah kita sebagai pekerja jatuh sakit? tidak bisa bekerja dikarenakan siklus bulanan yang dialami perempuan (menstruasi)? atau pernahkah sebagai pekerja berhalangan untuk bekerja dikarenakan hal-hal yang tidak diinginkan?

Beberapa tahun terakhir semenjak krisis pandemi resmi dinyatakan selesai oleh pemerintah sampai terjadi resesi global seperti saat ini, pekerja dihadapakan pada kondisi yang terhimpit dan sulit karena kondisi perburuhan yang semakin memburuk, Mulai dari kenaikan upah yang sangat minim bagi pekerja dibeberapa tahun belakangan, munculnya istilah fleksibilitas tenaga kerja (Labour Market Flexibility) atau konsep pasar bebas tenaga kerja, pengurangan hak-hak normatif yang didapatkan pekerja yang disebabkan beberapa isi undang-undang yang baru, Perppu Ciptakerja yang dari awal pembuatannya sudah banyak dikecam oleh banyak pihak dan munculnya praktik No Work No Pay yang mulai mencuat akhir-akhir ini karena statement Apindo dibeberapa media yang mengusulkan no work no pay atau pengurangan jam kerja dengan dalih menghindari terjadinya PHK kepada pekerja.  

Melihat beberapa masalah diatas, didalam Talkshow Union di Marsinah FM membahas lebih detail apa sebenarnya praktek No Work No Pay ini dan apa pengaruh No Work No Pay bagi pekerja yang akhir-akhir ini mencuat kembali. Linda, Pekerja sekaligus Pengurus serikat tingkat perusahaan mengungkapkan saat pandemi covid melanda, perusahaan melakukan No Work No Pay kepada pekerja selama kurang lebih 10 hari dengan dalih perusahaan sepi order karena pandemi dan bukan saat pandemi saja, Linda juga menyatakan ia dan kawan-kawan juga pernah dirumahkan tanpa dibayar dengan dalih pekerja tidak mendapatkan target kerja sehingga tidak bisa membayar upah kepada pekerja. Linda tak tinggal diam, ia sempat melakukan negosiasi dengan perusahaan tetapi perusahaan tetap tidak setuju dengan menggunakan alasan-alasan mereka agar tetap tidak memberikan upah pada saat dirumahkan. Linda juga memaparkan akibat No Work No Pay ini banyak dari kawan-kawan pekerja yang meminjam uang dan akhirnya terlilit hutang, mau tidak mau kawan-kawan pekerja mencari pinjaman yang cepat yaitu ke rentenir (gali lubang tutup lubang) untuk menutupi kebutuhannya karena pada saat pandemi kebutuhan yang semakin tinggi seperti contoh, membeli laptop dan handphone yang digunakan agar anak-anak tetap sekolah guna mengikuti kegiatan sekolah serta harus membeli kuota untuk belajar daring. 

Bivtri Susanti Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengungkapkan bahwasanya dibaca dari prinsip perdebatanya yaitu prinsip No Work No Pay itu keliru. Menurut Undang-Undang No.13 tahun 2003 pasal 93 ayat 1 yang berbunyi Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, akan keliru apabila isi pasal itu seakan-akan hanya menjadi prinsip atau asas karena sebenarnya pasal ini berangkat dari fearness, juga ketentuan dari pasal 93 ayat 1 itu tidak berlaku dan pengusaha wajib mambayar upah dengan apabila seperti ketentuan-ketentuan pada pasal 2 antara lain, buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya dan sakit karena haid bagi buruh perempuan dan masih banyak lagi yang intinya adalah bukan karena suruhan dari pemberi kerja. Apabila orang disuruh untuk tinggal dirumah, tidak bekerja karena alasan apapun termasuk pandemi, order berkurang dan sebagainya, seharusnya perusaahan tetap wajib membayarkan upah para pekerja karena bukan keinginan pekerja sendiri. Jadi, prinsip No Work No Pay tidak bisa digunakan dan apabila dipaksakan untuk digunakan maka akan berimbas buruk kepada buruh/pekerja dan No Work No Pay ini akan menjadi peluang pengusaha untuk melakukan semacam “PHK diam-diam” karena pengusaha menyuruh pekerja untuk tinggal dirumah tanpa diberi upah (No Pay) dan pengusaha tidak terbebani kewajiban seperti halnya melakukan PHK secara fromal yang harus memberikan berbagai kompensasi-kompensasi yang hitungannya sudah jelas. jadi No Work No Pay sangat tidak fair, tidak boleh dan sebenarnya melanggar hukum. Seandainya situasi ekonomi memburuk seperti pandemi kemarin, kalaupun kondisi perusahaan tidak bisa ditolong lagi, seharusnya ada kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, juga menyampaikan kondisi perusahaan kepada pekerja, tidak boleh langsung diorder disuruh tidak berangkat bekerja terus tidak dibayar upahnya, itu termasuk “PHK diam-diam” dan melanggar hukum. Bivtri juga menambahkan, “istilah No Work No Pay ini sebenarnya tidak pas, tetapi lebih tepatnya adalah narasi yang digunakan oleh sekelompok pengusaha untuk mengedepankan skema yang mengguntungkan pengusaha dan mereka pada prinsipnya ingin hal ini dilegalisasi oleh pemerintah”. 

Pada saat pandemi, bisa dilihat sektor yang terdampak adalah sektor garment, tekstil dan alas kaki. Sektor garment, tekstil dan alas kaki termasuk kedalam industri padat karya yang menggunakan tenaga kerja dalam jumlah besar terutama pekerja perempuan untuk menghasilkan barang atau jasanya dan saat pandemi banyak melakukan PHK kepada pekerja dengan dalih sepi order serta melakukan No Work No Pay kepada para pekerja seperti yang diutarakan oleh Linda, juga seperti dibeberapa daerah di Jawa tengah. Sebelum mengenal istilah No Work No Pay, para pekerja di Jawa tengah terutama industri garment, tekstil dan alas kaki sudah merasakan bagaimana rasanya bekerja tanpa kepastian kerja dan dapat sewaktu-waktu di PHK atau dirumahkan tanpa diupah, izin sakit tidak dibayar dan masih banyak lagi. Jangan-jangan praktek No Work No Pay ini akan dimasukkan secara tiba-tiba kedalam undang-undang seperti Perppu Ciptakerja yang tiba-tiba muncul menjadi undang-undang baru dalam hukum perburuhan yang isinya sebenarnya hanya melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dahulu dilakukan oleh pengusaha dan perrpu ini menjadi alatnya untuk menghalalkan cara-cara tersebut.

Linda juga menambahkan terkait potensi No Work No Pay ini diberlakukan. Linda berujar bahwa terakhir kali perusahaan menyampaikan bahwa akan melakukan No Work No Pay kepada pekerja saat sepi order atau orderan tidak ada, karena menurut perusahaan mereka tidak akan bisa membayar upah kepada pekerja apabila orderanya tidak ada. Linda juga berpesan dengan kenaikan upah beberapa tahun terakhir ini saja pekerja sangat susah untuk memenuhi kebutuhnya, apalagi dengan adanya praktek No Work No Pay ini dan ia juga meminta kepastian hukum terhadap pemerintah terkait pelarangan praktek No Work No Pay ini karena menurut Linda sudah banyak perusahaan yang melakukan praktek-praktek No Work No Pay ini dan agar praktik No Work No Pay ini tidak digunakan lagi.

Bivtri Susanti juga berpesan bahwasanya untuk menolak aturan No Work No Pay ini harus ada kampanye yang lebih besar. bukan hanya kampanye penolakan saja melainkan juga pendidikan melalui serikat-serikat buruh untuk memberitahukan aturan No Work No Pay yang kita tolak saat ini, yang pertama dan yang kedua harus menyebarluaskan gagasan/narasi tandingan untuk mematahkan narasi pengusaha. Bivtri juga meyakinkan bahwasanya praktik No Work No Pay ini secara hukum tidak ada sehingga apabila kita mau melawan, posisi kita secara prinsip kuat akan tetapi lemah disoal-soal bukti atau pembuktian yang bersifat teknis dan maka dari itu, kita memperkuat kelemahan-kelemahan tersebut.

Oleh Gama

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Apa yang Dimaksud Dengan Keputihan

Hampir semua perempuan pernah mengalami yang namanya keputihan, seberapa bahaya sih keputihan ini? Berawal dari obrolan 3 buruh perempuan hingga akhirnya berhasil mengumpulkan teman- temannya

Suara Buruh 12 Desember 2014

Suara Buruh edisi 12 Desember 2014 mengangkat tema tentang Hari Hak Asasi Manusia yang diwarnai dengan aksi buruh pada 10 dan 11 Desember 2014 dan

How to eat the right amounts of healthy fats

Temporibus autem quibusdam et aut officiis debitis aut rerum necessitatibus saepe eveniet ut et voluptates repudiandae sint et molestiae non recusandae. Itaque earum rerum hic

Pengalaman di Medan Juang, Aksi Tolak PP 78/2015

Bambu, Barisan Maju Buruh Perempuan/dok.dev.marsinah.id Oleh Muuhsanati Yusuf (Lanang) Suara azan magrib terdengar di telingaku. Bila biasanya kita shalat bersama keluarga di rumah, kadang di

Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

Coretan perempuan penjual kopi keliling Di tengah pandemi covid 19, aku terus berupaya untuk supaya bertahan hidup, meski kopi juangku omsetnya terjun bebas. Awalnya sebelum