Patung JP Coen di Belanda
Oleh Martin*
“Dispereert Niet”, Kisah Buruh Migran di Belanda
Pada hari Jumat, 31 Juli 2015, kawan-kawan IMWU (Indonesian Migrant Workers Union) menyelenggarakan nobar (Nonton Bareng) di Goethe-Institute yang terletak di Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 15, Matraman, Jakarta Timur. Acara yang semula diadakan pukul 17.00 WIB ditunda hingga pukul 19.00 WIB karena tamu-tamu penting belum datang. Kami pun disuguhkan dengan makan malam terlebih dahulu. Pemutaran film ini didukung oleh kawan-kawan dari Migrant Care, Jala PRT, IOM (International Organization for Migration), BNP2TKI dan lembaga-lembaga lainnya.
Acara nobar dibuka dengan kata sambutan dari perwakilan dari IMWU yang diwakilkan oleh Yasmine Soraya selaku Secretary General & Coordinator of Legal Department (Sekretaris Jendral dan Koordinator Departemen Hukum), perwakilan dari Komisi Perempuan, serta Irwan Ahmett selaku tim pembuat film. Dalam kata sambutannya, Yasmine Soraya, menyampaikan bahwa film yang akan diputarkan merupakan gambaran kehidupan nyata kawan-kawan buruh migrant yang ada di Negri Kincir Angin, Belanda. Belanda menjadi salah satu tujuan kawan-kawan migrant untuk mencari keberuntungan di negri ini. Hal serupa disampaikan oleh sang pembuat film, Irwan Ahmett. Dalam kata sambutannya, film documenter ini dikemas dalam karya seni yang indah. Irwan pun membocorkan sedikit jalan ceritanya melalui potongan-potongan gambar yang ada di dalam film tersebut.
Hidup di Eropa, Tak Selalu Indah
Film ini dibuka dengan kawan-kawan buruh yang masuk ke dalam trowongan di Amsterdam pada tahun 2011. Terowongan ini menjadi tempat persembuyian kawan-kawan buruh migran. Selain trowongan yang menjadi simbol persembunyian, ada juga Lucht alarm yang digunakan di Belanda sebagai tanda peringatan akan bencana air bah. Irwan menggambarkan Lucht alarm tersebut sebagai simbol bahwa adanya buruh migrant di sekitar mereka yang datang seperti ait bah. Selain itu ada juga simbol coklat dalam bentuk mata uang Euro yang sedang dimakan oleh kawan-kawan buruh. Coklat uang tersebut menggambarkan bahwa kawan-kawan buruh datang ke Belanda untuk mecari Euro. Selain itu ia juga mengangkat simbol gadis beranting mutiara karya Vermeer yang berarti bahwa kita menghargai pekerja domestik, karena gadis yang berada di dalam lukisan tersebut merupakan pekerja rumah tangga sang pelukis. Simbol patung JP Coen menjadi simbol terakhir dari film ini. JP Coen merupakan pahlawan Belanda dan pejahat Indonesia. JP Coen adalah orang yang melakukan kerja paksa untuk membangun Batavia (sekarang Jakarta). Semboyan JP Coen, Dispereert Niet, diangkat sebagai judul dari film ini.
Film dokumenter yang berdurasi kurang dari 1 jam 30 menit ini pun diputar. Setelah pemutaran film, diadakan diskusi. Terdapat 6 orang pembicara. Dua orang dari IMWU, satu orang moderator, satu orang dari tim pembuat film dan dua orang dari BNP2TKI. Banyak tuaian pujian yang diberikan kepada tim pembuat film atas karyanya yang sangat menawan. Walapun, ketika sesi tanya jawab dilakukan, ada salah seorang penonton yang belum mengerti akan arti film tersebut. Irwan Ahmett sebagai perwakilan dari tim pembuat film menjelaskan bahwa film ini dibuat agar pemerintah dan orang Indonesia sadar dan tahu bahwa ada saudara-saudara kita yang di luar sana sedang ditindas dan berjuang untuk lepas dari ketertindasan mereka.
Pola pikir masyarakat kita yang memimpikan untuk bekerja di luar negri karena di luar negri enak dan bisa dapat uang masih menjadi suatu hal yang umum terjadi di Indonesia. Pemutaran film ini juga menunjukkan sebuah realita kehidupan bahwa kehidupan di luar negri dan bekerja di luar negri tidak seindah dongeng-dongeng pengantar tidur di malam hari. Pemerintah seharusnya sadar bahwa masyarakat mereka ada yang ditindas di negri orang. Banyak oknum-oknum nakal yang memanfaatkan mimpi-mimpi indah para kawan-kawan buruh migrant. Pemerintah harus sadar akan hal tersebut. Bangun dari tidurnya dan melek akan hal-hal yang terjadi dengan buruh migrant. Peluang kerja dan minimnya lapangan pekerjaan di tanah air membuat mereka mengambil keputusan untuk mengadu nasib di tanah orang. Permudah izin pekerjaan buruh migran, bela mereka yang ditindas dan sejahterahkan mereka walaupun di negri orang.
*Martin adalah mahasiswa STT (Sekolah Tinggi Teologi) Jakarta