Dalam pembukaan talkshow “Hati- hati ada sensor negara di gadgetmu” yang diadakan oleh Marsinah.id pada Jumat, 28 Juni 2024, Sistha Pavitrasari selaku moderator menyampaikan dengan adanya RUU Penyiaran, negara mempunyai wewenang untuk menyensor warga negaranya hingga ke ranah digital untuk membatasi ruang gerak demokrasi warganya.
Bhenagee Rushtia dari Remotivi membenarkan hal tersebut dan menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak tinggal diam. “Sudah sejak dua bulan lalu isu tentang draf revisi Undang – Undang Penyiaran dikarenakan adanya penolakan seperti tidak adanya partisipasi publik, transparansinya sangat buruh yang mana Remotivi baru mendapatkan versi tahun lalu di bulan maret 2024 dan setelah dibaca memang tidak melibatkan stakeholder atau yang bergerak didalam isu penyiaran, platform digital dan dari kawan kawan CSO.” Ungkapnya.
Menurutnya, dalam pengaturan dalam RUU ini hampir sama dengan pengaturan untuk TV maka dengan melihat isi dari RUU tersebut sudah seharusnya ditolak dan kalau perlu dicabut dengan banyaknya penolakan – penolakan dari berbagai kalangan masyarakat yang cukup mengganggu pemerintah akhirnya membuat RUU ini tertahan di Baleg.
Selain itu, terdapat penambahan dalam Undang – Undang penyiaran yang baru yaitu tentang platfrom digital dan penyelenggaran platfrom digital. Hal yang sangat berbeda dari Undang – Undang sebelumnya adalah adanya proses verifikasi dan juga sanksi bila terjadi pelanggaran.
Wewenang dalam melakukan pemantauan dan pemberian sanksi pun diberikan kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang menurut Bhena, terlampau besar. Hal ini bisa berbahaya karena bisa overlapping dan tidak jelas siapa yang akan mengawasi kinerja KPI. Terlebih, dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat, terutama rekan – rekan jurnalis, dimana KPI diberi wewenang menyelesaikan sengketa jurnalistik. Padahal, sudah ada Dewan Pers yang dibentuk khusus untuk itu. Tak hanya itu, KPI juga berhak melakukan pelarangan penyiaran eksklusif jurnalistik yang pasti sangat berbahaya untuk kebebasan pers itu sendiri.
Tommy Hutomo dari Sindikasi menambahkan, RUU penyiaran ini bukan kali pertama ditolak oleh masyarakat. Bahkan sejak dua atau tiga tahun lalu sudah diminta untuk diubah dan sejak saat itu Sidikasi kehilangan kontak dengan KPI. Namun, tiba – tiba RUU Penyiaran muncul kembali dengan draft baru yang membahayakan.
“Dengan adanya undang – undang ini nasib kebebasan jurnalis dan konten kreator sedang terancam, jelas publik menjadi sasaran dari RUU yang mencekik ini dalam melakukan kebebasan berekspresi, seperti membuat konten tentang banjir, jalan yang berlubang dan kondisi kondisi terjadi disekitar mereka.” Ujar Tommy
Menjadi kian sulit ketika banyak isi dari draf RUU penyiaran yang saling berbeda dan membuat publik kebingungan. Sebenarnya, motif apa yang melatarbelakangi kehendak pemerintah dalam membuat dan mengesahkan RUU penyiaran ini. Meski sekarang pemerintah akhirnya menunda pengesahan RUU Penyiaran, masyarakat hendaknya tetap waspada agar tidak kecolongan.
Menutup agenda talkshow, Tommy menuturkan “Bulan September menjadi akhir dari pemerintahan saat ini, maka ayo kita sama sama terus mendiskusikan dan mengkampanyekan apa saja ancaman dan juga dampak negatif dari RUU penyiaran ini, kita tidak bisa sendiri dan ada tiga yang harus kita lakukan bersama yaitu educate, agitate dan berserikat karena kalo dengan bergerak bersama kita bisa membuat perubahan”