Sebagaimana halnya lelaki, perempuan juga bisa piawai memimpin. Hal itu bisa dibuktikan dengan munculnya tokoh pemimpin perempuan. Salah satunya adalah Safiatuddin Syah dari Aceh. Bila kita teringat Aceh, kita tentu ingat dengan sosok Cut Nja Din. Ternyata bukan hanya Cut Nja Din, perempuan hebat di Aceh. Safiatuddin, berhasil menunjukkan dirinya bisa menjadi pemimpin meski seorang perempuan dan ditolak oleh ulama.
Sebelum menjadi Sultanah, Safiatuddin, perempuan yang lahir tahun 1612 ini adalah seorang istri dari Sultan Iskandar Tsani. Namun kemudian, sang suami meninggal. Sepeninggal suami, Safiatuddin berupaya mencari lelaki pengganti suaminya namun tak kunjung memperoleh pendamping hidup. Maka, Safiatuddin pun memberanikan diri maju sebagai Sultanah.
Mengajukan Diri Menjadi Sultanah
Putri tertua dari Sultan Iskandar Muda ini pun mengundang kekagetan dari mayoritas masyarakat lantaran keberaniannya mengajukan diri sebagai Sultanah bukanlah hal yang lazim. Tidak semua ulama menolak keras Safiatuddin menjadi Sultanah. Adalah Nurudin Ar Raniri, seorang ulama besar, yang menerima Safiatuddin menjadi Sultanah. Beliau menentang argumen – argumen kaum ulama yang menolak Safiatudding jadi pemimpin karena perempuan. Maka, dilantiklah Safiatuddin menjadi Sultanah dengna gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum. Sebuah sejarah baru terukir.
Masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin bukan masa yang mudah. Kala itu, pada tahun 1639, terjadi perang Malaka. Dimana tanah Malaka diperebutkan oleh para kolonial yakni Portugis dan VOC Belanda. Bahkan, Safiatuddin membentuk barisan perempuan untuk menjaga benteng istana dari serangan musuh. Selain itu, banyak kebijakan yang menguntungkan yang dilakukan Safiatuddin. Salah satunya adalah pemberian hadiah berupa tanah bagi pahlawan perang. Pun, hukum dan adat istiadat ia jalankan dengan baik. Tak main – main, Safiatuddin memerintah selama 35 tahun (1641 – 1675).
Meski berhasil menunjukkan kepiawaian memimpin, banyak kelompok yang terus menolak kepempinannya karena ia perempuan. Beberapa kelompok pun memberontak, ada pula yang berkhianat, belum lagi ancaman serangan dari Portugis dan VOC Belanda. Apalagi pada 14 Januari 1461, Belanda berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. Namun. Safiatuddin terus maju memimpin negerinya.
Pemimpin yang Berani Beda
Safiatuddin juga seorang pemimpin perempuan yang gemar menulis. Di masa pemerintahannya berdiri perpustakaan di tanah rencong. Dari tangannya lahir karya – karya tulisan berupa sajak maupun cerita – cerita pendek. Bahkan Safiatuddin memberikan perbendaharaan khusus untuk mendukung Hamzah Fanshuri untuk mengembangkan kesusastraan, sementara ia mendukung Nuruddin Ar-Ranirry dan Syeh Abdur Rauf menulisan kitab-kitab agama dan hukum. Ia juga mengirimkan ekspedisi pendidikan ke Malaya, India, Baghdad, Mekkah, Madinah.
Setelah 35 tahun, Safiatuddin melepaskan jabatannya. Safiatuddin tidak memiliki keturunan, namun dia mengangkat 3 anak perempuan. Ketiga anak perempuanya ini yang kemudian dia jadikan penerus. Ketiga perempuan tersebut adalah Sultanah Nurul Alam Nkiyahtudin, Sultanah Inyatsyah Zakiatudin serta Sultanah Kemalat Syah. Menariknya lagi, ketiga perempuan tersebut bukan keturunan bangsawan atau kerajaan. Tentu ini merupakan gebrakan yang berani dan tentu saja berbeda.
Beberapa sejarawan termasuk A. Hasjmy menyatakan bahwa kisah roman klasik Hikayat Putroe Gumbak Meuh (Kisah Putri Berambut Poni Emas) meski tidak langsung, sebenarnya berkisah tentang Safiatuddin. Berikut adalah salah satu cuplikan syair ketika Gumbak Meuh (tokoh utama dari hikayat tersebut, yang merujuk pada Safiatuddin), menjawab pertanyaan Lila Bangguna, yang bertanya dari balik dinding untuk pinangannya.
Senapang Cina bermuncung Lila,
Peluru buatan di negeri Keling,
Telah terpateri sumpah setia,
Ingkar janji bumi ‘kan sumbing.
Elang leka melayang-layang,
Anak ayam cari induknya,
Hatiku gundah dilanda bimbang,
Hasratku abang pergi tiada.
Angin selatan bertiup perlahan,
Bawa kapas atas istana,
Lekas tuanku kirim utusan,
Meminang hamba kepada ayahda
Safituddin, dengan keberanian dan gebrakannya, mengukir sejarah sebagai pemimpin perempuan pertama di negeri rencong. Berbagai penolakan ia hadapi dengan upaya mengembangkan negerinya. Kepiawaiannya memimpin tetap membuat barisan penentang tidak mundur sekaligus takzim padanya. Demikian halnya dengan para kolonial seperti Portugis, Belanda, Prancis hingga negeri Arab dan India, segan kepadanya. Sekaligus, ia membuktikan bahwa perempuan pun bisa memimpin dan membawa kemajuan bagi bangsa.