Oleh Yuli Riswati
KUALA LUMPUR, 15 Juni 2025, Dalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional, sebanyak 150 peserta yang terdiri dari pekerja rumah tangga migran, organisasi masyarakat sipil, perwakilan media serta jaringan advokasi berkumpul di Arena Star Hotel, Kuala Lumpur. Pertemuan ini bertujuan untuk mengakui peran penting pekerja rumah tangga (PRT) sekaligus menuntut perlindungan hukum yang layak.
Hari PRT Internasional yang diperingati setiap tanggal 16 Juni merujuk pada adopsi Konvensi ILO No. 189 pada tahun 2011, yang mengakui PRT sebagai pekerja dengan hak-hak yang setara. Peringatan tahun ini mengusung tema: “Pekerja Rumah Tangga adalah Pekerja Sejati”, acara ini menjadi momen penting untuk menyoroti kontribusi pekerja rumah tangga—terutama migran perempuan—dan menuntut pengakuan serta perlindungan yang nyata terhadap hak-hak mereka.
Kontribusi Besar, Perlindungan Minim
Meskipun PRT migran memainkan peran penting dan berkontribusi besar terhadap ekonomi dan kehidupan rumah tangga dan menyediakan layanan perawatan esensial di Malaysia, banyak dari mereka masih bekerja dalam kondisi buruk, termasuk kerja paksa, jam kerja tak terbatas, tanpa hari libur, dan penyitaan dokumen pribadi.
Laporan “Skilled to Care, Forced to Work?” yang diterbitkan ILO pada Juni 2023 mengungkap bahwa sekitar sepertiga PRT migran berada dalam situasi kerja paksa.
Sementara itu, laporan bersama yang dirilis oleh Federasi Pekerja Rumah Tangga Internasional (IDWF), AMMPO, dan PERTIMIG, berjudul “Majikan Saya Tak Pernah Lihat Kalender”, menyatakan bahwa 95% PRT tidak diberikan hari libur mingguan, dan lebih dari 50% melaporkan bahwa paspor, kontrak kerja, dan telepon genggam mereka disita oleh majikan atau agen.
“Kalau kami yang merawat dan membersihkan, siapa yang menjaga hak-hak kami?” ujar Maria, seorang PRT asal Filipina yang kini menjadi organiser komunitas. “Kami ingin diakui sebagai pekerja, bukan sebagai budak.”
Perubahan Istilah Tak Cukup
Meskipun Malaysia telah mengubah istilah hukum dari “pembantu rumah tangga” menjadi “pekerja rumah tangga,” praktik diskriminatif dan penggunaan istilah merendahkan seperti “pembantu” atau “hamba” masih meluas dalam masyarakat dan bahkan di dalam sistem hukum.
“Bahasa mencerminkan posisi kita dalam masyarakat,” kata Nisa Anwar dari organisasi Our Journey, “Selama kami masih dipanggil pembantu, sulit untuk keluar dari ketidakadilan struktural yang telah berlangsung lama.”
Acara Solidaritas dan Advokasi
Acara yang diisi dengan diskusi panel, testimoni PRT, pertunjukan budaya, serta pameran kampanye hak-hak pekerja rumah tangga ini diinisiasi oleh Komunitas PERTIMIG, AMMPO, dan Our Journey.
Tujuan dari program ini meliputi: Mengakui kontribusi PRT migran dalam menopang kehidupan dan ekonomi masyarakat; Meningkatkan kesadaran publik terhadap pelanggaran hak-hak PRT; dan Mendorong pemerintah, publik, dan pemberi kerja untuk menjamin kondisi kerja yang layak dan perlindungan hukum bagi PRT migran.
Seruan untuk Tindakan Nyata
Dalam acara peringatan ini juga dibacakan deklarasi bersama yang mendesak pemerintah Malaysia untuk: Menjamin hak satu hari libur setiap minggu bagi semua PRT; Melarang dan menghukum praktik penyitaan paspor dan dokumen pribadi, Menyediakan akses yang setara terhadap mekanisme pengaduan, kontrak kerja, dan bantuan hukum; Meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi ILO 189 dan 190, termasuk perlindungan dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
“Pekerja rumah tangga bukan bayang-bayang. Kami adalah manusia, kami adalah pekerja. Dan kami berhak atas istirahat, upah layak, dan perlindungan hukum,” tegas Siti Rahmah, perwakilan PERTIMIG.