Diskusi Perkosaan Massal untuk Kuasa/lanang/dok dev.marsinah.id
Oleh Dian Septi Trisnanti
Apa yang terbayang dalam imajimu ketika mendengar kata Gerwani? Satu kata yang mengucapnya saja ada desir aneh, takut sehingga tertahan di bibir. Rasa itu bukan tanpa sebab, karena sedari kecil kita disuguhkan pelajaran sejarah tentang kejahatan Gerwani. Pun, ketika tanggal 30 September tiba, satu kampung termasuk orang tua kita secara rutin tiap tahun mengibarkan bendera setengah tiang. Setidaknya, saya, masih ingat raut wajah orang tua saya ketika mengibarkannya. Tanpa Makna. Sekedar rutinitas, sambil berbisik “Jangan nonton film 30 September, tidur saja”. Alhasil, sedari kecil saya selalu tak pernah menuntaskan nonton film itu. Sebagai anak kecil, tentu saja saya tergelitik untuk menonton meski tak boleh. Hanya, tak pernah sampai tuntas. Namun, meski tak pernah menonton sampai usai, narasi kekejaman aktivis perempuan Gerwani bertelanjang, menari – nari di lubang buaya, menyilet wajah, hingga memutilasi penis para Jendral, semuanya tertanam lekat di dasar pikiran saya.
Itulah hebatnya Orde Baru, batin saya, dan itu makin terang benderang, ketika Ita F. Nadia, di sebuah Dialog Perkosaan Massal untuk Kuasa, dengan lugas menuding Orde Baru sebagai biang kekejaman terhadap Gerwani serta penghancuran tubuh dan gerakan perempuan Indonesia.
Perkosaan dan Kekerasan Seksual, Penundukan Tubuh Perempuan
Senin itu,30 Maret 2015, di LBH Jakarta, Ita menyampaikan bagaimana tentara menggunakan tubuh perempuan untuk menghancurkan gerakan perempuan. Ia membicarakan sebuah narasi besar tentang bagaimana tentara menghimpun gelombang kekerasan seksual pada perempuan yang berujung pada penghancuran gerakan perempuan.
Di suatu masa, pada tahun 1965, tepatnya 30 September, para Jendral diculik dan dibunuh di lubang buaya. Disusul dengan berita pada 11 Oktober 1965, yang mengisahkan sekelompok aktivis perempuan menari-nari di lubang buaya, bertelanjang, menyilet dan memotong penis para Jendral. Koran Bharatayudha menjadi pahlawan yang berhasil menyebarkan berita bohong tersebut sehingga secara gemilang mampu mengobarkan kebencian pada perempuan. Koran lain dipaksa tak terbit, wartawan dirampas haknya untuk melakukan verifikasi. Paling tidak, itulah yang disampaikan Fransiska Ria Susanti, salah seorang pembicara dari kalangan jurnalis. Dalam benak saya, betapa besar peran media dalam membentuk opini publik, menciptakan kebenaran palsu yang terus diyakini hingga kini.
Menurut cerita Ita, untuk mendukung narasi tentara, ditangkaplah seorang perempuan muda bernama Jamilah dan dipaksa mengaku sebagai Gerwani yang melakukan penyiletan dan mutilasi penis para Jendral. Pun, cerita bohong itu hingga kini masih hadir dalam kurikulum pendidikan sejarah dan direproduksi terus menerus melalui monumen “Pancasila Sakti” dengan relief – relief peristiwa penyiletan dan mutilasi penis. Makanya, tutur Shanti, jurnalis harus punya perspektif sejarah agar tak gampang percaya pada sejarah versi pemerintah.
Pada 12 Oktober 1965, sehari setelah berita bohong itu tersebar, serentetan pembunuhan, penangkapan disertai perkosaan dan kekerasan seksual berlangsung. Jutaan orang mati, perempuan anggota Gerwani dan yang dituding sebagai Gerwani ditangkap, diperkosa lalu sebagian dibunuh dengan cara yang hampir sama di beberapa daerah. Ita menyontohkan beberapa bentuk perkosaan yang sedemikian keji hingga saya pun tak sanggup menuangkannya di sini. Penciptaan wajah perempuan yang binal, berani menyiksa jendral sedemikian kuat mendorong kebencian pada perempuan yang terwujud pada penghancuran rahim dan alat vital perempuan.
Kultur patriarki yang menempatkan tubuh perempuan sebagai milik masyarakat, negara, keluarga, sehingga harus dikontrol dan karenanya tidak boleh tampil “binal”, dimanfaatkan betul oleh tentara untuk mengobarkan kebencian rakyat pada perempuan Gerwani. Penciptaan citra perempuan Gerwani yang menyayat dan memutilasi penis, menari telanjang, meruntuhkan citra perempuan baik-baik yang selama ini hadir di masyarakat. Sehingga, mereka layak untuk diperkosa dan dibunuh.
Kultur Patriarki, Masih Ada dan HIdup di Tengah Kita.
Kultur patriarki itu, masih ada dan hidup di tengah kita. Asfinawati, salah satu pembicara, yang berprofesi sebagai advokat, menyampaikan betapa ironisnya saat ia menemukan seluruh peserta setiap diskusi tentang perkosaan selalu tertawa ketika membahas perkosaan. “Saya bersyukur, dalam diskusi kali ini, tak ada satupun yang tertawa mendengarkan persoalan tentang perkosaan” Ujar Asfin membuka pembicaraannya.
Ucapannya cukup membuat saya pribadi termenung, ironi yang menyakitkan. Apalagi, Asfin menuturkan peserta diskusi yang tertawa itu adalah juga para aktivis. Artinya problem perkosaan, tak pernah dianggap sebagai problem. Sehingga tak mengherankan bila setiap terjadi perkosaan, muncul pertanyaan yang menyalahkan korban, seperti “suka sama suka kali” atau “kamu pakai baju apa”. Pertanyaan semacam ini tidak akan muncul untuk kasus kriminal lain seperti pencurian atau perampokan. Pertanyaannya adalah kenapa? Karena ada kultur patriarki di sana, yang sedemikian jitu dipakai oleh penguasa sebagai politik mengontrol tubuh perempuan dan menghancurkan gerakan perempuan dan rakyat.
Tak heran pula, bila pemerintah memproduksi kebijakan dan Undang-Undang yang cenderung membiarkan perkosaan. Definisi perkosaan misalnya, dalam Undang-Undang dinyatakan perkosaan adalah ketika penis masuk ke vagina. Sehingga kekerasan seksual berupa benda asing yang dimasukkan ke liang vagina tidak dimasukkan kategori perkosaan tapi percabulan. Padahal di banyak tempat, korban perkosaan seringkali mengalami kekerasan seksual hebat yang berakibat hancurnya rahim dan vagina.
Untuk menutupi pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perkosaan dan kekerasan seksual, pemerintah melahirkan UU Rahasia Negara. Undang – Undang ini menjamin dokumen yang dimasukkan rahasia negara tidak boleh dibuka sampai kapanpun, termasuk operasi intelejen. Padahal, operasi intelejen di masa silam, bila sudah berusia 25 tahun, publik berhak tahu dan karenanya harus dibuka. Upaya lainnya adalah UU Intelejen dan pembatasan kebebasan pers.
Penundukan Tubuh Perempuan di Daerah Konflik
Tak hanya tragedi 1965 yang menggunakan tubuh perempuan sebagai strategi jitu menghabisi gerakan rakyat dan perempuan. Berbagai operasi militer di daerah konflik pun menggunakan tubuh perempuan untuk menundukkan kelompok rakyat yang memberontak. Di Aceh misalnya, meski tentara menyatakan operasi militer adalah untuk menangkap para pelaku pemberontakan, nyatanya serangannya adalah ke masyarakat sipil, terutama perempuan. Selviana Yolanda, salah satu pembicara, mengisahkan bagaimana satu kampung di Aceh, perempuannya diteror dan diperkosa.
Tak jarang, perempuan menjadi pemancing untuk menangkap pelaku pemberontakan yang masih ada hubungan keluarga dengan perempuan itu. Sambil menyusuri hutan, perempuan ini dipaksa berteriak memanggil nama suaminya agar sang suami keluar dari persembunyian. Bila gagal,maka perempuan ini alhasil disiksa dan diperkosa. Tempat pemerkosaan itu bernama Rumah Gedong.
Di sisi lain, komunitas menempatkan tubuh perempuan sebagai simbol kesucian komunitas. Sehingga bila seorang perempuan menjadi korban perkosaan, maka ia harus disucikan dengan menjalani prosesi penyucian. Bila tubuh perempuan disucikan, maka komunitaspun kembali suci.
Kekerasan Seksual dan Perkosaan adalah Problem Politik
“Kita tidak bisa melihat problem kekerasan seksual dan perkosaan hanya dari sisi HAM (Hak Asasi Manusia) saja, tetapi kita harus melihatnya sebagai problem politik” Ujar Ita. Pernyataan itu lalu disambut oleh Vivi Widyawati, salah satu aktivis 1998 dari Politik Rakyat.
Vivi menyampaikan, selama ini kaum pergerakan sulit sekali melihat problem perkosaan sebagai problem politik dan enggan menyentuh persoalan perkosaan. Padahal bila tidak ada gerakan untuk melawan perkosaan, maka perkosaan akan terus terjadi dan tentara, militer atau penguasa akan terus menggunakannya sebagai bagian dari terror politik untuk menundukkan gerakan rakyat, dan perempuan.
Itu memang PR atau Pekerjaan Rumah bagi setiap kelompok yang sudah terlebih dulu concern mengusung problem perkosaan dan kekerasan seksual. Menurut Vivi, kaum muda atau generasi muda juga menjadi bagian penting untuk diajak melawan perkosaan dan kekerasan seksual di masa lalu dan yang terjadi hingga kini. Sebuah generasi yang lahir di masa, dimana reformasi belum sanggup merubah kurikulum pendidikan dan melakukan pelurusan sejarah, sehingga mereka tak tahu menahu soal kejahatan Orde Baru. Maka, butuh terobosan-terobosan, dan alangkah baiknya bila ada forum lintas generasi untuk mendiskusikannya. Ini penting, kenapa? Agar generasi sebelumnya bisa mendialogkan, sebuah sejarah yang terputus soal Orde Baru sehingga generasi muda semakin tahu dan bisa mendukung, terlibat dalam perlawanan terhadap perkosaan dan politik Orde Baru yang terus direproduksi sampai sekarang.
Pembicaraan Vivi itu kemudian menutup diskusi Perkosaan Massal untuk Kuasa yang diselenggarakan oleh Perempuan Mahardhika tersebut. Saya pun beranjak dari kursi dan menyepi sebentar. Sesaat kemudian, saya menyadari bahwa tubuh saya tak pernah aman dan tak sepenuhnya menjadi milik saya.