Oleh Thien Koesna
Momen buruh bukanlah sekedar memperingati hari buruh sedunia atau May Day atas kemenangan kaum buruh pada masa lalu, namun momen buruh harus dijadikan tonggak perlawanan kaum buruh. Buruh menuntut kepada pemerintah yang telah gagal melindungi kaum buruh dari berbagai macam penindasan dan pelanggaran termasuk : PHK sepihak, upah yang tidak layak, bahkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, padahal buruh itu merupakan salah satu unit produksi yang memegang peranan penting dalam menghasilkan produksi, di sisi lain pengusaha dan pemilik modal selalu melihat kaum buruh sebagai kaum buruh yang mereka pekerjakan dengan upah seadanya, sesuai kemampuan pengusahanya, sehingga tidak jarang upah buruh yang ditunda pembayaranya gara –gara alasan ketidakmampuan pengusahanya contohnya: (PT Eunsan Apparel) yang terletak di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, pengusaha masih menganggap kaum buruh adalah bahan baku yang apabila tidak dibutuhkan akan diganti dan dibuang seenaknya saja tanpa kompensasi. Perusahaan menganggap buruh hanya sebuah alat produksi yang menghasilkan barang. Inilah yang menjadi keculasan pemilik modal, sehingga memberikan tingkat kesejahteraan kepada buruh yang sangat rendah.
Apa kabar pemerintah?
Dengan disahkannya PP no 78 tahun 2015, apa yang terjadi ? yang jelasnya sangat merugikan kaum buruh, terutama buruh perempuan oleh karena itu harus ditolak mentah – mentah. Buruh akan terus dimiskinkan, terlebih lagi pembahasan PP ini tidak melibatkan serikat buruh. Sebagai buruh, tentu saja sangat kecewa dengan PP 78 tahun 2015 ini, karena salah satunya memberlakukan kebijakan yang merugikan kaum buruh yaitu KHL (Kebutuhan Hidup Layak) hanya akan naik 5 tahun sekali. Artinya, kenaikan upah yang selama ini mendasarkan pada KHL, kadaluarsa 5 tahun. Tidak sebanding dengan kenaikan harga yang bisa berubah bahkan drastis setiap harinya. Naaahh… ini jelas merugikan buruh, melegalkan upah murah. Maka, ketika kaum buruh turun ke jalan melakukan aksi, aksi ini bukan tanpa alasan. ” KESEJAHTERAAN YANG RENDAH” membuat kaum buruh bergerak menuntut pemerintah, agar mencabut PP no 78 tahun 2015, dan negara harus memainkan peran penting dalam peningkatan kesejahteraan kaum buruh dan rakyat.
Apa kabar buruh perempuan dan ibu
Apa yang salah ketika buruh itu adalah perempuan yang bekerja di sektor padat karya? Tapi kenapa buruh perempuan lebih berlipat ganda permasalahannya? Penetapan PP pengupahan akan semakin memiskinkan kaum buruh perempuan, karena mayoritas yang bekerja di sektor padat karya adalah buruh perempuan. Selama ini, dengan alasan padat karya adalah sektor yang tidak memiliki keahlian, boleh diupah murah. Ditangguhkan upahnya karena menyerap banyak tenaga kerja. Bukankah bila mempekerjakan banyak orang, maka mestinya diperhatikan banyak orang (perempuan) yang bekerja. Belum lagi, dengan budaya patriarki yang masih menganggap laki- laki adalah pencari nafkah utama dan perempuan hanya pencari nafkah tambahan sehingga buruh perempuan yang sudah berkeluarga (Ibu Rumah tangga) dan memiliki anak tetap dianggap sebagai buruh lajang, dan ini membuat gerakan buruh dan gerakan perempuan bergerak untuk mengembangkan politik perempuan untuk mendorong lebih siap mendalami tentang buruh perempuan.
Latiefah Widuri, salah satu aktivis perempuan dari Perempuan Mahardhika menyampaikan bahwa PP no 78 tahun 2015 tentang pengupahan membuat upah buruh perempuan semakin murah. Perempuan semakin jauh dari kesejahteraan untuk pemenuhan kebutuhan hidup layaknya , dan semakin sulit untuk bisa menjaga kesehatan reproduksinya ini adalah salah satu poin mengapa kaum perempuan menolak PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
Di tengah perjuangan upah, Kebijakan politik Jokowi – JK tidak membuat buruh semakin sejahtera, tidak memenuhi sisi keadilan dan tidak menghargai ibu. Kaum buruh di Indonesia yakin dengan berserikat dan meningkatkan bersolidaritas, serikat buruh dapat dijadikan ujung tombak untuk melakukan perubahan.
SALAM SOLIDARITAS TANPA BATAS
Rawamangun 17, November 2015