Search
Close this search box.

Buruh Berhak atas Upah Layak!

Pernyataan Sikap Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) atas Penerapan PP 36/2021 untuk Penentuan Kebijakan Upah Minimum

 

Kerja dan Upah

Untuk bertahan hidup, setiap manusia harus memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari makanan nutrisi, sandang, dan tempat tinggal. Untuk mendapatkan semua itu, manusia mesti menukarkannya dengan sejumlah uang. Dalam perkembangannya, hanya segilintir manusia yang sanggup mengakses kebutuhan hidup dengan kualitas terbaik. Pun, kebutuhan hidup yang sebelumnya bisa diperoleh secara gratis dan murah diharuskan membayar seperti kebutuhan air, listrik dan kebutuhan publik lainnya yang kian mahal akibat diprivatisasi dan dijadikan lahan bisnis.

Tidak ada pilihan lain bagi manusia selain menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan sejumlah uang sebagai alat tukar mengakses kebutuhan hidup. Setiap hari, kita sebagai manusia menjual tenaga kerja. Ada yang sejak matahari terbit sudah berangkat ke  tempat kerja, seperti restoran, tempat wisata, hotel, pabrik, jalanan (transportasi, delivery), rumah orang lain, rumah sendiri, rumah sakit dan banyak lagi. Dari menjual tenaga kerja, kita menerima sejumlah uang yang disebut sebagai upah atau gaji. Sementara, sebagai penjual tenaga kerja, kita disebut sebagai buruh. Orde Baru memberikan istilah lain seperti karyawan, pekerja, pegawai yang disematkan sesuai jenis pekerjaannya seolah berbeda kasta, yang pada akhirnya memecah kesatuan identitas para “penjual tenaga kerja” sebagai kelas sosial.

Dalam praktiknya, upah diatur sedemikian rupa sehingga setiap buruh menerima upah yang berbeda meski sama – sama bekerja selama delapan jam atau bahkan lebih. PRT (pekerja rumah tangga), misalnya, meski bekerja lebih dari delapan jam kerja, tapi hanya menerima sekitar 40% dari ketentuan upah minimum. Demikian halnya dengan buruh transportasi platform digital atau buruh harian yang diwajarkan menerima upah yang besarannya di bawah upah minimum.

Pada prakteknya, upah buruh diatur sedemikian rupa supaya nilainya rendah dan makin rendah untuk sebagian buruh yang lain. Kerja buruh yang berlipat ganda tanpa kenal waktu dengan mengorbankan waktu bersama keluarga serta pengembangan dirinya. Hanya dihargai dengan upah yang rendah demi kelancaran bisnis yang tak pernah bisa dinikmati kaum buruh. Padahal, setiap buruh sebagai manusia berhak memperoleh penghidupan layak bagi kemanusiaan.

Dalam menentukan upah, negara memilih melihat buruh sabagai satu individu dan menolak mengakui tanggungan di belakangnya. Faktanya, satu buruh, bahkan bila masih single atau lajang, banyak yang masih menanggung kebutuhan anggota keluarga lainnya, seperti orang tua yang sudah tidak bisa masuk dalam pasar kerja, adik, atau keponakan yang belum masuk ke dalam pasar kerja. Belakangan, kondisi ini dikenal dengan istilah sandwich generation, dimana generasi saat ini berada dalam posisi menanggung biaya kehidupan untuk keluarga yang lebih tua dan sekaligus keluarga yang lebih muda. Buruh terhimpit diantara dua generasi tersebut layaknya roti lapis atau sandwich.

Negara juga menutup mata pada buruh yang berkeluarga dan menanggung kebutuhan anak, pasangan, atau kerabat lainnya. Di samping itu, negara juga menolak mengakui dan meremehkan kerja reproduksi sosial (kerja perawatan, kerja domestik, kerja pemulihan) yang memberi fondasi bagi berjalannya kerja produksi, seperti mempersiapkan calon tenaga kerja baru dan tempat tenaga kerja memulihkan fisik dan psikisnya setelah seharian bekerja di ranah produksi yang penuh eksploitasi. Alhasil, kerja reproduksi yang seringkali menjadi beban perempuan, menjadi kerja yang tak terlihat  meski menopang roda ekonomi dunia.

Sebelum kondisinya diperparah melalui pengesaha PP 78/2015 dan kemudian UU Cipta Kerja beserta PP 36/2021, kebutuhan hidup buruh hanya dilihat sebagai kebutuhan buruh. Negara menyederhanakan kebutuhan hidup buruh dalam komponen Kebutuhan HIdup Layak (KHL) dengan rincian yang terbatas. Artinya, meskipun menggunakan kata “layak”, namun KHL sangat bermasalah dalam segi kelayakan. Akibatnya, setiap tahun buruh turun ke jalan mengawal survey KHL, memperjuangkannya agar kenaikan upah yang diraih cukup signifikan.

Dikatakan, UMP (Upah Minimum Provinsi -untuk konteks DKI Jakarta)) atau UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dan hanya berlaku bagi buruh lajang dengan masa kerja satu tahun. Di atas masa kerja setahun, buruh bisa diupah di atas UMP atau UMK dan menerima upah tambahan sesuai struktur dan skala upah. Namun, realita berbicara. UMP atau UMK yang dinyatakan sebagai jaring pengaman sosial, justru menjadi upah maksimum. Pasalnya, hampir mustahil buruh memperoleh upah di atas UMP atau UMK meskipun telah bekerja bertahun-tahun. Dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing, masa kerja buruh sulit beranjak dari masa kerja setahun. Setiap kontrak kerja habis, masa kontrak terus diperpanjang atau melamar kembali bekerja sebagai buruh baru, begitu terus hingga ratusan purnama. Sistem kerja kontrak dan outsourcing sebagai cerminan fleksibilitas tenaga kerja, menjauhkan buruh dari kenaikan upah.

Sebaliknya, tak jarang ditemui pengusaha yang membayar upah buruh di bawah UMP atau UMK.  Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2021, sebanyak 49,67% pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Dari 34 provinsi, terdapat 11 provinsi yang rata-rata upah riil bersihnya di bawah standar upah minimum. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha mengupah buruh sesuai standar minimum hanya pada kisaran 49 – 57%. Artinya, jauh sebelum pandemi pun, upah sudah dibayarkan di bawah UMP. (Kompas, 26 Oktober 2021)

Tingginya pelanggaran pembayaran upah sesuai standar upah minimum berkaitan erat dengan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan akibat minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 1.568 orang. Itu pun terpusat di Jakarta atau ibu kota provinsi saja. Padahal, idealnya dibutuhkan 6.000 pengawas yang tersebar di semua kabupaten/kota. Meski mengetahui problem krusial ini, negara tidak melakukan perbaikan. Bandingkan kecepatan negara ini dalam mengesahkan UU Cipta Kerja dalam waktu singkat.

UU Cipta Kerja, Aturan Turunannya dan Pandemi Menggerus Upah Buruh

Pandemi yang hadir di Indonesia sejak Maret 2020 dan diiringi dengan kebijakan pengaturan upah menggunakan formula baru, secara pasti telah menggerus upah buruh. Berdasarkan catatan Kompas (26/10/21), besaran UMP Jakarta 2021 yang mengacu pada rumus baru naik dari Rp 4,27 juta menjadi Rp 4,36 juta. Padahal, bila dihitung dengan rumus lama, UMP Jakarta 2021 bisa naik lebih tinggi, yakni Rp 4,66 juta. Cerita upah murah ini berlanjut hingga sekarang. Besaran UMP Jakarta 2022 dengan mengacu rumus baru, diperkirakan hanya naik 0,85% atau Rp 37,749.

Sementara, DI Yogyakarta yang merupakan daerah dengan UMP terendah, bila memakai rumus lama, UMP 2021 seharusnya naik dari Rp 1,57 juta menjadi Rp 1,71 juta. Namun, dengan rumus baru, kenaikan UMP DIY 2021 hanya menjadi Rp 1,67 juta. Dan pada UMP 2022, dengan rumus baru, hanya naik 4,04% atau Rp 75.673.

Rumus baru penghitungan upah yang diatur dalam PP 36/2021 berbeda dengan penghitungan upah berdasarkan survey KHL melalui Dewan Pengupahan. Dalam PP 36/2021, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah. Data pertumbuhan ekonomi, inflasi dan variabel tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga BPS memainkan peran kunci penentuan upah, menggantikan Dewan Pengupahan.

Dengan demikian, terlihat bahwa makin merosotnya upah buruh merupakan akibat dari politik upah murah yang dipaksakan oleh negara dan berpengaruh pada merosotnya daya beli masyarakat yang tercermin dari rendahnya angka konsumsi rumah tangga.

Pertumbuhan Ekonomi Hanya Dinikmati Orang Kaya

Benar, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2021 meningkat sebesar 7.07 %. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Hal itu tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada sisi pengeluaran PDB kuartal II yang hanya sebesar 5,93%. Pertumbuhan ini lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi pemerintah sebesar 8,6%. Merosotnya konsumsi rumah tangga buruh juga didukung oleh penelitian Asia Floor wage Association (AFWA) pada tahun 2021 yang menyatakan total konsumsi rumah tangga tahun 2020 berkurang lebih dari 10%. Sebelum pandemi tingkat konsumsi buruh berkisar $239 dan turun menjadi $213 pada Juli 2020. Pada akhir tahun 2020, terjadi peningkatan konsumsi sebesar $231 namun angka itu masih jauh di bawah tingkat konsumsi sebelum pandemi.

Sementara, akibat gelombang PHK selama pandemi, sekitar 2,56 juta orang menjadi pengangguran. Sekitar 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja; 1,77 juta orang penduduk sementara tidak bekerja; dan 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja. Seiring dengan hilangnya pekerjaan, penghasilan buruh turut menghilang dan sebagian yang lain, upahnya semakin berkurang bersamaan dengan pengurangan jam kerja selama pandemi. Dari sekian dampak pandemi, buruh perempuan menjadi bagian yang paling rentan karena banyak terserap dalam sektor ekonomi yang paling terdampak pandemi seperti sektor akomodasi dan jasa makanan, manufaktur, perumahan, aktivitas bisnis dan administrasi, hingga sektor informal. Fakta-fakta di atas menunjukkan kenyataan bahwa buruh dan masyarakat miskin lainnya sama sekali tidak menikmati kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 % tersebut. Artinya, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya merupakan berkah bagi kelas menengah ke atas.

Dikarenakan tergerusnya daya beli buruh sedang dan masih akan memperlambat pemulihan ekonomi, beragam strategi pun dilancarkan oleh pemerintah melalui bantuan sosial untuk meningkatkan daya beli yang berujung pada skandal korupsi. Bantuan sosial yang lebih dominan diberikan dalam bentuk bantuan non-tunai seperti beras, makanan dan sebagainya tersebut, tidak cukup signifikan mendorong laju kenaikan daya beli. Sementara, dana Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digelontorkan pada 2021 tidak cukup menaikkan daya beli. Di sisi lain, demi menekan defisit anggaran, negara berencana mengurangi anggaran perlindungan sosial 2022 sebesar 12% dibanding tahun sebelumnya demi menekan defisit anggaran.

Menuntut Kenaikan Upah Tanpa PP 36/2021

Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya telah menjadi penyebab semakin merosotnya upah buruh.  Oleh karenya, penting bagi kaum buruh untuk menuntut dikembalikannya penentuan upah minimum yang mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang tentu lebih obyektif sekaligus ujung tombak peningkatan daya beli yang akan berkontribusi pada pemulihan ekonomi.

Di berbagai kota, buruh telah bergerak melakukan survei KHL dan mengeluarkan tuntutan nominal sesuai komponen kebutuhan hidup layak yang berubah seiring dengan situasi pandemi. Aliansi Buruh Jawa Tengah misalnya, menuntut kenaikan upah minimum dengan mengacu kebutuhan hidup selama pandemi dan menghasilkan prosentase kenaikan upah sebesar 16%.

Tuntutan dikembalikannya penghitungan upah dengan mengacu pada KHL menjadi pilihan logis untuk meningkatkan daya beli. Justru, PP 36/2021 yang penuh nuansa bisnis lah yang tidak logis dan anti kemanusiaan. Adalah kebohongan besar jika PP 36/2021 diklaim bisa menjaga daya beli, apalagi mensejahterakan buruh. Tidak, peraturan ini hanyalah untuk kepentingan bisnis orang kaya dan kaum oligarki.

Bila negara sudah mencoret kepentingan kaum buruh dalam agenda pemulihan ekonomi, maka sudah sepantasnya kita memaksa kehadiran negara untuk menjalankan kewajibannya menjamin penghidupan layak seluruh warga negara, tak terkecuali kaum buruh dan keluarganya.

Mendorong Terwujudnya Upah Layak Nasional

Kesenjangan upah antar kota dan provinsi semakin menjauhkan kesejahteraan yang merata, menampilkan diskriminasi antar buruh di berbagai wilayah. Demi nafas panjang keluarga, banyak buruh merantau ke kota, bermodalkan hasil penjualan tanah tak seberapa. Sebagian yang lain merantau ke negeri orang menjual tenaga sebagai buruh migran dengan kondisi kerja yang sama buruknya atau bahkan jauh lebih buruk. Tak sedikit yang diperkosa majikan, kembali tinggal nama akibat disiksa majikan, atau terperangkap dalam hukuman mati.

Selain itu, kesenjangan upah mengakibatkan banyak perusahaan melakukan relokasi industri ke wilayah dengan kebijakan upah minimum yang rendah. Relokasi industri ini diiringi dengan pengabaian hak buruh. Tak sedikit buruh yang ditelantarkan melalui PHK tanpa uang sepeserpun, apalagi pesangon. Cerita-cerita pelanggaran semacam ini, tak pernah dibarengi dengan sanksi bagi pengusaha supaya tidak berulang. Impunitas tersebut membawa keberulangan yang menambah deretan panjang derita buruh dan keluarganya.

Kita tentu masih ingat bagaimana para pemerintah daerah mempromosikan daerahnya yang memiliki lahan luas serta tenaga kerja yang banyak dan dapat diupah murah. Buruh menjadi komoditas yang dipertaruhkan hidupnya dalam mekanisme pasar kerja, yang jelas-jelas tak manusiawi.

Regulasi pengupahan sebagaimana diatur olehi Undang-Undang Cipta Kerja tidaklah tepat dalam mengurangi kesenjangan upah. Yang terjadi adalah upah yang semakin murah dan membuat buruh di wilayah dengan upah minimum terendah kian terjerembab dalam jurang kemiskinan yang curam.

Kesejahteraan yang merata tanpa diskriminasi dengan standar upah layak nasional merupakan jalan alternatif yang patut didesakkan kepada negara. Upah layak nasional yang telah diusung oleh gerakan buruh sejak tahun 2006 dan terus menemukan pembenarnya untuk segera diwujudkan. Standar upah layak nasional tentu saja mengacu pada kebutuhan riil buruh dan keluarganya secara nasional, dimana kebutuhan fisik dan mental buruh serta keluarganya bisa terpenuhi, terlebih di masa pandemi. Bukan standar kebutuhan yang sebelumnya selalu dibatas-batasi oleh negara dengan standar paling minim, bahkan cenderung tidak manusiawi.

Pun, kerap kali kenaikan upah buruh dijadikan sasaran penyebab kenaikan harga di pasar. Meski kenaikan upah diwacanakan hanya berkisar 1%, bahkan ada yang tidak naik sama sekali untuk tahun 2022, harga kebutuhan pokok tetap melonjak tinggi. Tingginya harga kebutuhan di pasar lebih dikarenakan ketidakmauan negara mengontrol harga barang. Masih ingat bagaimana tabung oksigen langka di pasar hingga harganya melonjak tinggi? Atau, harga PCR yang tinggi dan baru dikoreksi setelah mendapat protes massal? Belum lagi harga obat dan vitamin atau harga masker medis yang sempat melonjak tinggi di awal pandemi.

Itulah mengapa penting adanya pengendalian harga barang agar tetap stabil dan bisa diakses dengan upah layak yang sudah ditetapkan. Namun, negara enggan mengontrol harga barang dan lebih menyerahkannya pada mekanisme pasar bebas.

Selama pandemi, beragam kemudahan telah diterima oleh pengusaha mulai dari penyesuaian upah dengan mudah tanpa pembuktian kerugian, keringanan pajak dan sebagainya. Sebaliknya, buruh seringkali dikorbankan. Padahal penghidupan yang layak bagi seluruh warga merupakan tanggung jawab negara, terlebih kepada kelompok rentan. Sekarang, saatnya negara hadir dengan mengalokasikan dana untuk menalangi buruh terdampak pandemi yaitu dengan; (1) Mengalihkan anggaran pembayaran utang luar negeri untuk membayar sebagian pesangon buruh korban PHK, atau upah buruh yang dikurangi dengan alasan pandemi. Tentu saja dengan prosedur yang transparan dan berkeadilan, hanya perusahaan yang bisa membuktikan kerugian dan ketidakmampuan membayar upah buruh secara penuh, yang upah buruhnya bisa dicover oleh negara; (2) Alih-alih memprivatisasi perusahaan milik negara yang menghidupi hajat hidup rakyat banyak, akan lebih baik negara melakukan pembenahan dalam pengelolaan BUMN. Bila tidak, rakyat semakin sulit mengakses kebutuhan hidup mendasar yang seharusnya disediakan oleh negara melalui BUMN; (3) Menyita harta koruptor untuk menalangi buruh terdampak pandemi. Jangan buruh yang terus digerogoti haknya, sementara korupsi dibiarkan tumbuh subur. Jangan buruh yang dikriminalisasi, sementara koruptor dibiarkan bebas tanpa hukuman berarti.

Sebagai sikap atas penentuan upah yang tidak manusiawi, kami dari FFederasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) menuntut kepada negara:

  1. Cabut PP 36/2021 dan SE Menaker Tentang Upah Minimum. Berlakukan Kembali Penghitungan Upah berdasarkan standar kebutuhan hidup layak
  2. Naikkan upah minimum sesuai standar kebutuhan hidup layak sebesar 15-30% di seluruh wilayah Indonesia
  3. Stop politik upah murah, wujudkan upah layak nasional

Demikian sikap Kami. Mari gaungkan gerakan melawan politik upah murah untuk kesejahteraan buruh Indonesia.

Hidup Buruh!

Hidup Rakyat!

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Neraka Itu Bernama PABRIK

suasana pabrik di KBN Cakung/Adon/dok dev.marsinah.id   oleh Adon   Mogok…kapan lagi mogok! Suara itu lantang sekali didengarnya…. Tulus dan penuh amarah karena di pabriknya

Buruh Berhak atas Upah Layak!

Pernyataan Sikap Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) atas Penerapan PP 36/2021 untuk Penentuan Kebijakan Upah Minimum   Kerja dan Upah Untuk bertahan hidup, setiap

Mengenal Perjuangan Pekerja Rumah Tangga (1)

PRT Deklarasi Rally Mogok Makan/dok.Jala PRT Oleh *Tiasri Wiandani Awal Berkenalan Dengan PRT (Pekerja Rumah Tangga) Hari Minggu, tanggal 09 Juni 2013 aku mendapat pengalaman

PERUNDINGAN PKB

PERUNDINGAN P K B Perundingan adalah proses dimana dua pihak atau lebih bertemu dan mengadakan tawar menawar untuk mencapai suatu kesepakatan. Kadang perundinga dilakukan karena