Search
Close this search box.

Pencabutan Moratorium Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi: Kabar Baik atau Kabar Buruk?

Sejarah telah mencatat berbagai tragedi yang menimpa PMI. Mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, eksploitasi upah (upah tidak layak/pemotongan upah/upah tidak dibayarkan), hingga perdagangan manusia dan hukuman mati. Apa yang terjadi tidak bisa dipungkiri terkait erat dengan budaya dan lingkungan kerja di Arab Saudi.

Oleh Yuli Riswati

Pemerintah Indonesia tengah berupaya untuk mencabut moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (selanjutnya disingkat PMI) ke Arab Saudi pada bulan Maret 2025. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengatakan kepada media bahwa rencana tersebut sudah disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto yang memintanya segera menyiapkan skema pelatihan dan penempatan bagi para pekerja yang akan dikirim ke Arab Saudi.

Menurut Karding, Prabowo menyetujui pencabutan moratorium kerja sama penempatan PMI di Arab Saudi mengingat adanya potensi devisa bagiIndonesia yang mencapai Rp31 triliun. Devisa tersebut bisa didapatkan dari menempatkan sekitar 600 ribu orang PMI ke Arab Saudi dengan rincian 400 ribu orang bekerja di lingkungan rumah tangga dan 200 ribu hingga 250 ribu orang di sektor formal.

Apakah Ini Kabar Baik atau Kabar Buruk?

Di tengah situasi Indonesia seperti saat ini, apa yang disampaikan pemerintah tentu dapat dianggap kabar baik oleh sebagian orang mengingat terbukanya peluang bekerja di Arab Saudi yang jadi kian terbuka lebar. Apalagi, selain menjanjikan gaji 1.500 Riyal atau Rp 7,5 juta, Pemerintah Arab Saudi juga menjanjikan perlindungan kesehatan, jiwa dan ketenagakerjaan. Namun, di balik janji manis dan angka-angka fantastis yang sudah dihitung oleh pemerintah, ada pertanyaan penting yang semestinya juga menjadi pokok bahasan: “Bagaimana perlindungan PMI oleh Pemerintah Indonesia sendiri? Apakah semangat pemerintah dalam menghitung keuntungan berupa devisa akan diiringi dengan upaya keras untuk melindungi PMI yang dijadikan sebagai komoditas ekonomi?”

Pertanyaan tentang perlindungan PMI sudah seharusnya mendapatkan jawaban segera dari pemerintah, bahkan sebelum pengiriman PMI ke Arab Saudi dilakukan pada bulan Juni mendatang. Ini karena menyoal devisa dan remitansi, sudah sejak lama PMI terbukti menjadi salah satu penyokong ekonomi nasional, bahkan di saat krisis.

“Remitansi yang masuk setiap tahun rata-rata cukup besar. Pada 2024 lalu, totalnya mencapai Rp 251 triliun,” ungkap Kardin. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia berencana mengirimkan sebanyak 425.000 pekerja migran pada tahun 2026 mendatang. Tingginya permintaan tenaga kerja dari luar negeri untuk Indonesia yang mencapai 1,7 juta orang serta peningkatan remitansi di dalam negeri menjadi dua faktor pendorong utamanya.

“Tahun depan, 2026, kami menargetkan penempatan 425.000 tenaga kerja dengan estimasi remitansi mencapai sekitar Rp 439 triliun” ungkap Karding.

Memahami Paradoksial Moratorium

Moratorium atau kebijakan pemerintah Indonesia untuk menghentikan sementara pengiriman PMI ke Timur Tengah pada tahun 2011 sebenarnya merupakan respons terhadap meningkatnya kasus kekerasan terhadap PMI, khususnya di Arab Saudi. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti pada tahun 2015 dengan penerbitan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 2015 yang secara resmi melarang penempatan PMI sektor perseorangan di 19 negara kawasan Timur Tengah.

Namun, kebijakan moratorium ternyata justru menimbulkan konsekuensi yang paradoksal. Alih-alih bisa menghentikan arus migrasi PMI ke Timur Tengah, moratorium malah mendorong PMI bermigrasi melalui jalur nonprosedural yang tentunya lebih berisiko. Data empiris menunjukkan bahwa penutupan jalur resmi oleh pemerintah tidak serta-merta mengurangi jumlah PMI yang bekerja di Timur Tengah. Sebaliknya, fenomena migrasi nonprosedural yang berisiko memperburuk kondisi kerja dan menghilangkan akses hukum bagi PMI justru semakin meningkat jumlahnya.

Dalam praktiknya, kebijakan moratorium bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menciptakan celah ladang bisnis untuk orang atau kelompok orang yang mendirikan usaha menjual jasa merekrut dan memfasilitasi pengiriman PMI secara nonprosedural. Orang atau sekelompok orang ini ketika tertangkap atau berurusan dengan hukum sering kali disebut sebagai oknum. Akan tetapi, oknum-oknum ini tidak sedikit dan saling terkait dalam mata rantai orang yang memanen keuntungan di setiap tahapan proses perjalanan migrasi PMI.

Meningkatnya jumlah PMI yang berangkat melalui jalur nonprosedural berarti juga meningkatnya masalah. Selain menghadapi eksploitasi ekonomi; seperti upah rendah dan pemotongan gaji yang tidak wajar atau malah tidak dibayar sama sekali, para PMI juga berisiko mengalami kekerasan fisik dan psikis. Kondisi kehilangan akses perlindungan oleh pemerintah dengan alasan tidak tercatat di dalam sistem pendataan ketenagakerjaan resmi juga akan terus terjadi.

Singkatnya, moratorium yang bertujuan melindungi PMI terbukti justru mendorong praktik migrasi nonprosedural yang semakin sulit dikendalikan. Jadi, diberlakukan atau dicabut, moratorium tidak akan berpengaruh apa-apa selama tidak diikuti dengan sistem pengawasan dan perlindungan yang terbuka dan memadai.

Mengenal Sistem Kafala dan Sistem Sarikah sebagai Sumber Masalah.

Meski Pemerintah Indonesia menyadari kegagalan moratorium dan mengetahui peningkatan jumlah PMI nonprosedural yang masif, pemerintah lebih memilih menerbitkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 291 Tahun 2018, yang melahirkan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK), dibanding mencabut moratorium. Menurut pemerintah, SPSK merupakan upaya peningkatan perlindungan PMI dan diharapkan menjadi solusi untuk menekan praktik nonprosedural dalam penempatan PMI ke Arab Saudi. SPSK ini yang kemudian memungkinkan adanya sistem sarikah.

Sebelum adanya sistem sarikah, penempatan PMI di Arab Saudi menggunakan sistem kafala. Dalam sistem kafala, seorang PMI terikat pada seorang majikan (kafeel) yang bertanggung jawab atas visa dan status hukum pekerja tersebut. Dengan kata lain, seorang calon PMI tidak bisa berangkat ke Arab Saudi tanpa mendapatkan majikan di Arab Saudi terlebih dulu. Sistem ini banyak dikritik karena dianggap memberikan terlalu banyak kekuasaan pada majikan dan PMI menjadi lebih rentan terhadap perbudakan.

Berbeda dengan sistem kafala, sistem sarikah (syarikah) mengharuskan PMI bekerja di bawah perusahaan/agensi. Dalam sistem sarikah, perusahaan atau agensi bertanggung jawab atas penempatan, perlindungan dan kesejahteraan PMI selama masa kerja. Sarikah atau agensi menjadi penghubung antara PMI dan pengguna jasa atau majikan. Dalam sistem ini, calon PMI diberangkatkan ke Arab Saudi oleh perusahaan penempatan dan ditempatkan di mess agensi, sebelum dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain tanpa kepastian kerja dan upah yang layak.

Apakah sistem sarikah lebih baik dari sistem kafala? Jawabanya, tidak. Pada praktiknya, sistem sarikah tidak menjamin PMI bisa mendapatkan majikan/ pengguna jasa. Akibatnya, banyak PMI menganggur berbulan-bulan dalam kondisi hidup yang tidak layak di mess sarikah meski sudah berada di Arab Saudi. Mereka berada dalam dilema, terus bertahan dalam ketidakpastian atau pulang ke tanah air tapi harus membayar uang tebusan atau ganti rugi kepada sarikah yang telah menalangi biaya pemberangkatan dan biaya hidup mereka selama tinggal di mess sarikah. Kalau pun mendapatkan majikan, PMI juga lebih sering diperlakukan seperti barang sewaan yang bebas dipindahkan dari satu majikan ke majikan lain dengan pekerjaan berat tanpa kejelasan kontrak dan hak-hak lainnya sebagai pekerja.

Sistem sarikah yang oleh pemerintah sengaja digunakan untuk memindahkan tanggung jawab perorangan menjadi tanggung jawab perusahaan atau institusi resmi tidak berjalan secara transparan dan dikelola secara monopoli oleh pihak tertentu. Minimnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan perekrut calon PMI menjadi penyebabnya. Akibatnya, selain banyak calon PMI dan PMI yang dirugikan, PMI juga tetap mengalami ketidakpastian hukum, menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan bahkan mengalami tindakan kekerasan tanpa adanya intervensi dari otoritas yang berwenang.

Peluang Kerja atau Pengulangan Sejarah Kelam?

Pada praktiknya, sistem penempatan PMI dengan sistem kafala dan sistem sarikah sama bermasalah. Kedua sistem ini sama-sama memberikan kontrol penuh kepada majikan dan agensi. Sementara itu, para PMI harus menghadapi hal-hal buruk seperti kehilangan paspor, penyitaan ponsel, serta dibatasinya kebebasan bergerak dan kesempatan berkomunikasi. Mereka hidup tak ubahnya seperti barang properti majikan dan perusahaan yang bisa diperlakukan semena-mena.

Sejarah telah mencatat berbagai tragedi yang menimpa PMI. Mulai dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, eksploitasi upah (upah tidak layak/pemotongan upah/upah tidak dibayarkan), hingga perdagangan manusia dan hukuman mati. Apa yang terjadi tidak bisa dipungkiri terkait erat dengan budaya dan lingkungan kerja di Arab Saudi.

Jadi, jika kebijakan pencabutan moratorium yang diumumkan pemerintah hanya berorientasi pada target devisa dan menurunkan angka pengangguran tanpa upaya membangun sistem perlindungan yang nyata, bukannya ini hanya akan menjadi pengulangan sejarah kelam bagi para PMI?

Perdebatan mengenai penempatan PMI memang selalu berada di antara kepentingan ekonomi, peluang kerja dan pelindungan tenaga kerja. Di satu sisi, pengiriman pekerja ke luar negeri menjadi solusi bagi tingginya angka pengangguran dan rendahnya daya beli masyarakat di Indonesia. Namun, di sisi lain, tanpa adanya regulasi ketat dan sistem pelindungan memadai yang diimplementasikan dengan nyata, kebijakan pengiriman jutaan PMI hanya berpotensi mengulang siklus kekerasan dan eksploitasi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Optimalisasi Perlindungan PMI oleh Pemerintah IndonesiaMenteri P2MI Abdul Kadir Karding mengatakan pembukaan kembali penempatan PMI di Arab Saudi akan dibarengi dengan penguatan perlindungan bagi para pekerja dengan pembahasan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Tawarannya mencakup skema kerja sama di mana Perusahaan Penempatan PMI (P3MI) akan bekerja sama dengan agensi swasta di Arab Saudi yang diawasi oleh BUMN Arab Saudi bernama Musanet. Sistem ini diharapkan dapat menjadi pengontrol dalam memberikan jasa PMI kepada masyarakat Arab Saudi secara lebih profesional dan aman. Selain itu, dalam skema baru ini, majikan yang akan mempekerjakan PMI diwajibkan memiliki deposit di Musanet. Hal ini bertujuan untuk menjamin pembayaran upah minimum sebesar 1.500 riyal bagi PMI, sehingga meminimalisir risiko eksploitasi dan penundaan gaji.

Selain itu, Karding menyatakan bahwa MoU tersebut akan disusun dengan mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130 Tahun 2024 tentang Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan PMI. Dalam penyusunan MoU, pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri serta kementerian dan lembaga terkait dalam melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada. Dalam hal ini, termasuk Kepmenaker 291 Tahun 2018 tentang SPSK dan Kepmenaker 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan PMI di Timur Tengah.

Lebih lanjut, Karding mengatakan bahwa perubahan regulasi di Arab Saudi juga menjadi faktor pertimbangan dalam pembukaan kembali penempatan PMI. “Dengan adanya perubahan aturan yang signifikan, kami perlu memastikan sistem perlindungan yang lebih kuat. Oleh karena itu, kami akan mengintegrasikan sistem pengawasan antara Cisco P2MI dengan Musanen.”

Namun, sayangnya, sebagai PMI purna, dari semua pernyataan yang disampaikan pemerintah, saya masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru terutama pada sistem penempatan dan sistem pengawasan yang dianggap sebagai upaya memastikan sistem perlindungan yang lebih kuat bagi PMI. Mengingat dalam sistem penempatan PMI ke luar negeri sebelumnya, Indonesia juga sudah menerapkan beberapa perbaruan seperti Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang dibentuk mulai tahun 2017 dan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (SISKOTKLN) yang kemudian dialihkan ke aplikasi yang terintegrasi SISKO P2MI. Ini semua pada praktiknya kemudian tidak mewujud sebagai perlindungan yang nyata.

Hingga saat ini, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan, terutama terkait dengan keamanan dan kesejahteraan. Banyak PMI prosedural dan nonprosedural bekerja tanpa akses pelindungan yang jelas dan terjebak dalam sistem yang memberikan sedikit ruang untuk pembelaan diri ketika hak-haknya sebagai pekerja dan sebagai manusia dilanggar oleh majikan dan agensi. Salah satu contohnya ialah kasus PMI Susanti yang saat ini terancam hukuman mati di Arab Saudi.

Apapun pernyataan yang disampaikan kepada media, Pemerintah Indonesia harus bisa memastikan bahwa pencabutan moratorium, pembuatan MoU, pembenahan tata kelola penempatan PMI yang sedang dilakukan bukan hanya sekadar langkah administratif untuk membuka kembali pasar tenaga kerja murah, melainkan reformasi sistemik yang benar-benar menempatkan hak pekerja sebagai prioritas utama dan memberikan perlindungan yang nyata oleh negara untuk warganya.

Referensi:

Kompas.com “Mengapa Pemerintah Mau Cabut Moratorium Pengiriman TKI ke Arab Saudi? “

Antara “Hasilkan devisa Rp31 triliun, Prabowo setujui moratorium pekerja migran ke Arab dicabut”

Tempo “Moratorium TKI ke Arab Saudi Dibuka Maret, Ekonom: Penyumbang Terbesar Remitansi”

Liputan 6 “Menteri Karding Siapkan MoU Baru untuk Pastikan Perlindungan PMI di Arab Saudi”

Facebook Comments Box

Artikel Lainnya

Dear, 30 September 2019

Aku AL, Pelajar STM di daerah Kabupaten Bogor. Aku bersama ke-3 temanku berencana akan mengikuti demo di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Waktu itu

Koalisi Masyarakat Sipil Desak ADIDAS Bayar Upah Buruh dan Hormati Hak Buruh

GSBI menambahkan PHK sepihak yang digencarkan PT Panarub telah menjadi malapetaka bagi buruh yang tetap bekerja di pabrik. Mereka yang tetap bekerja kelimpahan beban tambahan untuk mengisi tugas rekan-rekannya yang terkena PHK. Bahkan buruh di PT Panarub bekerja selama 11-12 jam per hari.  “Panarub sampai hari ini masih lembur, ada videonya. PHK jalan terus, tapi lembur juga jalan terus.”