Salam setara sahabat Marsinah, sebelumnya ijinkan saya, Lamoy, mengucapkan selamat hari guru kepada seluruh guru di Indonesia. Hari guru jatuh pada 25 November. Dan untuk hari guru pula, Perempuan Pelita hari ini akan bercerita soal guru – guru luar biasa yang berkorban banyak untuk mendidik anak bangsa. Sahabat Marsinah, saya, Lamoy, kembali menemani kamu semua karena penyiar kesayangan kita masih pulang kampung buat beristirahat. Jangan bosan ya, sambil melepas penat seusai bekerja keras seharian, dengerin ya Marsinah 106 FM. Buat sahabat Marsinah di luar Jakarta Utara, bisa lo sekarang mendengarkan online di dev.marsinah.id atau download aplikasi radio Marsinah yang ada di dev.marsinah.id. Sebelum kita memulai cerita soal guru guru hebat ini, yuk kita dengerin dulu satu lagu manis berikut ini (lagu dan iklan)
Sahabat Marsinah, tentu tau tentang sebuah pulau paling barat di Indonesia, dan kerap berjatuhan korban. Ya, Pulau itu adalah Papua Barat. Di sana, banyak daerah terpencil dan hanya sedikit yang mau berbagi ilmu di tempat ini karena medan serta tantangannya berat. Tak heran bila guru yang tersedia pun sedikit. Selaiknya, pemerintah mesti memberi perhatian lebih dengan empati bukan senjata.
Adalah teluk Bitani, sebuah daerah terpencil di wilayah kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, tempat beberapa gadis muda usia dua puluh tahunan ini berbagi ilmu sebagai guru. Mereka adalah perempuan – perempuan muda yang setiap hari rela menumpang perahu menantang gelombang perairan laut Teluk Bintuni untuk mengajar para guru muda di distrik Arandai. Tak hanya gelombang perairan laut, namun juga terik matahari setiap hari membentur kepala mereka, sehingga harus menundukkan kepala menghindari teriknya matahari.
Perempuan – perempuan muda ini adalah beberapa guru yang rela mengajar di daerah terpencil di wilayah kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Mereka mengajar di Sekolah Negeri Taroi, berangkat dari kota nun jauh di sana, yaitu Malang, Jawa Timur. Tempat kelahiran aktivis HAM, Munir.
Ya, mereka adalah guru-guru muda yang mau mengabdikan dirinya mengajar di daerah terpencil di wilayah kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Baru enam bulan mereka mengajar di Sekolah Negeri Taroi. Asal mereka dari Jawa Timur, tepatnya kota Malang. Sebelumnya, mereka, berjumlah 5 orang guru perempuan muda berkuliah di Universitas Muhammadiyah Malang. Setelah lulus kuliah, ke enam orang ini mendapat tawaran menjadi guru di daerah terpencil. Tawaran pertama, kebetulan adalah mengajar di Papua. Tanpa pikir panjang, keenamnya menerima tawaran tersebut. Salah satu dari guru ini, sebut saja, Erlyn, menuturkan ia beserta lima teman lainnya terinspirasi dengan gerakan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau disingkat (SM3T), yang mereka ketahui dari grup di jejaring sosial Facebook. Teman-teman Facebook sesama SM3T inilah yang berbagi cerita soal pengalaman mengajar di berbagai pelosok Indonesia, salah satunya Papua.
“Sudah ada tekad dari awal, jadi langsung ikut tes waktu ada peluang menjadi guru di Papua. Ini kesempatan mengajar di luar pulau Jawa. Ikut sudah!”, uangkap Yeni Widyaningrum, 24 tahun, guru muda teman Erlyn.
Kegigihan Erlyn, Yeni dan teman teman lainnya menginspirasi guru – guru lainnya untuk mau ditugaskan di daerah terpencil, termasuk Papua Barat. Namun, kisahnya akan kita lanjutkan nanti setelah lagu kesayangan satu ini ya, jangan lupa terus stay tune di Marsinah 106 FM, cekidot (lagu dan iklan)
Hingga tahun 2013, sedikitnya sudah ada 50 orang guru yang direkrut buat mengajar di berbagai distrik di kabupaten Teluk Bintuni. ke 50 oran guru ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tantangan mengajar di daerah terpencil terhitung berat, mereka masih harus berjalan kaki ratusan meter ke tengah laut yang sedang surut guna mencapai perahu yang bakal mengantar mereka ikut pelatihan guru. Kaki mereka terendam lumpur hingga betis, mana kala harus berjalan di atas lumpur. Belum lagi harus menghadang gelombang berjam – jam selama perjalanan. Maka, butuh niat dan tekad yang luar biasa besar untuk menghadapi tantangan seberat itu. Semangat menghadapi tantangan juga muncul dari murid- murid mereka sendiri “Senyum mereka itu tulus gitu, lho. Menjadi semangat mengajar itu juga”, ucap Yeni kepada sebuah media, suatu hari. Hal itu membuat para guru ini cepat akrab dengan para murid.
“Saya mengajar IPA, ketika praktikum di kelas saat anak-anak sudah bilang ‘Oooo…’ , saya senang sekali! Berarti mereka paham, saya jadi semangat mengajar.”
Sebuah kerja keras, pasti berbuah baik. Demikian halnya dengan para guru ini. Kerja keras para guru membuat SD Negeri Taroi menempati peringkat 11 dari seluruh SD di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Peringkat tersebut meningkat dari peringkat sebelumnya, yaitu peringkat 40.
“Begini bapak, untuk kelas enam kemarin memang kita gembleng. Kalau pagi mereka sekolah, sore mereka les dengan guru mata pelajaran masing-masing. Malamnya baru private di rumah. Dari situ tiap hari kita gembleng”, kata Erlyn bersemangat.
Hasil baik pun membuat Erlyn, Yeni dan 4 guru muda lainnya makin teguh dengan pilihan mereka, sehingga memutuskan untuk terus mengajar di Papua Barat. Selama masih dibutuhkan, energi mereka akan diabdikan untuk Papua Barat.
hmmm… hebat ya, bisa menantang gelombang dan jalan berlumpur. Selain Erlyn dan Yeni, Perempuan Pelita juga akan menghadirkan satu guru perempuan muda yang tidak kalah gigihnya. Sebut saja, Nurhayati yang mengabdi sebagai guru honorer selama 9 tahun. tapi sebelum melangkah jauh soal Nurhayati, kita simak dulu yuuuk lagu yang satu ini (lagu dan iklan)
Nurhayati adalah guru honorer di sebuah Sekolah Dasar, yaitu SD 010 di Kampung Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau. Di ruang – ruang kelas berdinding kayu itulah, Nurhayati tiap hari mengajar. Sayang kegigihan Nurhayati sebagai guru honorer tidak setimpal dengan upah yang ia terima. Per bulan, Nurhayati hanya diupah sebesar Rp 450 ribu. Sebuah imbalan yang tak sebanding dengan pengorbanannya yang harus terpisah dengan keluarganya, termasuk ke dua anak yang amat ia sayang. Memang, ada insentif dari Dinas Pendidikan Kabupaten Berau sehingga upahnya jadi Rp 1,2 juta. Namun, upah tersebut sudah pasti tidak layak buat dirinya dan guru honorer lainnya.
Untuk mendapat tambahan penghasilan, Nurhayati menjadi salah satu pengelola asrama khusus anak – anak komunitas adat di kampung Birang. Tambahan upah sebesar Rp 1 juta pun ia terima sehingga masih mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga SMP dan SMU. Tinggal terpisah dari kedua anaknya, bukan berarti Nurhayati tinggal sendirian. Ia tinggal bersama 14 anak asuhnya di asrama khusus yang ia kelola. Anak-anak asuhnya itu masih kecil – kecil, yaitu anak adat dari suku Dayak Punan.
Setiap hari, setiap saat, Nurhayati mendidik 14 anak asuhnya yang lincah dan aktif. Mendamaikan anak – anak yang kelahi, mengawasi aktivitas mereka yang kadang suka main di sungai beraliran deras, sudah jadi kegiatan harian Nurhayati yang mesti dilakukan dengan kesabaran. Tak hanya itu, Nurhayati harus memasak, mencuci, memandikan, dan menidurkan mereka. “Tapi anak-anak yang sudah cukup besar saya ajarkan mandiri, mereka saya ajarkan bantu-bantu cuci piring, menyapu, memberishkan tempat tidur. Pokoknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak,” ucap Nurhayati.
Tak terbayang ya, bagaimana sulitnya mengasuh serta mendidik anak. Yeni, Erlyn, Nurhayati adalah wajah – wajah guru Indonesia yang bekerja keras dengan tulus memberi yang terbaik bagi anak- anak didiknya. Sayang, pemerintah Indonesia belum cukup berbuat banyak bagi kesejahteraan para guru, pun pada kurikulum pendidikan itu sendiri. Sahabat Marsinah, banyak hal memberi inspirasi, dari siapa saja, pun sekitar kita. Akhirnya, saya, Lamoy beserta kerabat Marsinah FM harus undur diri. Perempuan Pelita akan menyapa kamu pekan depan masih di Marsinah 106 FM. Salam Setara, sampai jumpa.